Seorang narapidana terorisme mencium bendera merah putih di Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/11/2021). | ANTARA FOTO/Humas Ditjenpas

Tajuk

Jelaskan Secara Terbuka ke Publik

Sesuai UU, Kementerian Agama memiliki wewenang dan tugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan pesantren.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar menyebut ada 198 pondok pesantren (ponpes) di Tanah Air, yang diduga terafiliasi kelompok teroris. Pernyataan kepala BNPT dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (25/1) itu tentu sangat mengejutkan.  Ponpes yang diduga BNPT terafiliasi kelompok teroris itu, di antaranya 11 ponpes berafiliasi JAK, 68 ponpes terafiliasi JI, dan 119 ponpes terafiliasi JAD dan simpatisan ISIS.

Sayangnya, kepala BNPT tak menjelaskan dan mengumumkan secara terbuka nama-nama 198 ponpes, yang diduga terafiliasi kelompok teroris tersebut. Tak heran apabila pernyataan kepala BNPT tersebut menuai reaksi dan tanggapan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas Islam, dan asosiasi ponpes. Sekretaris Jenderal MUI Pusat, Buya Amirsyah Tambunan, mempertanyakan informasi terkait 198 pesantren yang disebut terafiliasi dengan kelompok teroris tersebut.

"Atas dasar apa pendataan tersebut, apa metodologinya, apakah merupakan hasil kajian resmi BNPT?” ujar sekjen MUI. Menurut Amirsyah, banyak pihak yang mempertanyakan informasi yang disampaikan kepala BNPT tersebut. Tak cuma itu, menurut dia, pernyataan  BNPT juga telah menimbulkan keresahan di masyarakat.

Reaksi lebih keras disampaikan Badan Kerja sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI). Sekjen BKsPPI, KH Akhmad Alim menilai, narasi yang mengaitkan ponpes dengan tindakan radikalisme harus dihentikan. Menurut dia, narasi seperti itu bisa mencoreng nama baik pesantren. Ia mengingatkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang berperan aktif dalam menjaga kesatuan NKRI serta memajukan bangsa.

 

 
Sayangnya, kepala BNPT tak menjelaskan dan mengumumkan secara terbuka nama-nama 198 ponpes, yang diduga terafiliasi kelompok teroris tersebut. 
 
 

 

Mantan ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, KH Abdul Ghaffar Rozin, meminta BNPT menjelaskan lebih detail mengenai pernyataan adanya pesantren yang terafiliasi dengan kelompok teroris. Sebab, menurut dia,  beberapa tahun yang lalu juga BNPT pernah membuat pernyataan serupa, tetapi tidak disertai dengan penjelasan yang memadai kepada publik. Penjelasan lebih detail perlu disampaikan BNPT agar tidak menimbulkan rasa saling curiga di antara pesantren-pesantren.

Tanggapan dan reaksi dari berbagai elemen atas penyataan kepala BNPT itu tentu sangat wajar.  MUI, ormas Islam, asosiasi pesantren, dan pengelola pesantren patut mempertanyakan data yang dimiliki BNPT tersebut. Sebagai badan yang dimiliki negara, BNPT juga tentu tak akan asal sebut. Data-data yang dikantongi sebuah badan negara seharusnya teruji tingkat akurasinya.

Guna menghindari rasa saling curiga dan munculnya keresahan di publik, BNPT sudah harus menjelaskan secara terbuka data yang dimilikinya kepada Kementerian Agama, MUI, ormas Islam, dan asosiasi ponpes. Komunikasi antarlembaga seperti ini menjadi sangat penting untuk dilakukan.

 
Sesuai UU, Kementerian Agama memiliki wewenang dan tugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan pesantren. 
 
 

Terlebih, saat ini penyelenggaraan pesantren di Tanah Air diatur dalam Undang-Undang  (UU) No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Perpres Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Dengan duduk bersama antara BNPT dan stake holder pesantren di Tanah Air, status 198 ponpes yang diduga itu bisa diketahui. Apakah memang betul, 198 lembaga yang dicurigai BNPT itu memenuhi syarat untuk disebut sebagai pesantren?

Sesuai UU, Kementerian Agama memiliki wewenang dan tugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan pesantren. Terlebih, Kemenag telah membentuk Majelis Masyayikh, yang bertugas untuk menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren. BNPT hendaknya segera berkoordinasi dengan Kemenag untuk melakukan langkah tabayun dengan 198 pesantren, yang diduga terafiliasi kelompok teroris tersebut.

Setelah tabayun dilakukan, Kemenag melalui Majelis Masyayikh juga bisa turun langsung ke pesantren-pesantren tersebut. Dengan begitu, semua dugaan bisa dibuktikan secara langsung dan terbuka. Jika ada indikasi, Kemenag bersama MUI bisa melakukan pembinaan. Langkah seperti ini lebih efektif dilakukan untuk mencegah keresahan di masyarakat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat