Petugas PMI menyemprotkan disinfektan di salah satu ruang kelas di SDN Gunung 05 Mexico, Jalan Hang Lekir V No 53, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (3/2/2022). | Republika/Thoudy Badai

Opini

Gundah Pembelajaran Tatap Muka

Dengan situasi yang belum menentu, kebijakan pembelajaran memang harus fleksibel.

Oleh ANGGI AFRIANSYAH

ANGGI AFRIANSYAH; Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Dua kover depan Republika (2 dan 3 Februari 2022) mengetengahkan judul mengenai pembelajaran tatap muka (PTM). Harian Republika juga secara khusus mengulas “Evaluasi PTM” di bagian Tajuk.

Hari-hari ini, dunia pendidikan memang sedang gundah mengenai keberlanjutan PTM di sekolah. Sekolah, tempat anak kami belajar pun secara responsif mengembalikan pembelajaran menjadi via daring.

Dalam satu chat di WAG orang tua, guru mengingatkan untuk tetap menjaga kondisi kesehatan, menginformasikan segera jika dalam kondisi kurang sehat, tidak panik, dan tetap menaati protokol kesehatan.

Sang guru juga menegaskan, terinfeksi Covid-19 bukanlah aib yang harus disembunyikan. Sebagai orang tua, kami mengapresiasi respons sekolah yang memberlakukan kembali pembelajaran secara daring ketika ada siswa positif Covid-19, juga ketika kasus meningkat.

 

 
Dengan situasi yang belum menentu, kebijakan pembelajaran memang harus fleksibel.
 
 

 

Harapan agar kasus mereda dan pandemi berakhir tentu menjadi keinginan kita bersama.  Kondisi saat ini tentu menjadi tantangan bagi seluruh elemen pendidikan. Dengan situasi yang belum menentu, kebijakan pembelajaran memang harus fleksibel.

Saya yakin, orang tua dan sekolah banyak belajar mengenai pola baru pendidikan pada masa pandemi ini. Dalam situasi naik turun kasus, mobilitas anak ke sekolah bukan hal mudah dilakukan.

Penggunaan teknologi bagi sekolah-sekolah yang memiliki akses tentu dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Namun, sekolah harus sekreatif mungkin mendesain pembelajaran yang memicu anak untuk aktif, kreatif, dan mandiri.

Bukah sekadar memindahkan pembelajaran tatap muka ke layar gawai. Jika demikian, kebosanan melanda anak. Pertanyaan yang perlu terus diajukan ke negara, apakah layanan pendidikan selama pandemi menjamin hak setiap anak untuk belajar?

Apakah pembelajaran mengakomodasi anak-anak meningkatkan kompetensi? Apakah guru diberi kesempatan meningkatkan kapasitas, baik teknis maupun substantif? Apakah ada ruang healing bagi guru ataupun anak yang tertekan selama masa pandemi?

Jebakan

Jebakan yang ada, betapa kita selalu diajak ke arah solusi tunggal mengenai pemanfaatan teknologi digital bagi pembelajaran pada saat di negeri ini pemerataan akses teknologi, guru, sarana, dan prasarana belum memadai.

 

 
Jebakan yang ada, betapa kita selalu diajak ke arah solusi tunggal mengenai pemanfaatan teknologi digital bagi pembelajaran pada saat di negeri ini pemerataan akses teknologi, guru, sarana, dan prasarana belum memadai.
 
 

 

Kita kadung disajikan beragam kecanggihan teknologi pembelajaran masa kini pada saat masih banyak anak, yang bahkan tak bisa belajar karena tak ada gawai di rumah dan hanya berharap pada pembelajaran tatap muka.

Secara kritis, Neil Selwyn (2011) dalam Education and Technology: Key Issues and Debates menyampaikan, konsep teknologi pendidikan tak hanya mengacu pada teknologi material dan alat yang digunakan dalam pengaturan pendidikan.

Dengan begitu, menurut dia, tidak cukup melihat teknologi digital hanya sebagai bagian dari media pengaturan pendidikan. Selwyn juga menyebut, teknologi pendidikan bukan hanya alat netral yang digunakan dalam konteks pendidikan.

Seperti semua teknologi lainnya, teknologi pendidikan secara intrinsik terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Poin yang disampaikan Selwyn perlu ditanggapi secara saksama.

Sebab, ketika bicara teknologi pendidikan, kita selalu diberikan proyeksi optimistis. Teknologi akan selalu memudahkan guru mengajar dan siswa belajar. Pertanyaan lanjutannya, guru dan siswa yang mana?

Karena sering kemudian yang membuat proses pembelajaran lancar dan efektif adalah kemampuan guru dan siswa memanfaatkan ragam fasilitas yang disajikan, bukan pada medianya. Hal yang penting, tetap pada etos guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

 

 
Teknologi akan selalu memudahkan guru mengajar dan siswa belajar. Pertanyaan lanjutannya, guru dan siswa yang mana?
 
 

 

Dalam konteks saat ini, seperti disebut Sunarto (2021) dalam Pendidikan di Era Tranformasi Sosial Budaya Abad ke-21, pembelajaran dan penerapan berbagai kompetensi baru mempunyai cakupan luas.

Bukan terbatas pada bidang ekonomi, sains, teknologi, teknik, dan matematika, melainkan juga sosial budaya. Pembelajaran berbagai kompetensi baru ini memerlukan pendidik yang memiliki pengetahuan dan pengalaman.

Yakni, mereka yang memiliki kemampuan melakukan inovasi, kreatif, berpikir kritis, dan mau belajar sepanjang hayat. Jika tidak hati-hati, pola pendidikan yang diberikan di ruang kelas justru mematikan kreativitas anak.

Apalagi, meski belakangan pemerintah menggaungkan ‘Merdeka Belajar’, ternyata turunan di persekolahan tak semudah itu. Guru masih terjebak pada tuntutan administratif dan penyelesaian tagihan kurikulum. Tampak ada gap antara apa yang menjadi tujuan kebijakan dan implementasi kebijakan.

Pekerjaan rumah bagi pembuat kebijakan adalah bagaimana meningkatkan kapasitas adaptif, baik pihak sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf) maupun keluarga (orang tua dan siswa) berbasis lokus tinggal dan konteks sosial ekonomi dalam merespons berbagai situasi yang masih belum stabil ini.

Kita pun kian menyadari pendidikan tanggung jawab bersama yang perlu dikelola secara partisipatif. Sehingga pola baru pendidikan sesuai kebutuhan bersama dan untuk kepentingan bersama dapat digapai, demi pemenuhan hak pendidikan setiap anak bangsa. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat