Pengemudi daring membawa kemasan paket dari Tokopedia di Titipaja Warehouse, Jakarta, Jumat (28/5/2021). Pascapandemi, pelaku bisnis mesti paham kebiasaan baru konsumennya yang bertransformasi saat pandemi.. | ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Opini

Perubahan Strategi Bisnis

Pascapandemi, pelaku bisnis mesti paham kebiasaan baru konsumennya yang bertransformasi saat pandemi..

JIMMY WIJAYA; Project Coordinator Retail Fuel PT Pertamina Commercial & Trading

 

Meski pandemi belum tuntas di Indonesia, kasus Covid-19 beberapa bulan terakhir cukup terkendali. Ini momentum yang cukup menggembirakan. Terlebih, hampir dua tahun terjadi pembatasan mobilitas sosial yang salah satunya berdampak pada bisnis.

Sekadar kilas balik, awal virus korona masuk Indonesia awal 2020, sektor bisnis mendapat “pukulan telak”. Ada yang tersungkur dan mencoba kembali survive. Tak sedikit, UMKM gulung tikar.

BI merilis, 87,5 persen UMKM tiarap terdampak gelombang Covid-19. Ditambah, PHK massal yang menambah jumlah pengangguran.

Wajar kita “melankolis” jika melihat fase memilukan itu. Bisa jadi ada trauma serta ketakutan kembali memulai dari nol.

Namun, jika melihat kondisi pandemi yang cenderung smooth meski masih dihantui varian baru omikron, seharusnya kita bersiap untuk adaptive recovery serta optimistis. Apalagi 2022, diprediksi sebagai tahun pemulihan ekonomi.

Fokus saat ini, bangkit memasuki post pandemic, yang mendorong pelaku bisnis berproses dengan cara baru, yang lebih relate dengan perubahan perilaku yang terbentuk saat pandemi.

 
Jika melihat kondisi pandemi yang cenderung smooth meski masih dihantui varian baru omikron, seharusnya kita bersiap untuk adaptive recovery serta optimistis.
 
 

Selling menjadi salah satu business tools yang berubah pascapandemi dan kini selling tak hanya berkutat pada penjualan oleh sales atau profesi marketing. Kemampuan menciptakan persuasi masif menjadi tolok ukur keberhasilan selling saat ini.

Sebut saja, industri food and beverage. Sejak pembatasan mobilitas sosial, sebagian besar resto dan kafe membatasi jam operasional dan sebatas melayani take away. Ada resto waralaba di beberapa kota besar “rontok” akibat anjloknya pengunjung.

Saat pembatasan perlahan dilonggarkan, menjadi era kembalinya industri food and beverage. Namun, tak menutup kemungkinan sebagian masyarakat memiliki fobia terjadi penularan virus varian baru di area resto.

Ini tantangan, bagaimana pemilik bisnis dan strukturalnnya secara persuasif mampu menjamin penerapan protokol kesehatan, sterilisasi peralatan makan dan minum, agar mereka bisa kembali kongkow tanpa waswas.

 
Bagaimana pemilik bisnis dan strukturalnnya secara persuasif mampu menjamin penerapan protokol kesehatan, sterilisasi peralatan makan dan minum, agar mereka bisa kembali kongkow tanpa waswas.
 
 

Jaminan itu bagian dari strategi post pandemic selling. Pebisnis harus lihai menjual garansi berupa keamanan dan kenyamanan bagi pelanggan terlebih terkait kesehatan. Jika terwujud, maka pelaku bisnis berhasil menciptakan new impact.

Benang merahnya, post pandemic selling harus berfokus pada dua indikator yaitu kesehatan dan kesejahteraan. Mengapa? Covid-19 hanya pembuka, memberikan pesan peradaban manusia diperkirakan sulit lepas dari ancaman penularan virus.

Tantangannya, pelaku bisnis mutlak memiliki kemampuan memanfaatkan sumber daya untuk tetap meraup laba di tengah ancaman wabah masa depan. Kesehatan dan kesejahteraan harus berjalan beriringan.

Teknologi berperan

Disadari atau tidak, pandemi mempercepat penerapan teknologi. Sebut saja ketika pekerja harus tetap di rumah dan pekerjaan harus terus berjalan, teknologi berperan penting.

Perlakuan serupa perlu dilakukan pada mekanisme penetrasi pasar, guna mengukur sejauh mana produk dan jasa dikonsumsi publik. Teknologi mampu mengukur secara real time respons publik atas produk yang dihasilkan sebelum dan sesudah pandemi.

Terkait selling, pelaku bisnis harus memanfaatkan teknologi social listening, perangkat level kedua teknologi kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan untuk mendengarkan.

 
Terkait selling, pelaku bisnis harus memanfaatkan teknologi social listening.
 
 

Ini berfungsi mengidentifikasi,  mendengarkan, menganalisis komentar, ketertarikan, sentimen, dan kesan. Contohnya, media atau social media monitoring  merupakan bagian dari social listening dan upaya mengumpulkan data.

Mengapa itu perlu? Salah satu fondasi berdirinya bisnis adalah mengutamakan konsumen. Pascapandemi, pelaku bisnis mesti paham kebiasaan baru konsumennya yang bertransformasi saat pandemi.

Mindset perubahan

Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, manusia dibekali akal untuk menganalisis setiap perubahan zaman. Strategi selling pascapandemi mesti dilakukan dengan cara baru yang lebih relevan dengan situasi saat ini. Di sini, dituntut pola pikir perubahan.

Sebagaimana dijelaskan QS ar-Ra’du [13] ayat 11, “Sesungguhnya Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Dalam perspektif bisnis, untuk menuju eksistensi tergantung kemampuan pemilik bisnis berhadapan dengan bermacam perubahan bersifat disruptif. Maka, tak sepantasnya kita berpasrah diri dan menyalahkan setiap perubahan  tanpa mau berpikir inovatif.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat