Ilustrasi label halal. | Tahta Aidilla/Republika

Opini

Logo Halal untuk Siapa?

Itulah gunanya research-based policy dan public consultation period sebelum kebijakan diputuskan.

RONALD RULINDO; Dosen Prodi Bisnis Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis UI

Baru-baru ini, Indonesia kembali heboh. Kali ini dengan ditetapkannya logo halal terbaru oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), lembaga resmi negara yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikasi halal bagi pelaku usaha di Indonesia.

Logo baru ini banyak dikritik. Bukan karena tidak bagus, desainnya cukup menarik dan out of the box, tetapi justru karena perbedaan cukup drastis itulah, logo halal ini mendapat banyak penolakan.

Namun, dari perdebatan yang terjadi, ada pertanyaan penting terlewat, yakni logo halal itu untuk siapa?

Dalam makalah “the Development of Halal Branding”, M Fauzan Abu Bakar dari Universitas Canberra menyatakan, logo halal pertama kali digunakan di Argentina. Tujuannya, menunjukkan barang yang dijual adalah barang halal.

 

 
Logo baru ini banyak dikritik. Bukan karena tidak bagus, desainnya cukup menarik dan out of the box, tetapi justru karena perbedaan cukup drastis itulah, logo halal ini mendapat banyak penolakan.
 
 

 

Pendekatan ini akhirnya ditemukan di negara lain seperti Turki hingga seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, apakah penggunaan logo halal itu tepat di Indonesia? Nah, sebenarnya ini masih bisa diperdebatkan.

Berdasarkan sejarah, justru yang pertama kali diterapkan di Indonesia itu logo haram, bukan logo halal. Sampai saat ini, masih banyak pihak berpendapat seperti itu. Tanyakan saja pada pemilik rumah makan Padang, apakah makanan mereka halal?

Hampir dipastikan si pemilik rumah makan tersinggung jika mendapat pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama jika dibawa ke Timur Tengah dan Afrika Utara, yang juga berpenduduk mayoritas Muslim dan budaya keislaman yang kuat, akan mendapatkan respons sama.

Lalu logo halal itu untuk apa? Jawabannya untuk lebih meyakinkan calon pembeli bahwa suatu produk itu  benar-benar halal. Siapa yang membutuhkan keyakinan tersebut? Tentu Muslim yang berhati-hati dengan apa yang ia makan.

 

 
Untuk aspek bisnis, logo halal mendukung ekspor produk halal Indonesia ke Timur Tengah atau negara lainnya.  Saat ini, pemerintah ingin menjadikan Indonesia pusat industri halal dunia.
 
 

 

Untuk aspek bisnis, logo halal mendukung ekspor produk halal Indonesia ke Timur Tengah atau negara lainnya.  Saat ini, pemerintah ingin menjadikan Indonesia pusat industri halal dunia.

Kita ingin produk industri halal Indonesia masuk pasar global, terutama Timur Tengah. Saat ini, produk halal dari Malaysia bahkan Thailand dan Filipina yang justru penduduk Muslimnya masih minoritas, membanjiri negara-negara Teluk tersebut.

Selain itu, kita ingin menarik lebih banyak turis Timur Tengah. Selama ini, mereka masih lebih suka ke Malaysia. Selain infrastruktur relatif lebih baik, turis asing lebih mudah menemukan restoran berlogo halal ataupun mushala bersih di berbagai tempat pariwisata.

Maka itu, tujuan utama logo halal meyakinkan turis dan calon pembeli, khususnya dari Timur Tengah untuk datang dan membeli produk Indonesia. Jadi, bukan untuk meyakinkan warga lokal saja.

Seharusnya, saat logo halal baru didesain ulang perlu diuji lebih dahulu, apakah bisa dipahami oleh target market-nya. Terlepas ada tulisan latin “Halal Indonesia”, ada berbagai jenis tulisan di dunia, yang mana tulisan latin bisa jadi bukan yang biasa mereka baca sehari-hari.

 

 
Seharusnya, saat logo halal baru didesain ulang perlu diuji lebih dahulu, apakah bisa dipahami oleh target market-nya. 
 
 

Testing logo halal

Karena itu, logo halal yang baru perlu diuji. Hasilnya seperti apa? Untuk masyarakat Indonesia banyak yang salah baca. Lalu bagaimana orang Arab sendiri, apakah bisa membacanya juga? Ternyata tidak!

Dari beberapa kali percobaan terhadap rekan-rekan dari Timur Tengah yang lahir, besar, dan bekerja di Tanah Arab dan berbahasa Arab, mereka mengira tulisan pada logo itu tulisan Allah ataupun Laa Illahailallah.

Perlu dipahami, orang Arab sangat berhati-hati. Terkadang, trust issue mereka cukup tinggi. Tidak hanya dalam bisnis sehingga terkesan pelit, tetapi juga agama.

Mereka sering meragukan pemahaman agama kita yang dari wilayah sangat jauh dari sumber agama Islam. Apalagi, kalau kita tak bisa berbahasa Arab. Faktor sosiologis ini, bisa berdampak pada tingkat kesulitan kita meyakinkan mereka produk kita benar-benar halal.

Bisa jadi, mereka mempertanyakan kembali: “Apakah pengujian  kehalalan yang dilakukan sudah benar?” “Bagaimana bisa benar, sedangkan menulis halal saja salah?” Hal-hal sekecil itu, bisa saja terjadi dan seharusnya diantisipasi sebelum pengambilan keputusan.

 
Dari beberapa kali percobaan terhadap rekan-rekan dari Timur Tengah, mereka mengira tulisan pada logo itu tulisan Allah ataupun Laa Illahailallah.
 
 

Itulah gunanya research-based policy dan public consultation period sebelum kebijakan diputuskan. Sebab, setiap keputusan pasti tak 100 persen benar atau salah. Namun jika prosedurnya tepat, kemungkinan kesalahan atau kesalahpahaman bisa diminimalkan.

Sebenarnya, tak ada masalah jika BPJPH ingin tetap menggunakan logo halal baru. Akan tetapi, selain harus mempromosikan produk halal Indonesia, kita mendapat pekerjaan tambahan, yakni meyakinkan masyarakat Muslim dunia bahwa itu logo halal.

Untuk pekerjaan pertama saja sudah cukup berat, apalagi ditambah pekerjaan berikutnya yang seharusnya bisa dihindari. Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat