Peserta aksi memegang boneka dalam aksi menolak kekerasan seksual di Banda Aceh, Kamis (23/12/2021). | ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Opini

Membuka Kabut Pendidikan

Kabut yang menyelimuti dunia pendidikan kita mulai terungkap dari laporan perlakuan kekerasan di kampus.

HENDARMAN, Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek

Kabut yang menyelimuti dunia pendidikan kita mulai terungkap dari laporan perlakuan kekerasan oleh dosen pada beberapa perguruan tinggi (PT). Masalah predator kekerasan ini memaksa pimpinan PT memiliki keberanian menegakkan kebenaran.

Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 menjadi salah satu gebrakan fenomenal. Walaupun awalnya mendapat kritikan, kebijakan ini menunjukkan keberpihakan kepada publik, terutama yang diabaikan selama ini.

Data kekerasan

Sebanyak 88 persen dari total kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020) berbentuk kekerasan seksual dan paling sering terjadi di lingkungan pendidikan.

 
Sebanyak 88 persen dari total kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020) berbentuk kekerasan seksual dan paling sering terjadi di lingkungan pendidikan.
 
 

Survei Ditjen Diktiristek (2020) mengungkapkan, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Hal yang memprihatinkan, 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Dari kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2015-2020), 27 persen terjadi di universitas, 19 persen di pesantren atau pendidikan berbasis Islam, 15 persen di tingkat SMA/SMU, 7 persen di tingkat SMP.

Tak kalah memprihatinkan, 12 persen terjadi di TK, SD, SLB dan pendidikan berbasis Kristen. Tak mengherankan, survei Value Champion (2019) menempatkan Indonesia sebagai negara ke-2 paling berbahaya bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik.

Diduga, terjadinya kasus kekerasan karena peserta didik dan pendidik semua jenjang belum banyak terpapar materi edukatif tentang pencegahan kekerasan seksual. Seyogianya, materi tersebut bersifat ringan, tetapi urgensinya tertangkap.

Di samping itu, metode penyampaian pesan antikekerasan seksual masih cenderung monoton.

Solusi yang diperlukan

Kekerasan ini tak bisa dibiarkan berlama-lama. Kementerian terkait seyogianya menerapkan strategi khusus agar masyarakat terutama orang tua merasa aman, nyaman, dan tenang, yakni pada tiga level berupa program, kebijakan, dan perencanaan berkelanjutan.

 
Diduga, terjadinya kasus kekerasan karena peserta didik dan pendidik semua jenjang belum banyak terpapar materi edukatif tentang pencegahan kekerasan seksual. 
 
 

Pada level program, dilakukan webinar, lomba aksi nyata, podcast, iklan layanan masyarakat, pembekalan peserta dan dosen pembimbing lapangan, rapat koordinasi terbatas dengan pimpinan PT dan mahasiswa.

Kementerian terkait sudah melakukan aksi nyata menindaklanjuti kebijakan dan program yang dicanangkan. Pada level kebijakan, diperlukan beberapa peraturan sebagai basis legal pihak PT untuk bergerak tanpa ragu-ragu.

Hal yang sudah dilakukan, adanya Keputusan Menteri Nomor 74/P/2021 tentang Pengakuan SKS Pembelajaran Program Kampus Merdeka; Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS); dan integrasi kanal pengaduan melalui LAPOR!

Pada level perencanaan berkelanjutan, sinergitas kementerian/lembaga dan organisasi terkait wajib dikedepankan. Kekerasan seksual tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian tertentu.

Ini menyangkut kementerian lain yang mengurusi pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak atau komite nasional terkait perempuan. Perlu dipikirkan juga sistem pengelolaan data dan komunikasi yang mudah diakses serta memberikan tanggapan cepat. Artinya, tidak melalui jalur birokrasi yang panjang.

 
Pada level perencanaan berkelanjutan, sinergitas kementerian/lembaga dan organisasi terkait wajib dikedepankan. Kekerasan seksual tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian tertentu.
 
 

Menunggu gebrakan 2022

Pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual sebagai salah satu episode Merdeka Belajar, menjadi komitmen mencegah timbulnya keresahan bagi masyarakat, di samping berpotensi menghambat reformasi pendidikan.

Beberapa episode Merdeka Belajar yang sudah dicanangkan sejak 2020 cenderung mengatasnamakan prinsip keberpihakan kebijakan. Keberpihakan tersebut dibuktikan dengan menghilangkan pola keseragaman terhadap kondisi demografi berbeda.

Misalnya, episode ketiga, yaitu perubahan mekanisme Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun anggaran 2020. Penyaluran dana yang sebelumnya dari Kemenkeu melalui rekening kas umum daerah (RKUD) provinsi diubah langsung ke rekening sekolah.

Ini terbukti menghindari ketidaktepatan waktu penyaluran dan penggunaan. Contoh lainnya, terkait KIP Kuliah sebagai episode merdeka belajar kesembilan. Mulai angkatan mahasiswa baru tahun 2021, skema KIP Kuliah diubah. Yakni, memberi bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup yang jauh lebih tinggi. Biaya pendidikan disesuaikan dengan prodi dan biaya hidup disesuaikan dengan indeks harga daerah.

Perubahan KIP Kuliah memungkinkan kemerdekaan calon mahasiswa tak ragu memilih prodi unggulan pada PT terbaik, di mana pun lokasinya di Indonesia. Orang tua akan lebih percaya diri mendorong anaknya yang memiliki potensi melanjutkan ke jenjang kuliah.

Keberpihakan kebijakan selalu ditunggu dari kementerian yang mengurusi pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi pada 2022 ini. Episode Merdeka Belajar berikutnya, menjadi tumpuan hilangnya kabut tebal di dunia pendidikan kita.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat