Warga memegang poster saat mereka menggelar aksi protes di Capitol, di Austin, Texas, Rabu (25/5/2022) setelah penembakan massal di sebuah sekolah di Uvalde, Texas, AS. | AP/Jay Janner/Austin American-Statesman

Opini

Penembakan Massal dan Politik Kontrol Senjata di AS

Penembakan massal di AS sering terjadi tanpa ada tindakan mengatur kepemilikan senjata api.

 

ARIA PRIMA NOVIANTO; Associate Director of Research & Business Technology Gies College of Business University of Illinois @Urbana-Champaign USA

HERU SUSETYOStaf Pengajar Tetap FH-UI, Alumni Program Master of International Human Rights Law Northwestern University Illinois USA

Para orangtua di Amerika Serikat (AS) kembali menangis. Putra-putri mereka terbunuh dan terluka parah. Bukan karena sakit, bukan karena perang, bukan karena kecelakaan. Tetapi karena oknum "Rambo" yang menembak orang tak bersalah secara serampangan (mass shooting) yang terjadi terus-menerus.

Salvador Ramos, 18 tahun, adalah salah satu "Rambo" tersebut. Pada Selasa, 24 Mei 2022, ia memberondongkan senjata secara brutal ke dalam sekolah dasar Robb di Uvalde, Texas. Akibatnya, 19 siswa SD dan dua guru tewas. Tanpa tahu apa sebab mereka ditembak secara brutal.

Dan penembakan massal secara brutal ini bukan pertama kali terjadi di AS. Sudah cukup sering terjadi pembantaian di sekolah, kampus, supermarket, dan tempat-tempat publik lainnya.

Beberapa yang terjadi di sekolah, antara lain, Nikolas Cruz (18 tahun) membunuh 17 siswa dan guru di Stoneman Douglas High School Florida pada 14 Februari 2018.

Adam Lanza (20 tahun) membunuh 27 orang di Sandy Hook Elementary School, Newton Connecticut pada 14 Desember 2012. Termasuk yang ia bunuh adalah ibu kandungnya, lalu 20 siswa SD dan enam orang dewasa. Eric Harris dan Dylan Klebold membunuh 12 teman-temannya sendiri dan satu staf sekolah di Columbine High School, Colorado, AS pada 20 April 1999.

Apa yang salah dengan negeri yang sering dijuluki sebagai kampiun hak asasi manusia (HAM) dunia ini? Apa kabar pengaturan pemilikan senjata oleh warga sipil di sana?

Rasisme dan kekerasan yang melembaga

Bulan Agustus 1955, Mamie Elizabeth Till-Mobley melepas Emmet Till, anak laki-lakinya semata wayang naik kereta api dari Chicago, Illinois untuk mengunjungi saudaranya di Mississippi. Ketika ibu Emmett Till ini bertemu lagi dengan sang anak yang berumur 14 tahun beberapa waktu kemudian, dia hanya mengenal cincin yang dipakainya.

Karena Emmett diculik, disiksa, dan dibunuh di Mississippi. Badannya bengkak setelah dibungkus kawat berduri dan dibuang ke sungai. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali lagi, telinganya dipotong, dan bola matanya keluar dari tempatnya.

 
Wajah dan badannya yang remuk redam dilihat oleh 50 ribu penduduk Chicago.
 
 

Dengan penuh kedukaan, Ibu Emmet Till kemudian mengambil keputusan yang memacu gerakan persamaan hak-hak sipil (civil rights) bagi rakyat kulit hitam di AS. Dia meminta Emmett Till ditaruh di peti mati terbuka. Wajah dan badannya yang remuk redam dilihat oleh 50 ribu penduduk Chicago. Majalah Jet juga menerbitkan fotonya yang menjadi “viral” dan membuat banyak orang menjadi sadar akan kejamnya rasisme (New York Times, 6/12/2021.

Perjuangan Ibu Emmet Till untuk menolak kejamnya rasisme ternyata belum sepenuhnya berhasil. Pada 14 Mei 2022, pembunuhan massal di Buffalo, New York dengan korban warga kulit hitam kembali terjadi. Pelakunya adalah Payton S Gendron (18 tahun), pemuda kulit putih yang rasis dan terpengaruh doktrin supremasi kulit putih (white supremacy).

Payton membunuh 10 orang kulit hitam berusia lanjut yang sedang belanja di sebuah supermarket. Dia percaya pada “Great Replacement Theory” bahwa orang kulit putih akan berkurang jumlahnya, bahkan punah melalui masuknya migran ke berbagai negara Barat maupun rendahnya jumlah anak keluarga putih (Washington Post, 15/05/ 2022).

Pengaruh teori ini terlihat di kebijakan anti imigrasi dan juga ada di gerakan anti aborsi yang sedang marak diberitakan terkait keputusan Mahkamah Agung (kasus Roe versus Wade). Juga pada beberapa pembunuhan massal lain, seperti pada jamaah sinagog Yahudi di Pittsburgh pada 2018.

Kemelut politik pengaturan senjata api

Pembunuhan bersenjata di Amerika terjadi begitu sering tanpa ada tindakan konkret untuk mengatur kepemilikan senjata api. Dalam kasus-kasus di atas,  para penembak tersebut masih berusia 18-20 tahun ketika melakukan aksi brutalnya. Mereka memperoleh senjata api tersebut secara legal.

Ketika penembakan Sandy Hook Elementery School di Connecticut terjadi pada 14 Desember 2012, banyak yang mengira ini akan menjadi pemicu disahkannya pengaturan kepemilikan senjata api di AS. Bagaimana mungkin korban puluhan anak kecil tadi tidak akan menyentuh para legislator di parlemen?

Apakah mereka abai terhadap jeritan para orang tua yang anak-anaknya tewas ataupun terluka tanpa tahu apa alasan mereka ditembak oleh Rambo brutal seperti Adam Lanza? Seperti Nikolas Cruz? Seperti Eric Harris dan Dylan Kleboldt? Seperti Salvador Ramos?

Berbagai peristiwa mengenaskan terus terjadi dengan korban dari anak-anak kecil sampai mereka yang sudah menjadi kakek nenek; di sekolah, supermaket, dan tempat ibadah; serta dengan motif global yang dilarang di berbagai penjuru dunia.

 
Bahwa rakyat harus menerima kejadian memilukan ini sebagai bagian dari kebebasan mutlak untuk bersenjata. Bagian dari HAM dan bagian dari hak-hak sipil.
 
 

Namun semua itu ternyata tidak membuat Partai Republik, satu dua partai yang bergantian berkuasa di AS (selain Partai Demokrat) berubah. Mereka tetap mempertahankan sikap bahwa Amendemen Konstitusi AS kedua tahun 1791 yang menjamin hak untuk bersenjata (the rights to bear arms) tidak bisa diganggu gugat. Bahwa rakyat harus menerima kejadian memilukan ini sebagai bagian dari kebebasan mutlak untuk bersenjata. Bagian dari HAM dan bagian dari hak-hak sipil (civil rights).

Sistem pemerintahan Amerika Serikat yang kaku menyebabkan perubahan politik kontrol senjata api ini nyaris mustahil. Partai Demokrat memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif saat ini, tetapi sangat tipis dan memerlukan persetujuan 10 senator Republikan (20 persen dari total jumlah senator Republikan) untuk bisa mengesahkan RUU baru (bill) di senat.

Dalam iklim politik yang sangat tidak sehat sekarang ini, Partai Demokrat hampir tidak pernah mendapatkan satu suara senator Republikan pun, alih-alih 10 suara. Boleh dibilang semua RUU anti pengaturan senjata sudah mati dini sebelum dilakukan voting.

Politik oligarki parpol yang berselingkuh dengan para pedagang senjata lebih kuat pengaruhnya daripada tangisan para orangtua dan darah mengalir dari anak-anak kecil tak berdosa di sekolah.

 
Politik oligarki parpol yang berselingkuh dengan pedagang senjata lebih kuat pengaruh daripada tangisan orangtua dan darah mengalir dari anak-anak kecil tak berdosa di sekolah.
 
 

Hal ini menyebabkan banyak orang mencari cara untuk membangkitkan emosi rakyat banyak sehingga para senator mau tidak mau harus mendengarkan konstituennya. Salah satunya adalah seperti yang dilakukan Ibu Emmett Till.

Hampir semua pembunuhan bersenjata yang terjadi 10 tahun terakhir ini menggunakan senjata semiotomatis AR-15. Senjata api ini sangat kuat dan bisa menembakkan 15 peluru per detik.

Bayangkan apa yang terjadi pada korban senjata ini. Ada dorongan untuk menyebarkan foto-foto korban supaya menjadi semacam terapi kejut bagi yang melihatnya. Tetapi sementara ini tidak ada media massa yang mau melakukannya.

Sisi lain dari pembunuhan massal adalah pada kesehatan mental pelakunya. Penduduk Amerika Serikat memang tidak lebih parah sisi kesehatan mentalnya dibanding penduduk negara-negara lain. Bedanya adalah orang sakit mental di AS bisa dengan mudah mendapatkan senjata api. Bahkan, mereka merasa senjata api tersebut memberi mereka kekuatan dan kepercayaan diri.

Mereka seperti memegang kekuasaan menentukan hidup dan mati seseorang. Mereka juga tahu bebas menggunakan senjata itu tanpa pemerintah mampu atau mau mengubah peraturan yang memberi mereka kemudahan untuk membunuh seseorang.

 
Kecenderungan terhadap kekerasan bersenjata dan pemaksaan kehendak ini tidak saja terjadi pada level individu rakyat AS, tetapi juga pada pemerintahnya.
 
 

Kecenderungan terhadap kekerasan bersenjata dan pemaksaan kehendak ini tidak saja terjadi pada level individu rakyat AS, tetapi juga pada pemerintahnya. Berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan dengan jumlah korban yang jauh lebih besar sudah dan masih terjadi di Palestina, Irak, Afghanistan, dan banyak tempat lagi. Hampir semuanya terjadi dengan restu dan bahkan keterlibatan langsung Pemerintah AS.

Rakyat dan pemimpin merupakan cermin satu sama lain. Mungkin pemerintah AS harus mengubah kebijakan penggunaan militer dan perlakuan mereka terhadap negara lain sebelum penduduk AS bisa mengikutinya dalam pembatasan kepemilikan dan penggunaan senjata api yang sangat berlebihan.

Atau, haruskah AS menanti ibu-ibu militan seperti Ibu Emmet Till pada 1955 untuk kembali lahir dan melakukan gerakan massal menolak kekerasan rasial dan penggunaan senjata api secara ceroboh? Tidak malukah negara harus menunggu dulu seorang ibu-ibu militan marah untuk kemudian mengoreksi tindakan salah mereka?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tambahan Anggaran Biaya Haji Disetujui

Perlu diperhitungkan dengan cermat dan akuntabel setiap penggunaan dana haji yang saat ini dikelola.

SELENGKAPNYA

Rusia Kembali Tutup Pasokan Gas ke Eropa

Uni Eropa sepakat melakukan embargo parsial terhadap komoditas minyak Rusia.

SELENGKAPNYA

Berbincang Soal TKI Hingga Tari Kuda Kepang

Banyak perkara yang tak perlu timbul, tapi timbul karena kurang informasi dan kurang pemahaman.

SELENGKAPNYA