KH Asrori Ahmad. | DOK FACEBOOK RATHUCHANNEL

Fatwa

KH Asrori Ahmad, Dakwah tak Kenal Lelah

Kiai Asrori memang dikenal sebagai salah seorang ulama yang produktif menulis.

OLEH MUHYIDDIN

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menjelaskan, ulama merupakan pewaris para utusan Allah SWT. Yang diwariskannya bukanlah harta benda, melainkan ilmu. Dengan ilmu-ilmu agama Islam, seorang alim dapat membimbing umat.

Ada beragam cara dalam mengajarkan ilmu. Salah satunya ialah menulis. Di Indonesia, terdapat cukup banyak alim ulama yang mewariskan ilmunya dengan buku-buku karyanya. Salah seorang ulama yang produktif dalam menghasilkan kitab adalah KH Asrori Ahmad.

Namanya mungkin belum akrab di benak khalayak. Bagaimanapun, jasa-jasanya terbilang besar dalam syiar agama tauhid, khususnya di Jawa. Sang mubaligh adalah perintis sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Raudhatut Thullab, Magelang, Jawa Tengah.

Kariernya sebagai penulis dan penerjemah kitab dimulai sejak dirinya berusia 38 tahun. Sebelum itu, ia mendapatkan bimbingan dari para gurunya, seperti KH Ma'shum Ahmad Lasem, KH Baidlowi Lasem, dan KH Bisri Mustofa Rembang. Dalam berbagai kesempatan, mereka sering membaca naskah tulisannya untuk kemudian dikoreksi atau diberikan kata pengantar.

KH Asrori Ahmad lahir di Magelang pada 1923 atau bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1343 Hijriyah. Ia merupakan putra sulung dari pasangan Haji Ahmad dan Nyai Aminah. Sejak kecil, dia telah mengaji Alquran dan mempelajari dasar-dasar agama Islam kepada bapaknya, yang juga aktif sebagai guru di tengah masyarakat.

Semasa kanak-kanak, Asrori juga sering dibawa ayahnya untuk bersilaturahim dengan handai tolan. Dalam menempuh perjalanan itu, bapak dan anak itu kerap menggunakan sepeda onthel. Begitu pula dengan kunjungan ke sejumlah kiai.

Tidak hanya mendapatkan pengajaran dari sang ayah. Dia pun menempuh pendidikan umum. Saat berusia 11 tahun, ia berhasil menamatkan pendidikan di sekolah rakyat (SR), yaitu sekolah yang dirintis oleh para pejuang Indonesia pada masa penjajahan.

Setelah itu, barulah ia bertekad untuk mendalami ilmu-ilmu agama kepada para ulama. Maka pemuda itu pun menjadi santri kelana, dengan menyambangi berbagai pondok pesantren di Tanah Jawa.

 
Asrori muda pun menjadi santri kelana, dengan menyambangi berbagai pondok pesantren di Tanah Jawa.
 
 

Pondok pesantren yang pertama kali ditujunya ialah Pesantren Salam di Salamkanci, Bandongan, Magelang. Waktu itu, lembaga tersebut diasuh Kiai Raden Asnawi. Asrori muda pun berguru kepada sang kiai selama tiga tahun, yakni sejak 1932 hingga 1935.

Setelah mendapatkan bekal agama yang cukup di Pondok Pesantren Salam, remaja tersebut kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Tremas. Lembaga yang berlokasi di Pacitan, Jawa Timur, itu diasuh KH Hamid Dimyati. Ia menempa diri di sana kurang lebih dua tahun, yakni pada 1936 dan 1937.

Tak berhenti di situ. Sebab, Asrori masih merasa haus akan ilmu-ilmu agama. Akhirnya, ia melanjutkan rihlah keilmuan ke Pondok Pesantren al-Hidayah, Lasem, Rembang, di bawah asuhan KH Ma'shum Ahmad. Dia belajar di pesantren tersebut antara 1937 dan 1942, tepat ketika balatentara Jepang menginvasi Tanah Air.

Dari bimbingan Kiai Ma’shum, Asrori kemudian berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng pada 1942. Selain itu, ia juga menimba ilmu dari KH Dalhar di Watucongol pada 1943. Di samping itu, Kiai Asy'ari dari Damesan juga menjadi gurunya, terutama pada periode 1944 hingga 1947. Dua tahun berselang, dia kembali nyantri di Pondok Pesantren al-Hidayah Lasem pada 1949-1953.

Selama menjalani rihlahnya itu, Kiai Asrori telah mengalami suka dan duka. Ia bahkan pernah tidak mendapatkan kiriman uang dari kedua orang tuanya selama dua tahun. Sebab, secara keseluruhan kondisi ekonomi masyarakat Jawa kala itu sangat sulit. Akhirnya, saat mondok di Lasem dirinya sempat berjualan kayu bakar di pasar.

 
Saat mondok di Lasem dirinya sempat berjualan kayu bakar di pasar.
 
 

Akhmad Saefudin dalam buku Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas menuturkan kisah berikut. Pada suatu hari, Kiai Asrori muda merasakan kelaparan yang luar biasa.

Santri itu mengalami rasa perih yang kian tak tertahankan. Padahal, uangnya tidak tersisa lagi. Begitu pula dengan persediaan beras hasil berjualan kayu bakar. Maka sempat dirinya gelap mata. Ia nekat mengambil sebuah pisang di kebun yang berlokasi tak jauh dari pondok pesantren.

Saat itu, Asrori berpikir kebun tersebut merupakan milik Kiai Ma’shum. Maka dia percaya, gurunya itu tidak akan marah kalau pisangnya diambil orang. Namun, belakangan diketahuinya bahwa kebun itu bukanlah milik sang guru, melainkan seorang warga sekitar pesantren. Si pemilik kebun pun marah-marah saat mengetahui pisangnya diambil tanpa izin.

Menyadari kesalahannya, Asrori kemudian memberanikan diri untuk meminta maaf. Kepada pemilik pisang tersebut, ia memohon keikhlasannya atas pisang yang telah terlanjur dimakan. Pemilik kebun itu kemudian memaklumi pisang yang dimakan santri Lasem tersebut. Murid Kiai Ma’shum itu sangat menyesali perbuatannya.

Semasa menjadi santri untuk kali kedua di Pondok Pesantren al-Hidayah Lasem, Asrori muda juga kerap bersilaturahim kepada beberapa ulama sepuh. Sebut saja, KH Bisri Syansuri Jombang dan KH Bisri Mustofa Rembang. Dari keduanya, ia mendapatkan amalan dan motivasi untuk terus semangat dalam menulis kitab.

 
Dari keduanya, ia mendapatkan amalan dan motivasi untuk terus semangat dalam menulis kitab.
 
 

Guru yang paling mempengaruhi gaya penulisannya adalah KH Bisri Mustofa. Saat bertukar pikiran dengan Kiai Bisri, ia mendapatkan solusi atas persoalan ekonominya. Yakni, berjualan kitab-kitab yang ditulis gurunya tersebut. Keuntungan penjualan kemudian dipakainya untuk menopang kebutuhan hidup di pesantren.

Sembari berjualan, Asrori muda juga menimba fatwa, pengalaman, dan informasi kemasyarakatan yang sedang berkembang. Ia juga sering mendapatkan tips dan kiat-kiat kepenulisan dari Kiai Bisri. Tak mengherankan bila pada akhirnya lelaki asal Magelang itu menjadi seorang penulis yang andal dan penerjemah yang cakap.

Dakwah tulisan

Pada 1953, Kiai Asrori menyudahi masa santri di Lasem. Ia pun kembali ke desa tempatnya dilahirkan. Tekadnya ialah mendirikan pondok pesantren di sana sebagai medium penyebaran ilmu-ilmu agama.

Keinginan itu sempat dikonsultasikannya dengan para guru, semisal Kiai Asy’ari Demesan, KH Ma’shum, KH Baidlowi Lasem, serta KH Bisri Mustofa. Mereka semua mendukung rencananya itu. Maka berdirilah Pondok Pesantren Roudlotut Thullab di Dusun Wonosari, Desa Prajegsari, Kecamatan Tempuran, Magelang.

Daerah Magelang memiliki reputasi yang baik bagi kaum Muslimin Jawa. Sebab, pada masa dahulu di sanalah salah satu basis perjuangan Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda. Para kiai lokal juga setia dalam jalan jihad yang sama dengan sang pahlawan nasional.

Maka kiprah Kiai Asrori dengan Pesantren Roudlotut Thullab kian membesarkan nama baik Magelang. Dirinya berkhidmat di jalan dakwah dan pendidikan, yakni dengan menumbuhkan, membimbing, dan membina umat. Syiar Islam pun kian terbangun di tengah masyarakat.

Pendirian Roudlotut Thullab yang diasuh Kiai Asrori itu telah mengalami pasang surut. Hal itu tidak terlepas dari beberapa faktor pendukungnya. Pada 1976, sang pendiri mencoba menerapkan sistem madrasi (sekolah) dengan harapan pola pengajaran di sana akan lebih sistematis.

Ternyata, tanggapan yang baik dan bahkan antusias datang dari masyarakat sekitar. Mereka merasakan kemanfaatan yang besar dari rencana tersebut.

Bersamaan dengan proses dimulainya perluasan dan pembangunan gedung, pada 1987 Kiai Asrori kemudian memanggil salah seorang putranya, Ahmad Said. Anaknya itu telah menamatkan pendidikan di Pesantren Roudlatul Ulum, asuhan KH Zamrodji, Kencong, Pare, Kediri.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by PP Roudlotut Thullab (roudlotutthullab_channel)

Sejak kepulangan sang putra pada 1988, Pesantren Roudlotut Thullab semakin dinamis dan berbenah. Dalam hal ini, Ahmad Said dibantu seorang santri senior yang bernama Abdurrahman Masyhuri. Lambat laun, pesantren tersebut menjadi lebih tertata sedemikian rupa, baik dalam sistem pengajaran maupun kitab-kitab yang disajikan.

Selain mengelola pesantren, Kiai Asrori juga memantapkan dakwah bil kitabah atau penyebaran syiar Islam melalui tulisan. Ia aktif menulis dan juga menerjemahkan berbagai kitab kuning ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab-Pegon. Karya-karyanya tetap bisa dijumpai bahkan hingga kini.

Kitabnya yang berjudul Nurudduja fi Tarjamati Safinatun Najah, misalnya, telah ratusan kali dicetak ulang. Karya ini pun banyak dikaji maupun dijadikan referensi.

Jumlah kitab-kitab terjemahan yang ditulis Kiai Asrori mencapai ratusan judul dan meliputi berbagai disiplin ilmu. Di antara karya-karyanya yang masyhur adalah Tashil al-Rafiq fi Tarjamati Sullam al-Taufiq, Tarjamah Riyadl al-Shalihin, Tarjamah Irsyad al-Ibad, serta Tarjamah Risalah al-Muawanah. Semua itu meliputi berbagai disiplin, seperti fikih, hadis, akhlak, tauhid, tasawuf, dan sebagainya.

“Kakek saya itu, Kiai Asrori memang dikenal sebagai salah seorang ulama yang produktif menulis,” ujar Gus Nabil Haroen, salah satu cucu Kiai Asrori, saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.

Sejarawan Rijal Mumazziq menjelaskan, dalam proses menyusun dan menerjemahkan kitab-kitab, Kiai Asrori terbilang unik. Sang kiai jarang menggunakan kamus, seperti Munjid, Mu'jamul Wasith, atau Al-Munawwir.

Dirinya lebih suka membandingkan antara satu dan kitab lainnya yang serupa. Jika kurang mantap, ulama tersebut mendiskusikannya dengan para khaththath atau penulis kaligrafi kitab.

photo
Pesantren Roudlotut Thullab - (Facebook)

 

Memuliakan Penghafal Alquran

 

KH Asrori Ahmad merupakan seorang ulama yang sangat mencintai Alquran. Kitabullah tak pernah lepas dari rutinitasnya. Suami Ma’munatun binti KH Cholil Harun Rembang itu juga terkenal gemar bersedekah. Di antara banyak sasaran kebaikannya ialah para penghafal Alquran.

Sejarawan Rijal Mumazziq dalam artikelnya, “Tips Rahasia Keberkahan Hidup dari Para Ulama Nusantara”, mengaku pernah bertanya kepada seorang putra Kiai Asrori, yakni Kiai Ma’ruf. Dalam penuturannya, tokoh yang wafat pada 1 Agustus 1994 itu melayani para penghafal wahyu Allah bahkan dengan tangannya sendiri.

“Abah sangat memuliakan para penghafal Aquran. Pokoknya, kalau ada seorang hamilul Qur’an singgah di rumah, Abah memilih meladeni (menjamu) mereka dengan tangannya sendiri,” ujar Kiai Ma’ruf.

Kiai Asrori rela membuatkan kopi, mengantarkan suguhan, mempersiapkan makan, hingga memijit kaki para tamu yang hafiz itu. Sebelum pulang, mereka juga diberikannya hadiah. Karena itu, Kiai Ma’ruf menduga, tidak mengherankan jika cucu-cucu Kiai Asrori juga menghafalkan Alquran.

 
Abah sangat memuliakan para penghafal Aquran. Pokoknya, kalau ada seorang hamilul Qur’an singgah di rumah, Abah memilih meladeni sendiri.
 
 

“Saya menduga, cucu-cucu beliau tergerak hatinya untuk menghafalkan Alquran itu ya karena khidmah si Mbah mereka dalam rangka muliakan para penghafal Alquran ini,” ucap Kiai Ma’ruf.

Di samping itu, Rijal juga mencatat kisah menarik lainnya tentang Kiai Asrori. Sang ulama diketahui sangat berkomitmen dalam menjaga akidah umat. Biasanya, di setiap daerah dakwahnya ia bertanya kepada warga setempat, “Apakah di daerah sini ada pohon angker?”

Apabila pohon yang dimaksud ada, maka Kiai Asrori menawarkan dirinya untuk menebang pohon tersebut. Jika dihalang-halangi, ia bahkan bersedia membeli pohon itu. Biasanya, si pemilik lahan akan menolak. Namun, mubaligh tersebut terus merayunya hingga akhirnya memperoleh izin.

Keputusan Kiai Asrori itu berfaedah setidaknya pada dua hal. Pertama, menjaga akidah kaum Muslimin agar terbebas dari nuansa animisme-dinamisme. Sebab, paham tersebut apabila masih diyakini seorang Muslim justru mengarah pada kemusyrikan.

Kedua, sang kiai bisa mendapatkan bahan baku yang murah dan berkualitas. Kayu-kayu yang diperolehnya dari menebang pohon bisa dipakai untuk keperluan membangun kamar para santri di pondok pesantrennya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat