Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Jenderal Soedirman yang Legendaris (II)

Rakyat Jepang sangat menghormati Jenderal Soedirman sehingga patungnya dibangun di halaman kantor Kementerian Pertahanan.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Di antara prestasi kemiliterannya sebelum pertempuran Palagan, dapat pula ia dicatat sebagai komandan yang berhasil melucuti senjata pasukan Jepang dalam jumlah besar di wilayah Banyumas, tanpa harus menumpahkan darah.

Rakyat Jepang sangat menghormati Jenderal Soedirman sehingga patungnya setinggi empat meter dibangun di halaman kantor Kementerian Pertahanan negara itu. Patung ini diresmikan pada 14 Januari 2011. Ini satu-satunya patung pahlawan dari negara asing yang dibangun di Negeri Sakura itu.

Soedirman diangkat menjadi panglima besar TKR oleh Presiden Sukarno pada 18 Desember 1945, pada usia sangat belia berdasarkan prestasi gemilangnya dalam pertempuran Palagan.

Sekalipun dalam memimpin perang gerilya selama agresi Belanda kedua pada Desember 1948-Juli 1949 secara fisik dalam keadaan sakit berat yang harus ditandu prajurit Indonesia, Soedirman tak kenal menyerah.

Presiden Sukarno pernah memintanya berobat di rumah sakit, tetapi Soedirman memilih bergerilya bersama anak buahnya di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur. Kemudian pada Juli 1949, ia kembali ke Yogyakarta setelah perang usai.

 
Presiden Sukarno pernah memintanya berobat di rumah sakit, tetapi Soedirman memilih bergerilya bersama anak buahnya di wilayah Yogyakarta.
 
 

Penyakit paru-paru mulai terpantau pada Mei 1948. Semakin lama semakin parah. Itulah sebabnya Jenderal Soedirman tak bisa langsung memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun, September 1948.

Sebelum kita lanjutkan perjuangan heroik Soedirman ini, ada baiknya kita surut ke belakang dengan menambahkan keterangan tentang masa kecil sosok istimewa ini. Sekalipun telah banyak ditulis orang, ingatan kolektif kita umumnya lebih tertuju pada prestasi kemiliteran dan drama gerilyanya yang mengharukan.

Karena drama ini demikian mengesankan, kita sering melupakan perjuangan gerilya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pimpinan Sjafruddin Prawiranegra di Sumatra, yang tidak kurang dramatisnya.

Soedirman dan Sjafruddin, dua pemimpin gerilya yang setanding, satu di Jawa yang lain di Sumatra, dalam waktu bersamaan. Dalam menghadapi sistem penjajahan, kedua tokoh bersikap sama.

 
Soedirman dan Sjafruddin, dua pemimpin gerilya yang setanding, satu di Jawa yang lain di Sumatra, dalam waktu bersamaan.
 
 

Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiradji dan Siyem di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sejak bayi, Soedirman diambil sebagai anak angkat oleh pamannya, R Tjokrusunarjo, asisten wedana di Rembang.

Di samping pamannya ini tak punya keturunan, ada pertimbangan lain Soediman harus dipungutnya, yaitu alasan ekonomi orang tua tokoh kita ini yang sangat sederhana. Diharapkan, Soedirman kecil tak patah di tengah jalan dalam pendidikannya.

Dengan bimbingan sang paman, Soedirman menamatkan HIS (Hollandsch Inlandsche School/SD zaman Belanda untuk anak negeri) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/Sekolah Menengah masa penjajahan dengan kata pengantar bahasa Belanda), masing-masing pada 1930 dan 1935.

Dengan latar belakang pendidikan ini, Soedirman kecil telah dikenalkan kepada sistem pendidikan Barat modern. Sampai batas tertentu, Soedirman tentu kenal kultur Belanda sebagai kultur penjajah.

 
Sampai batas tertentu, Soedirman tentu kenal kultur Belanda sebagai kultur penjajah.
 
 

Pengetahuan ini turut membentuk karakter Soedirman dewasa yang sangat antipenjajahan Belanda yang licik dan licin, sebagaimana akan dibicarakan saat membaca perbedaan paham antara Presiden Sukarno dan Jenderal Soedirman pada Desember 1948.

Perbedaan ini membuat Soedirman menulis surat untuk berhenti dari tentara, tetapi Presiden Sukarno menolaknya. Telah kita bicarakan, pertempuran Palagan meroketkan nama Jenderal Soedirman sebagai tokoh militer papan atas.

Umumnya, elite sipil dan militer sepakat tentang sosok Soedirman untuk dijadikan panglima besar TKR, kemudian panglima besar TNI, dengan basis TNI-AD.

Pengalaman Soedirman selama di HW dan Pemuda Muhammadiyah, di samping pendidikannya di Perguruan Taman Siswa, memperkaya dan mempertebal disiplin dan kejujuran sang jenderal.

Tentu latihan militer selama di Peta (Pembela Tanah Air) buatan Jepang itu, menjadi sangat krusial bagi Soedirman dalam mata rantai kariernya sebagai tentara-pejuang Indonesia yang fenomenal, sekalipun berasal dari pasangan orang tua rakyat kecil di perdesaan.

Bayangkan, dalam usia 31 tahun, Jenderal Soedirman dipercaya menjadi pemimpin tertinggi angkatan perang sebuah bangsa yang baru merdeka, tetapi masih saja berada di bawah ancaman mantan penjajah yang tak sadar tentang tiupan dahsyat angin kemerdekaan di Asia dan di Afrika pasca-PD (Perang Dunia) II.

 
Dalam usia 31 tahun, Jenderal Soedirman dipercaya menjadi pemimpin tertinggi angkatan perang sebuah bangsa yang baru merdeka.
 
 

Soedirman muda sedang berada dalam pusaran tiupan angin kemerdekaan yang tak mungkin dilawan itu. Belanda amat disayangkan masih saja mengidap mentalitas kolonialisme yang lapuk dan busuk.

Perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan Jenderal Soedirman sebagai salah seorang pemimpin puncaknya, bertugas menghancurkan mentalitas lapuk ini, sekalipun ternyata juga tidak mudah.

Diperlukan waktu empat tahun untuk membuktikan kepada dunia bahwa cita-cita Indonesia merdeka adalah tuntutan mutlak sejarah, yang tak mungkin dipatahkan. Apa yang dikenal dengan 'semangat 1945', terwakili dengan hampir sempurna pada pribadi Soedirman. Tak semua jenderal AD mampu mempertahankan 'semangat 1945' itu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat