Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Budaya Main Hakim Sendiri

Seperti sebutannya, orang yang makin hakim sendiri berarti bertindak seperti hakim yang memberi keputusan atas nasib orang lain.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Ditemukannya sel penjara atau ruang yang akses keluarnya dibatasi jeruji besi pada properti yang dikuasai mantan bupati Langkat, telah meningkatkan level keprihatinan atas budaya main hakim sendiri di tanah nusantara.

Seperti sebutannya, orang yang makin hakim sendiri berarti bertindak seperti hakim yang memberi keputusan atas nasib orang lain.

Bedanya, jika hakim di pengadilan memperoleh kekuasaan itu melalui prosedur panjang dan mempunyai mekanisme kontrol berjenjang, orang yang main hakim sendiri memutuskan tanpa pertimbangan matang dan fungsi kontrol, serta mudah terpengaruh  kondisi emosional dan keterbatasan intelektual pelakunya.

Jika dulu bentuk budaya main hakim sendiri umumnya ditemukan berupa tindakan sepihak masyarakat yang memukuli maling atau penjahat yang dipergoki massa, kini budaya main hakim sendiri memiliki banyak rupa, salah satunya membuat penjara sendiri.

 
Seperti sebutannya, orang yang makin hakim sendiri berarti bertindak seperti hakim yang memberi keputusan atas nasib orang lain.
 
 

Untuk memutuskan siapa yang masuk penjara, seharusnya butuh prosedur tidak mudah. Bahkan bagi polisi, jaksa, atau hakim sekalipun, seseorang harus memenuhi kriteria tertentu untuk boleh mereka penjarakan. Tidak lantas sewenang-wenang.

Sebab, kebebasan adalah hak hidup manusia maka untuk sampai merenggutnya dari seseorang, ia harus terlebih dulu terbukti melakukan pelanggaran hukum. Jika satu pihak mengambil keputusan yang melibatkan nasib orang lain dan tidak sesuai hukum, sebenarnya dia sedang main hakim sendiri.

Di tingkat rumah tangga hal ini masih sering terjadi. LSM Amerika Serikat, Human Rights Watch (HRW) mencatat, lebih dari 57 ribu orang di Indonesia pernah dipasung setidaknya sekali seumur hidup karena alasan kesehatan mental atau lainnya.

Sampai akhir 2019, sekitar 15 ribu di antaranya masih hidup dalam keadaan dipasung. Belum terhitung istri yang dikekang suami, anak yang dipaksa melawan kehendaknya oleh orang tua, juga berbagai kekerasan dan pengekangan di ranah domestik.

Pada ruang terbuka, wujud main hakim sendiri sangat mudah ditemukan. Kalau kita mendatangi  pasar kaget di berbagai belahan ibu kota, sebagian besar pedagang diharuskan membayar iuran untuk mangkal kepada ormas tertentu yang menguasai daerah.

 
Pada ruang terbuka, wujud main hakim sendiri sangat mudah ditemukan.
 
 

Satu bentuk pemaksaan dilakukan ormas dengan mengatasnamakan wilayah, bahkan ideologi tertentu. Mereka memungut uang meski tak berhak, menerapkan aturan dan membuat keputusan sepihak dan mewajibkan orang lain memenuhinya.

Mendirikan bangunan liar di pinggir sungai atau tanah kosong milik pihak lain, juga bentuk main hakim sendiri. Mengambil hak orang lain tanpa izin. Misalnya, ketika pemilik sah ingin memakai lahan tersebut, mereka harus membayar uang kerahiman.

Dalam lingkungan profesional hal serupa terjadi. Lembaga keuangan menagih atau merebut paksa harta bergerak secara sepihak. Sekalipun harta bergerak itu sebagian besar sudah milik kreditor. Padahal hakimlah yang berhak memutuskan keabsahan penyitaan.

Di bandara atau perkantoran tertentu, tidak sedikit satpam atau petugas keamanan setempat menyendera sopir online karena menarik penumpang di sana. Para sopir dianggap melanggar aturan perusahaan.

Sopir berikut SIM-nya ditahan selama beberapa jam. Sebuah bentuk penyanderaan dan main hakim sendiri. Meski tentu hanya aparat hukum berwenang yang boleh menahan orang lain.

Bahkan, taman hiburan dan tempat tontonan bisa dengan leluasa merazia isi tas pengunjung. Jika ini untuk kepentingan bisnis--sekadar melihat ada makanan atau tidak-- dan tanpa otoritas dan legalitas jelas, ini bentuk pelanggaran privasi. Polisi saja tidak boleh merazia kecuali memiliki dasar hukum.

Tidak sedikit pusat perbelanjaan memaksa pegawai memakai pakaian atribut agama lain dalam rangka merayakan hari raya agama pemilik pusat perbelanjaan.

 
Tidak sedikit pusat perbelanjaan memaksa pegawai memakai pakaian atribut agama lain dalam rangka merayakan hari raya agama pemilik pusat perbelanjaan.
 
 

Sesuatu yang selintas tampak seperti perkara kecil, tetapi merupakan bentuk pemaksaan yang melanggar kebebasan beragama, termasuk untuk berpakaian sesuai dengan akidah yang diyakini.

Di dunia akademisi kesewenangan tak terhindarkan. Mahasiswa senior  merundung  mahasiswa baru hanya karena dulu ketika masuk juga sempat menjadi korban perundungan. Pengajar yang menghukum secara subjektif para pelajar atau mahasiswa dengan memberi nilai buruk juga masih ditemukan.

Semua catatan panjang di atas, mau tak mau mengingatkan kembali betapa budaya buruk untuk main hakim sendiri atau bersikap sewenang-wenang masih mengakar di masyarakat dengan berbagai wujudnya.

Terungkapnya kasus penjara pribadi seharusnya membuka sumbatan ingatan terhadap hal itu.

Kesewenangan atau tindak menghakimi sendiri telah menjadi penyakit parah yang meradang dalam  masyarakat. Tidak mustahil kita, kerabat dan teman dekat -- jangan-jangan (dalam berbagai skala) malah telah menjadi pelakunya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat