Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Agama: Revitalisasi Keadaban Publik

Krisis keadaban publik (public civility) masih melanda berbagai aspek kehidupan bangsa-negara.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Krisis keadaban publik (public civility) masih melanda berbagai aspek kehidupan bangsa-negara sejak dari bidang politik, hukum, sosial-budaya, ekonomi serta keuangan, bahkan sampai agama.

Tak terlalu sulit menemukan pelanggaran keadaban publik, sering terlihat di mana-mana sangat kasatmata pada berbagai aspek dan level kehidupan. Belum terlihat tanda meyakinkan terjadi proses pemulihan keadaban publik itu.

Peningkatan kemerosotan keadaban publik kontras dengan kehidupan keagamaan dalam lebih tiga dasarwarsa terakhir. Sejak 1980-an, masyarakat Indonesia penganut berbagai agama mengalami intensifikasi keagamaan (religious intensification).

Kalangan sosiolog agama menyebut fenomena itu ‘konversi’—bukan dalam pengertian ‘pindah agama’, melainkan ‘pindah dari tidak menjalankan ajaran agama (non-practicing atau ‘abangan’) menjadi pengamal perintah agama (practicing atau ‘santri’).

 

 
Banyak mereka yang mengalami ‘kelahiran kembali’ sebagai orang beriman, memegangi doktrin dan praktik agama secara ketat dan kaku.
 
 

 

Dalam intensifikasi pemahaman dan praksis keagamaan, banyak orang mengalami ‘kelahiran kembali’ seperti tecermin dari ungkapan ‘born again Muslim’ atau ‘born again Christian’—populer pertama kali di AS sejak 1970-an—atau ‘born again Hindu' dan seterusnya.

Banyak mereka yang mengalami ‘kelahiran kembali’ sebagai orang beriman, memegangi doktrin dan praktik agama secara ketat dan kaku.

Sikap keagamaan seperti itu menimbulkan ekses tertentu dalam kehidupan religio-sosial, religio-kultural, bahkan juga religio-politik di antara penganut bermacam agama dan di berbagai penjuru dunia.

Sejauh menyangkut keadaban publik, banyak kalangan yang ‘lahir kembali’ tak menerapkan adab dan keadaban. Dengan pemahaman dan praksis keagamaan ketat, mereka cenderung tak peduli keadaban yang diajarkan agama.

Misalnya, tidak toleran, baik terhadap mereka yang seiman-seagama maupun yang terhadap yang berbeda agama. Pada segi lain, mayoritas umat beragama yang merupakan arus utama juga mengalami intensifikasi keagamaan.

Indonesia dengan mayoritas absolut penduduknya Muslim, intensifikasi keagamaan itu terlihat jelas dengan pemakaian jilbab yang meluas; pertambahan jumlah infrastruktur dakwah-pendidikan, seperti masjid, mushala, madrasah, sekolah Islam, pesantren, rumah sakit, panti asuhan, dan seterusnya.

 

 
Intensifikasi keagamaan berbarengan dengan perbaikan kondisi ekonomi dan pendidikan terus meningkatkan jumlah kelas menengah Muslim.
 
 

 

Intensifikasi keagamaan berbarengan dengan perbaikan kondisi ekonomi dan pendidikan terus meningkatkan jumlah kelas menengah Muslim.

Hasilnya, peningkatan jumlah jamaah haji secara fenomenal yang mengakibatkan perpanjangan masa tunggu keberangkatan belasan sampai puluhan tahun. Juga ada eksplosi jumlah jamaah umrah dari tahun ke tahun.

Indonesia terus memperpanjang rekor sebagai pengirim jamaah haji dan umrah terbanyak di antara negara anggota OKI. Kelas menengah Muslim juga menjadi faktor instrumental dalam peningkatan filantropi Islam.

Pengumpulan dana ziswaf hampir selalu bertambah dari tahun ke tahun dengan penyaluran yang melintasi delapan asnaf, bukan hanya di Tanah Air melainkan juga ke mancanegara, seperti pembangunan rumah sakit dan sekolah di Palestina atau di Myanmar.

Namun, peningkatan ekspresi intensifikasi pemahaman dan pengamalan agama itu tak selalu selaras keadaban publik. Secara teoretis, meningkatnya pemahaman dan pengamalan Islam seharusnya menghasilkan penguatan keadaban publik dalam berbagai ranah dan tingkatan kehidupan.

Semestinya, semakin saleh umat memahami dan menjalankan agama, semakin baik pula keadaban publik dan berbagai aspek kehidupan.

 

 
Namun, peningkatan ekspresi intensifikasi pemahaman dan pengamalan agama itu tak selalu selaras keadaban publik. 
 
 

 

Dalam logika berpikir seperti itu, mestinya akhlak mulia atau budi pekerti luhur kian tegak; kedisiplinan warga meningkat; kepatuhan pada ketentuan hukum bertambah; saling menghormati dan menghargai kian kuat; kedamaian dan harmoni makin menguat; pemerintahan bersih KKN kian bertumbuh; penegakan hukum kian adil; dan keadilan ekonomi-sosial juga semakin terwujud.

Namun, jelas kondisi aktual, jauh daripada ‘semestinya’. Keadaban publik warga Indonesia dalam semua hal yang disebutkan itu—daftarnya bisa bertambah—memprihatinkan.

Meski berpenduduk mayoritas Muslim, tingkat ‘Islamisitas’ Indonesia (atau warganya) tertinggal jauh dibandingkan Selandia Baru, negara-negara Skandinavia atau Jepang. Karena itu, perlu mengevaluasi atau melakukan muhasabah terhadap aktualisasi ‘Islamisitas’ selama ini.

Boleh jadi ‘Islamisitas’ selama ini cenderung terpusat pada praksis ibadah mahdhah dengan kesalehan personalnya, tetapi tidak atau kurang pada ibadah sosial dalam kehidupan publik.

 

 
Revitalisasi keadaban publik memerlukan konsolidasi dan revitalisasi kesatuan holistik pemahaman dan praksis Islam menjadi kaffah atau syumul (sempurna).
 
 

 

Dalam ungkapan ironis: "Banyak Muslim baru bermuslim di masjid, tapi belum bermuslim di jalan, di pasar, atau di kantor".

Revitalisasi keadaban publik memerlukan konsolidasi dan revitalisasi kesatuan holistik pemahaman dan praksis Islam menjadi kaffah atau syumul (sempurna).

Kesenjangan praksis keislaman mengakibatkan defisit keadaan publik dengan segala dampak negatifnya terhadap kehidupan umat-bangsa.

Kesenjangan kesalehan personal dengan kesalehan publik mencerminkan pribadi terpecah (split personalitas); keduanya harus diintegrasikan secara utuh untuk mewujudkan kepenganutan Islam yang kaffah atau syumul

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat