
Kisah
Kalimat Tauhid di Dada Raja
Nabi Muhammad SAW bahkan menshalatkan jenazah sang penguasa Etiopia itu.
OLEH HASANUL RIZQA
Pada masa Nabi Muhammad SAW, dakwah Islam terbagi dalam dua masa, yakni era sebelum dan sesudah hijrah. Dalam periode yang pertama itu, Rasulullah SAW dan umatnya mengalami perlakuan-langsung yang sangat buruk dari kaum kafir Quraisy.
Maka dari itu, beliau mengizinkan kaum Muslimin untuk berpindah tempat ke negeri luar. Tujuan yang dipilih beliau untuk mereka adalah Etiopia atau Habasyah. Kerajaan di seberang Laut Merah tersebut kala itu dipimpin seorang raja yang beragama Kristen. Berangkatlah serombongan Muslimin dari Hijaz ke sana. Kejadian itu berlangsung kira-kira tujuh tahun sebelum Hijriyah.
Negus atau Najasyi memimpin Kerajaan Habasyah dengan adil dan cakap. Pribadi raja itu pun menunjukkan akhlak kebajikan. Alhasil, negeri itu pun menjadi makmur. Rakyat gembira dengan kepemimpinannya.
Berangkatlah serombongan Muslimin dari Hijaz ke sana. Kejadian itu berlangsung kira-kira tujuh tahun sebelum Hijriyah.
Setibanya di tempat tujuan, para muhajirin diterima Raja Najasyi dalam suatu majelis yang penuh keagungan. Mereka diperlakukan tidak seperti tamu-tamu biasa. Kalau delegasi umumnya, mereka disuruh membungkuk atau, bahkan ada yang sujud.
Nyatanya, Muslimin itu dibiarkan mengucapkan salam, seperti yang diajarkan dalam Islam. Pihak kafir Quraisy, yang diwakili Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah, berupaya mempengaruhi raja agar mengecam mereka.
Namun, juru bicara Muslimin, Ja’far bin Abi Thalib, menjelaskan, “Agama kami tidak membenarkan bersujud di hadapan selain Allah.” Jawaban dari sepupu Nabi SAW itu diterima oleh raja.
Maka, masih saja Amr menyimpan kekesalan. Keesokan harinya, tokoh Quraisy ini datang lagi ke majelis. “Tuanku,” katanya kepada Raja Najasyi, “ketahuilah bahwa orang-orang Islam itu menyebut Nabi Isa sebagai hamba.”
Lantas, penguasa Etiopia itu memanggil para muhajirin. Najasyi bertanya, “Apa pandangan kalian tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi SAW.”
“Bagaimana kata-katanya?”
“Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, sang perawan suci,” ujar Ja’far.
“Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa seujung rambut pun,” ucap Najasyi, puas.
Namun, terdengar bisikan-bisikan para uskup di sekitarnya. Ada kesan mereka mengecam dirinya. Sang raja memandang tajam kepada mereka. Lalu, ruangan kembali tenang.
Diputuskanlah bahwa muhajirin diperbolehkan tinggal di Habasyah. Adapun Amr bin Ash dan rombongan dipersilakan pulang. Najasyi tidak akan menerima sedikit pun hadiah dari musyrikin, apalagi menyerahkan orang-orang yang hijrah ini kepadanya.
Najasyi tidak akan menerima sedikit pun hadiah dari musyrikin, apalagi menyerahkan orang-orang yang hijrah ini kepadanya.
Beberapa pekan kemudian, di daerah-daerah Habasyah mulai muncul gerakan perlawanan. Rakyat rupanya termakan desas-desus bahwa raja mereka sudah tidak lagi memuliakan Nabi Isa. Bahkan, terdeteksi pula suara-suara hasutan agar Najasyi dimakzulkan.
Raja Etiopia itu mengabarkan situasi genting ini kepada Ja’far. Agar Muslimin lebih aman, Najasyi menawarkan kapal-kapal yang dapat mengangkut mereka ke Arab. Apabila situasi dalam neger kembali kondusif, umat Nabi Muhammad SAW itu dipersilakan kembali lagi ke Habasyah.
Setelah melepas kepergian Ja’far dan rombongan di pelabuhan, Najasyi bersiap menghadapi gerombolan pemberontak. Ia mengambil selembar kulit kijang yang telah disamak.
Di atas permukaan benda itu, ia menulis lafaz syahadat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang terakhir.”
Ia mengambil selembar kulit kijang yang telah disamak. Di atas permukaan benda itu, ia menulis lafaz syahadat.
Di bawahnya, juga tertera kesaksian: “Sungguh, Isa adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.” Maka lembaran kulit kijang itu direkatkannya pada dadanya. Sesudah itu, berangkatlah ia ke medan pertempuran.
Sebelum perang pecah, Najasyi tampil ke depan, tanpa sedikit pun rasa takut. Ia berseru, “Wahai rakyat Habasyah! Bagaimana perlakuanku terhadap kalian selama ini?”
Lalu, datang jawaban berseru-seru. Umumnya, mereka menyatakan puas dipimpin Najasyi.
“Kalau begitu,” kata Najasyi, “mengapa kalian menentangku?”
Seseorang dari pemberontak berkata, “Sebab Anda telah keluar dari agama kita!”
“Mengapa sampai ada anggapan itu?” tanya sang raja lagi.
“Anda mengatakan, Isa adalah seorang hamba.”
“Lantas, bagaimana menurut kalian?” tanyanya tajam.
“Isa adalah putra Allah,” ucap seseorang dari kerumunan.
Mendengar itu, Najasyi mengangkat lembaran kulit kijang sehingga tampaklah dua kalimat syahadat. “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih dari yang tertulis di sini!” serunya.
Menyadari kekeliruannya, rakyat menerima dengan lapang dada penyataan sang raja. Semua pihak pun lega. Sebab, pertumpahan darah tidak jadi terlaksana.
Dalam sejarah, sosok Najasyi turut dikenang. Sesudah dirinya wafat, umat Islam berduka. Nabi SAW bahkan menshalatkan jenazah sang penguasa Etiopia itu.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Emas yang Jadi Mahar, Wajib Zakat?
Apakah mahar yang diberikan seorang pria ke perempuan tersebut wajib zakat atau tidak.
SELENGKAPNYAAncaman Bagi Anak Durhaka
Bagi anak durhaka akan dicabut keberkahan hidup, rezeki, dan ditolak doanya.
SELENGKAPNYAMetaverse untuk Pertanian
Metaverse merupakan alternatif bagi peningkatan produktivitas hasil pertanian.
SELENGKAPNYA