
Analisis
Di Balik Kelangkaan Batu Bara dan Minyak Goreng
Berakhirnya pengetatan ini dimanfaatkan para pelaku usaha mendorong aktivitas usahanya.
Oleh SUNARSIP
OLEH SUNARSIP
Dua bulan terakhir, kelangkaan batu bara dan minyak goreng menghiasi pemberitaan. Berita kelangkaan batu bara sejak Desember 2021, minyak goreng sejak Januari 2022.
Kelangkaan batu bara sepertinya terselesaikan seiring keluarnya kebijakan larangan ekspor batu bara pada akhir Desember 2021. Untuk ini, kita berterima kasih kepada Kementerian ESDM cq Dirjen Mineral dan Batubara. Ini mengingat, kebijakan larangan ekspor menjadi pendorong evaluasi lebih luas terkait kebijakan pengadaan batu bara bagi kelistrikan dan kembali berjalannya kebijakan kewajiban memenuhi pasar domestik (DMO).
Untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng, pemerintah mengeluarkan kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan kebijakan DMO dan domestic price obligation (DPO) yang berlaku untuk semua produsen minyak goreng. Kebijakan DMO yang diterapkan adalah eksportir minyak goreng wajib memasok 20 persen dari volumenya untuk dalam negeri pada 2022.
Kelangkaan batu bara dan minyak goreng sebenarnya disebabkan banyak faktor: eksternal dan internal. Faktor eksternal, antara lain, dipicu tingginya harga komoditas di pasar internasional.
Sedangkan DPO untuk minyak sawit (CPO) ditetapkan Rp 9.300 per kg, dan minyak olein Rp 10.300 per liter. Tampaknya masih butuh dorongan agar kebijakan ini efektif. Sebab, kelangkaan minyak goreng belum sepenuhnya teratasi.
Kelangkaan batu bara dan minyak goreng sebenarnya disebabkan banyak faktor: eksternal dan internal. Faktor eksternal, antara lain, dipicu tingginya harga komoditas di pasar internasional. Perhitungan yang saya lakukan dari data Bank Dunia, harga batu bara (Australia) rata-rata 139 dolar AS per ton selama 2021, tertinggi dalam sejarah sejak batu bara diperdagangkan.
Sedangkan harga minyak sawit (CPO) yang menjadi bahan baku minyak goreng mencapai 1.130 dolar AS per ton, tertinggi kedua dalam sejarah perdagangan CPO. Harga tertinggi CPO terjadi pada 2011 sebesar 1.190 dolar AS per ton.
Kenaikan harga yang tinggi tak terlepas dari tingginya permintaan di negara-negara tujuan ekspor. Ekspor batu bara dan CPO kita terbesar ke Cina dan India. Seiring pengakhiran pengetatan sejak awal 2021, aktivitas industri di kedua negara tersebut naik signifikan.
Terdapat semacam tindakan “balas dendam” oleh pelaku usaha dengan melakukan “lompatan” aktivitas ekonominya.
Berakhirnya pengetatan ini dimanfaatkan para pelaku usaha mendorong aktivitas usahanya. Terdapat semacam tindakan “balas dendam” oleh pelaku usaha dengan melakukan “lompatan” aktivitas ekonominya.
Lonjakan aktivitas ekonomi ini tidak hanya terjadi di Cina atau India, tetapi hampir di seluruh dunia seiring pengakhiran pengetatan yang terjadi bersamaan. Konsekuensinya, permintaan energi (batu bara) dan bahan baku (CPO, misalnya) menjadi tinggi sehingga harganya pun melonjak.
Kenaikan harga secara tajam inilah yang mendorong produsen batu bara dan CPO mengalihkan pemasarannya: dari domestik dan ke pasar ekspor. Tujuannya, memanfaatkan selisih harga yang besar.
Momentum ini dimanfaatkan terlebih selama masa pandemi 2020, mereka “puasa” akibat melemahnya aktivitas usaha. Krisis pandemi menyebabkan penjualan dan laba korporasi tergerus (bahkan merugi) dan kesehatan keuangan mereka merosot. Korporasi tersebut membutuhkan pemulihan untuk mengobati luka memar (scarring effect) akibat pandemi. Perilaku inilah yang ditengarahi menjadi salah satu faktor internal yang mendorong kelangkaan.
Salahkah mereka yang memanfaatkan momentum kenaikan harga di pasar internasional untuk memulihkan kinerja keuangan korporasinya? Tentu tidak salah. Perilaku ini merupakan kelaziman dalam dunia usaha. Hanya saja, tetap perlu menjaga keseimbangan kepentingan untuk memulihkan kondisi keuangan korporasi dengan kepentingan masyarakat.
Kenaikan harga secara tajam inilah yang mendorong produsen batu bara dan CPO mengalihkan pemasarannya: dari domestik dan ke pasar ekspor.
Terlebih, khusus pada batu bara, sebelum krisis ini terjadi, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan DMO berikut penetapan harganya sejak 2018. Sayangnya, dalam dua tahun terakhir, kebijakan DMO tidak sepenuhnya berjalan lancar.
Penyebab ketidaklancaran pelaksanaan DMO ini tentu perlu ditelusuri. Kalau soal harga DMO dinilai kerendahan, sepertinya tidak sepenuhnya tepat. Ketika Kementerian ESDM menetapkan harga DMO sebesar 70 dolar AS per ton, tentunya saat itu telah mempertimbangkan biaya plus keuntungan (margin) bagi produsen batu bara.
Ketika krisis pandemi melanda pada 2020, harga DMO sebenarnya lebih tinggi dibanding harga internasional. Berdasarkan kalkulasi saya, rata-rata harga batu bara (Australia) mencapai 61 dolar AS per ton selama 2020. Dengan kata lain, kebijakan harga DMO sebesar 70 dolar AS per ton semestinya favourable bagi produsen batu bara domestik.
Menuduh bahwa ketidakterpenuhinya DMO batu bara akibat perilaku produsen yang ingin memaksimalkan keuntungan juga kurang adil. Pada 2018 dan 2019, harga batu bara di pasar internasional berada di atas harga DMO. Namun saat itu, kita belum mendengar berita kelangkaan batu bara. Kemungkinannya, terdapat faktor lain yang menyebabkan kelangkaan batu bara dan tidak berjalannya kebijakan DMO secara konsisten.
Bagi PLN, kontrak jangka panjang penting untuk memastikan manajemen stok sekaligus penghitungan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Saya mendukung langkah pemerintah yang sedang mengkaji tata niaga batu bara. Salah satunya terkait kontrak pengadaan batu bara. Kontrak pengadaan batu bara sebaiknya dibuat jangka panjang untuk memberikan kepastian bagi PLN dan produsen batu bara.
Bagi PLN, kontrak jangka panjang penting untuk memastikan manajemen stok sekaligus penghitungan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Sedangkan bagi produsen, kontrak jangka panjang penting untuk kepastian manajemen produksi, sekaligus perhitungan biaya produksi. Bila kontrak pengadaan dibuat jangka pandang, kebijakan DMO memiliki peluang lebih besar dapat dilaksanakan secara konsisten.
Komoditas batu bara dan CPO memang rentan fluktuasi harga di luar negeri. Ini mengingat, pasar utama kedua komoditas ini memang ekspor. Produksi batu bara dan CPO kita, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik. Namun, pengaruh harga internasional berpotensi “mengganggu iman” para produsen untuk mengalihkan produksinya ke ekspor, apabila tata niaganya tidak diperbaiki.
Kebijakan DMO (berikut penetapan harganya) yang berlaku di batu bara dan kini diberlakukan di CPO merupakan kebijakan tepat untuk memastikan kebutuhan domestik terpenuhi. Tinggal penetapan harganya yang perlu disesuaikan secara berkala.
Saya berpendapat, ada baiknya fenomena ini dibicarakan di forum global. Indonesia sebagai Presidensi G-20, saya kira perlu mengeluarkan inisiatif tersebut.
Apakah fenomena kelangkaan ini akan berhenti pada kedua komoditas ini? Perkiraan saya, tidak. Ini mengingat, pemulihan ekonomi global pasca berakhirnya pengetatan belum terjadi merata pada seluruh sektor ekonomi. Masih terdapat sektor ekonomi yang diperkirakan baru akan pulih di tahun ini dan tahun depan.
Diperkirakan fenomena ini berulang pada komoditas lain seiring pemulihan pada sektor yang membutuhkan komoditas itu. Oleh karenanya, kemampuan setiap negara dalam menyeimbangkan pemulihan ekonomi dengan kesiapan sisi supply-nya menjadi hal penting guna mencegah terulangnya fenomena tersebut.
Fenomena kelangkaan yang berdampak pada kenaikan harga ini diperkirakan menjadi fenomena global. Sebab, setiap negara memiliki fase serupa terkait pemulihan ekonominya.
Saya berpendapat, ada baiknya fenomena ini dibicarakan di forum global. Indonesia sebagai Presidensi G-20, saya kira perlu mengeluarkan inisiatif tersebut. Tujuannya, untuk menemukan solusi bersama agar pemulihan global tidak menimbulkan syok tertentu yang dapat mengganggu pemulihan berkelanjutan.
Sesuai dengan slogan Presidensi G-20 saat ini: Recover Together, Recover Stronger.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.