Personel kepolisian berjalan didepan ruang sidang saat sidang tuntutan terkait dugaan pembunuhan diluar proses hukum kepada laskar FPI yang digelar secara daring di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/2/2022). | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Polisi Pembunuh Laksar FPI Dituntut Enam Tahun

Dakwaan JPU dinilai membuktikan peristiwa KM 50 pelanggaran HAM berat.

JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella dengan hukuman enam tahun penjara. Kedua anggota Polda Metro Jaya itu dinilai terbukti melakukan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek.

"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun dengan perintah terdakwa segera ditahan," ujar Jaksa Fadjar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (22/2).

Tuntutan kepada dua terdakwa dibacakan oleh jaksa secara terpisah di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/2). Menurut Fadjar, Fikri melanggar Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam berkas tuntutan yang berbeda, jaksa Paris Manalu juga meyakini Ipda Yusmin melanggar ketentuan dalam pasal yang sama dengan Fikri.

Terkait dengan barang bukti, jaksa meminta majelis hakim agar memerintahkan beberapa barang bukti dikembalikan ke Polda Metro Jaya, ada beberapa yang dimusnahkan, dan lainnya diminta tetap dimasukkan dalam berkas perkara. Jaksa, dalam tuntutannya juga membacakan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi dua terdakwa.

Jaksa Fadjar menilai hal yang memberatkan Fikri, yaitu tidak memperhatikan asas legalitas, asas nesesitas, dan asas proporsionalitas, terutama dalam menggunakan senjata api saat mengawal para korban, yaitu empat anggota FPI, dari Rest Area KM 50 Tol Cikampek ke Polda Metro Jaya.

Sementara itu, hal-hal yang meringankan untuk Fikri, di antaranya telah bertugas sebagai polisi selama 12 tahun. Pada masa tugasnya itu, Fikri tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Hal-hal yang memberatkan dan meringankan untuk Fikri secara substansi juga berlaku untuk Yusmin. "Bahwa terdakwa sedang menjalankan tugas. Bahwa terdakwa berprofesi sebagai polisi selama 15 tahun," kata jaksa.

photo
Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Briptu Fikri Ramadhan menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10/2021). - (Prayogi/Republika.)

Usai pembacaan tuntutan, hakim ketua Muhammad Arif Nuryanta pun meminta pendapat dua terdakwa. Fikri dan Yusmin, yang menghadiri sidang secara virtual dari tempat penasihat hukum, pun menyerahkan keputusan itu kepada pengacaranya. Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat menyampaikan kliennya akan mengajukan pembelaan atau pledoi pada sidang berikutnya.

Fikri dan Yusmin menjalani persidangan kasus pembunuhan sewenang-wenang yang menewaskan empat anggota FPI saat mereka dalam perjalanan ke Polda Metro Jaya pada 7 Desember 2020. Empat anggota FPI yang menjadi korban penembakan di dalam mobil milik kepolisian, yaitu Muhammad Reza (20 tahun), Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21).

Dua anggota FPI lainnya, Luthfi Hakim (25) dan Andi Oktiawan (33) juga tewas. Akan tetapi, korban meninggal dunia di lokasi berbeda, yaitu saat baku tembak antara Laskar FPI dan polisi di Jalan Simpang Susun Karawang Barat.

 

 
Membunuh dituntut enam tahun? Sampai jumpa di pengadilan akhirat.
 
 

 

Kuasa hukum keluarga korban 6 mantan laskar FPI, Aziz Yanuar menyayangkan tuntutan jaksa yang hanya enam tahun penjara. Tuntutan itu dinilai tidak sesuai dengan perbuatan para tersangka.

"Membunuh dituntut 6 tahun? Sampai jumpa di pengadilan akhirat," kata dia saat dikonfirmasi Republika, kemarin.

Menurut dia, kasus itu memang seharusnya diselesaikan dengan peradilan hak asasi manusia (HAM). Seharusnya, kata dia, para penegak hukum menyadari beragam luka di tubuh para korban menjadi bukti nyata adanya pelanggaran HAM berat. Artinya, dakwaan yang disampaikan JPU membantah pernyataan Komnas HAM yang menyebut peristiwa itu bukan pelanggaran HAM berat.

"Seharusnya diselesaikan dengan peradilan HAM. Itu saja satu-satunya keinginan kami dan keluarga korban," kata Aziz.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat