Pengunjuk rasa memegang poster menuntut pembebasan pimpinan sipil Aung San Suu Kyi dalam aksi menolak kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 2021 lalu. | EPA-EFE/KAUNG ZAW HEIN

Kisah Mancanegara

Putus Hubungan dengan Anak karena Junta

Ikatan kekeluargaan itu diputus karena alasan sama: mereka menentang junta militer Myanmar.

OLEH DWINA AGUSTIN

Setiap hari selama tiga bulan terakhir, rata-rata enam atau tujuh keluarga di Myanmar mengumumkan pemutusan hubungan keluarga. Orang yang diputus bisa putri, putra, keponakan, atau cucu. Ikatan kekeluargaan itu diputus karena alasan sama: mereka menentang junta militer Myanmar.

Pengumuman itu dipasang di media pemerintah. Pemberitahuan semacam itu mulai muncul sejak 1 Februari 2021 lalu ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintah Myanmar yang dipilih secara demokratis.

Pada Senin (7/2), kantor berita Reuters memaparkan kisah mereka. Salah satunya adalah Lin Lin Bo Bo, mantan penjual mobil yang bergabung dengan kelompok bersenjata yang menentang kekuasaan militer. Namanya tertera di antara 570 nama yang mengalami pemutusan hubungan kerabat.

"Kami menyatakan bahwa kami tidak mengakui Lin Lin Bo Bo karena dia tidak pernah mendengarkan kehendak orang tuanya," kata pemberitahuan yang diunggah oleh orang tuanya, San Win dan Tin Tin Soe, di surat kabar milik negara The Mirror pada November.

Perempuan berusia 26 tahun itu mengatakan, ibunya tidak mau mengakuinya setelah tentara datang ke rumah keluarga mereka untuk mencarinya. Beberapa hari kemudian, Lin Lina hanya bisa menangis ketika membaca pemberitahuan di koran.

"Rekan-rekan saya mencoba meyakinkan saya bahwa tidak dapat dihindari bagi keluarga untuk melakukan itu di bawah tekanan. Namun, saya merasa sangat patah hati," ujar sosok yang tinggal di kota perbatasan Thailand, sejak melarikan diri dari kejaran tentara.

Dua orang tua lain yang tidak mengakui anak-anak mereka dalam pemberitahuan serupa, tak ingin disebutkan namanya. Mereka tak ingin berurusan dengan militer.

Namun, keduanya mengaku, pengumuman itu sebenarnya ditujukan untuk mengirim pesan kepada pihak berwenang. Mereka tak ingin tidak bertanggung jawab atas tindakan anak-anak mereka.

"Putri saya melakukan apa yang dia yakini, tetapi saya yakin dia akan khawatir jika kami mendapat masalah. Saya tahu, dia bisa mengerti apa yang telah kulakukan padanya," kata seorang ibu.

Menargetkan keluarga aktivis oposisi adalah taktik yang digunakan oleh militer Myanmar selama kerusuhan 2007 dan akhir 1980-an. Menurut petugas advokasi senior di kelompok hak asasi manusia Burma Campaign UK, Wai Hnin Pwint Thon, cara ini semakin sering digunakan sejak kudeta setahun lalu.

Wai Hnin Pwint Thon menyatakan, menolak anggota keluarga secara terbuka, adalah jalan keluar. Pengumuman pemutusan hubungan keluarga memang hal yang biasa di Myanmar. Kini, pengumuman semacam itu kian kerap dijumpainya.

"Anggota keluarga takut terlibat dalam kejahatan. Mereka tidak ingin ditangkap, dan mereka tidak ingin mendapat masalah," kata Wai Hnin Pwint Thon.

Mengomentari pemberitahuan tersebut dalam konferensi pers pada November, juru bicara militer Zaw Min Tun mengatakan bahwa orang-orang yang membuat pernyataan seperti itu di surat kabar masih dapat dituntut. Tuntutan dapat dilayangkan jika mereka terbukti mendukung oposisi terhadap junta.

Laman lembaga advokasi Assistance Association of Political Prisoners mencatat, hingga 4 Februari ada 1.519 tewas terkait aparat. Namun, militer mengatakan angka-angka itu dibesar-besarkan.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat