Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Memberantas Islamofobia (1)

Langkah maju bagi kaum Muslim bersama masyarakat dunia memberantas Islamofobia laten di banyak negara.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Proklamasi Majelis Umum PBB (UNGA) 15 Maret sebagai ‘Hari Internasional Memberantas Islamofobia’ (The International Day to Combat Islamophobia) adalah peristiwa historis.

Ini merupakan gestur dan langkah maju amat baik bagi kaum Muslim untuk bersama masyarakat dunia lebih luas memberantas Islamofobia yang aktual atau laten di berbagai negara.

Adopsi 15 Maret oleh MU PBB sebagai ‘Hari Internasional Memberantas Islamofobia’ dirayakan kalangan Muslim sebagai momen penting. Namun, jelas tidak ada perayaan dan euforia luas, termasuk di Tanah Air, Indonesia.

Kenyataan ini tampak terkait pandangan banyak Muslim bahwa Islamofobia sulit diberantas.

 
Adopsi 15 Maret oleh MU PBB sebagai ‘Hari Internasional Memberantas Islamofobia’ dirayakan kalangan Muslim sebagai momen penting.
 
 

Boleh jadi juga lingkungan Muslim di negara berpenduduk mayoritas Muslim atau di negara lain, tempat kaum Muslim minoritas mengakui ada Islamofobia, tetapi menganggapnya bukan isu penting. Atau ada pula kelompok Muslim yang tidak peduli karena ketidaktahuan atau kenaifan.

Apa pun perbedaan sikap kaum Muslim terhadap Hari Memberantas Islamofobia, sekali lagi ada banyak faktor yang membuat pemberantasan Islamofobia tidak mudah seperti membalik telapak tangan.

Islamofobia muncul, berkembang, dan bertahan di banyak komunitas dan negara di berbagai penjuru dunia karena faktor teologis-doktrinal, historis, sosiologis, politis, dan ekonomis. Faktor-faktor ini sering juga bersifat struktural yang membuat upaya memberantas Islamofobia sangat sulit.

Lagi pula, Islamofobia menyintas dalam berbagai lingkungan komunitas agama dan politik berbeda sebagai proses interaksi timbal balik, yang tidak selalu harmonis dan damai di antara kaum Muslim dengan non-Muslim di berbagai penjuru dunia.

 
Apa pun perbedaan sikap kaum Muslim terhadap Hari Memberantas Islamofobia, sekali lagi ada banyak faktor yang membuat pemberantasan Islamofobia tidak mudah seperti membalik telapak tangan.
 
 

Islamofobia tidak muncul dalam ‘tepuk sebelah tangan’. Islamofobia ada ketika ‘bertepuk dua belah tangan’, yaitu tatkala ada pertemuan di antara dua belah pihak; Muslim dan non-Muslim.

Walhasil, Islamofobia muncul, menyintas, dan meningkat bisa jadi karena memburuknya hubungan timbal balik di antara berbagai komunitas agama.

Islamofobia ada terkait meningkatnya rasa keterancaman komunitas tertentu dan menguatnya identitas religio-politik komunitas berbeda agama, ras, budaya, tingkat pendidikan, dan ekonomi. Secara historis konvensional, Islamofobia telah berlangsung dalam masa sangat panjang.

Sikap anti-Islam tumbuh, menguat, dan bertahan sejak terjadinya pertemuan keras (hard encounter) pada masa pasca-Nabi Muhammad, antara Islam dan para penganutnya dengan agama dan umat agama lain.

Pertemuan keras terjadi tatkala berlangsung proses yang disebut dalam sejarah Islam sebagai al-futuhat, pembukaan atau liberalisasi atau ekspansi Islam ke berbagai ranah di Asia, Afrika, dan Eropa.

 
Sikap anti-Islam tumbuh, menguat, dan bertahan sejak terjadinya pertemuan keras (hard encounter) pada masa pasca-Nabi Muhammad, antara Islam dan para penganutnya dengan agama dan umat agama lain.
 
 

Secara konvensional, perbenturan Islam dengan masyarakat non- Muslim yang memunculkan Islamofobia dianggap banyak kalangan terjadi, terutama di negara-negara Eropa—semula pada abad-abad lampau sejak masa klasik, melintasi abad pertengahan yang ditandai kebangkitan Eropa dan berlanjut pada era modern dan kontemporer.

Pada masa silam yang jauh, pertemuan keras terjadi di Semenanjung Iberia (kini Spanyol, 711-1492), lalu Perang Salib antara kekuatan gereja Eropa Tengah dan Eropa Timur versus Muslim secara berkali-kali (1095-1291), dan penaklukan Eropa Timur dan Eropa Tengah (sepanjang abad ke-17) oleh Dinasti Turki Utsmani.

Ketika negara-negara Eropa bangkit sejak abad ke-16, yang ditandai ekspedisi dan penaklukan banyak wilayah Muslim, hard encounter meninggalkan banyak luka dan kepahitan sampai sekarang.

Hasilnya, banyak bagian dunia Muslim terpuruk pada masa modern sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang.

Banyak negara Muslim yang mencapai kemerdekaan dari kolonialisme Eropa pada masa pasca-Perang Dunia II menjadi negara otoritarian, yang gagal menciptakan stabilitas politik dan melakukan pembangunan ekonomi dan sosial.

 
Ketika negara-negara Eropa bangkit sejak abad ke-16, yang ditandai ekspedisi dan penaklukan banyak wilayah Muslim, hard encounter meninggalkan banyak luka dan kepahitan sampai sekarang.
 
 

Keadaan ini menjadi faktor pendorong (push factor), yang mendorong banyak warga negara-negara Muslim berimigrasi atau menjadi pengungsi ke Eropa dan Amerika Utara.

Gelombang ini terus berlanjut sampai dewasa ini karena kekacauan politik yang terus terjadi di negara Muslim semacam Libya, Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Afghanistan, Somalia, dan Sudan.

Pada pihak lain, negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara menawarkan sejumlah faktor penarik (pull factor). Selain keadaan politik dan ekonomi yang stabil, juga kebebasan berekspresi dalam banyak aspek kehidupan tanpa dibayangi kekhawatiran mendapat represi politik.

Kombinasi faktor pendorong dan faktor penarik inilah yang membuat imigrasi Muslim secara sukarela meningkat ke Barat sejak akhir PD II sampai 1980-an. Imigrasi meningkat kembali sejak awal milenium 21. Namun, kebanyakan mereka tidak terintegrasi ke dalam masyarakat lokal, yang memunculkan kejengkelan antarkomunitas.

Keadaan tidak kondusif ini bertambah terkait kesulitan ekonomi dan politik di banyak negara Eropa; Islamofobia kembali meningkat secara signifikan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

’Quo Vadis’ Buku Kita?

Penjualan buku bajakan dengan mudah berbiak di lokapasar daring.

SELENGKAPNYA

Masjid Pelopor Lingkungan Hijau

Apa yang dicapai Masjid Istiqlal mesti dijadikan gerakan bagi masjid yang lain.

SELENGKAPNYA

Kerja Sambil Main Handphone?

Tingkat kebutuhan pekerjaannya terhadap handphone itu juga berbeda-beda.

SELENGKAPNYA