Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Masjid Agung Palembang memadukan ciri-ciri budaya Melayu, Arab, Eropa dan Cina pada tampilan arsitekturnya. | DOK WIKIPEDIA

Arsitektur

Pesona Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I

Masjid kebanggaan masyarakat Palembang ini berdiri sejak abad ke-18.

OLEH HASANUL RIZQA

 

 

Palembang merupakan kota tertua di seluruh Indonesia. Daerah yang kini menjadi ibu kota Provinsi Sumatra Selatan itu diperkirakan sudah berdiri sejak abad ketujuh Masehi.

Berdasarkan keterangan Prasasti Kedukan Bukit, Imperium Sriwijaya muncul dan berkembang pertama kali di kawasan tepi Sungai Musi tersebut kira-kira pada tahun 650 M.

Berbagai peninggalan arkeologis menunjukkan, Palembang menjadi salah satu bandar yang ramai di Pulau Sumatra. Para pedagang yang singgah di sana tidak hanya berasal dari dalam, tetapi juga luar Nusantara, seperti Cina atau Siam.

Sejak runtuhnya Sriwijaya pada abad ke-11 M, kian banyak imigran Tionghoa yang datang dan bermukim di pinggiran Sungai Musi. Sebagian dari mereka lantas menikah dengan orang-orang lokal sehingga melahirkan kelompok etnis Tionghoa-Palembang.

Memasuki medio abad ke-17 M, syiar Islam terus meluas. Semakin banyak penduduk daerah aliran sungai (DAS) Musi yang memeluk agama tauhid. Pada 1666 M, seorang Muslim yang juga bangsawan Palembang, Sri Susuhunan Abdurrahman, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam.

Selama satu setengah abad, seluruh Sumatra Selatan berada dalam kendali politik kerajaan Islam tersebut. Ada banyak pembangunan yang dilakukan Kesultanan Palembang Darussalam dalam kurun waktu yang cukup panjang itu. Salah satu peninggalannya yang masih bertahan hingga saat ini ialah Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo.

Seperti tampak pada namanya, tempat ibadah Islam itu dibangun atas perintah sang raja keempat Kesultanan Palembang Darussalam, Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo alias Mahmud Badaruddin I. Masjid raya yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, 19 Ilir, Bukit Kecil, Kota Palembang, itu mulai dibangun pada 1151 Hijriyah atau 1738 M. Peresmiannya bertepatan pada hari Senin, 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M.

photo
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo selesai dibangun pada 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M. - (DOK WIKIPEDIA)

Dengan demikian, proses pembangunannya mencapai 10 tahun. Rentang waktu yang cukup lama itu disebabkan beragam faktor, semisal kesukaran untuk mendatangkan langsung sebagian bahan bangunan dari luar negeri. Ya, sarana transportasi pada masa itu belum secanggih seperti saat ini. Perlu waktu berbulan-bulan untuk mengimpor pelbagai material dari Cina atau Eropa.

Beberapa bahan bangunan, seperti kaca dan batu bata, didatangkan dari negeri Tiongkok. Sebab, saat itu, daerah-daerah Nusantara belum menghasilkan industri kaca. Adapun marmer untuk pendirian masjid tersebut berasal dari Eropa.

Kesultanan Palembang Darussalam bisa dengan cukup leluasa mendatangkan berbagai bahan impor itu. Sebab, pada waktu itu hubungannya dengan Belanda tidak begitu konfrontatif.

Lagipula, Sultan Mahmud Badaruddin I cenderung disibukkan oleh persaingan dengan Bugis, terutama dalam memperebutkan Bangka-Belitung. Adapun VOC tidak terlalu mencampuri pemerintahan sang sultan karena terlibat persaingan dagang dengan Inggris di Nusantara barat.

photo
Bagian interior Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I. Terlihat jelas pengaruh unsur budaya Jawa, terutama pada bentuk pilar-pilar dan atapnya. - (DOK IKATAN REMAJA MASJID AGUNG PALEMBANG 2)

Pada masanya, kompleks yang kini sering disebut Masjid Agung Palembang itu merupakan masjid terbesar dan termewah di Sumatra. Saat pertama kali dibuka, ukuran bangunannya mencapai luas 1.080 meter persegi. Daya tampungnya sekitar 1.800 jamaah.

Konon, perancang Masjid Agung Palembang adalah seorang arsitek Eropa. Karena itu, tidak mengherankan apabila terdapat unsur budaya Eropa pada tampilan bangunan masjid tersebut. Secara keseluruhan, arsitekturnya merupakan gabungan dari ciri-ciri budaya Jawa, Melayu, Arab, Cina, dan Eropa.

Corak arsitektur khas Benua Biru tampak pada jenis marmer dan enam jendela berukuran 3x1 m persegi pada masing-masing sisi dinding. Pintu utama berukuran 4x1,48 m persegi dan dua pintu lain yang lebih kecil berada di sisi barat. Bagian luar pintu dilengkapi penampil yang ditutup atap berbentuk limas.

Pilar-pilar yang ada di sana juga menampilkan ciri khas Eropa. Tiang penyangga berjumlah empat buah dan ditanam sedalam 10 m dengan fondasi setebal dua meter. Gaya arsitektur serupa dapat kita jumpai pada bangunan Indies yang dibangun semasa Indonesia dijajah Belanda, sekitar abad ke-18 hingga awal abad ke-20.

 
Wujud bangunan yang lebih tua di dalam kompleks Masjid Agung Palembang jelas menampilkan nuansa Jawa. Bentuk atapnya menyerupai atap rumah joglo.
 
 

Perpaduan budaya pada Masjid Agung Palembang mengundang decak kagum. Estetika arsitektur berpadu dengan pesona sejarah di sana. Selain nuansa Eropa, gaya arsitektur Cina juga tampak, umpamanya, dari warna-warna yang mencolok pada bangunan masjid itu.

Nuansa Tionghoa juga ditampilkan dari atap masjid tersebut yang berbentuk limas, terdiri atas tiga tingkat. Pada bagian atas, terdapat jurai daun simbar yang menyerupai lengkung tanduk kambing. Rupa ini merupakan bentuk atap khas kelenteng.

Adapun wujud bangunan yang lebih tua di dalam kompleks Masjid Agung Palembang jelas menampilkan nuansa Jawa. Bentuk atapnya menyerupai atap rumah joglo.

Di samping itu, bentuk undakan di masjid setempat agaknya terinspirasi dari Masjid Agung Demak, yang mengadopsi gaya bangunan candi-candi Hindu-Jawa. Adapun nuansa Melayu terletak pada lantainya yang tinggi sehingga keseluruhan masjid tersebut mirip sebuah rumah panggung.

Wujud Masjid Agung Palembang kini merupakan hasil dari renovasi yang berlangsung antara tahun 2000-2003. Mengutip informasi dari buku Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia, renovasi pertama yang diterapkan pada kompleks tempat ibadah ini terjadi pada 1819-1821 M.

Waktu itu, ada perluasan hingga menjadi 1.416 m persegi sehingga menambah daya tampung hingga 2.360 jamaah. Konon, perluasan pertama ini diprakarsai oleh pemerintah kolonial.

Pada mulanya, masjid didirikan tanpa menara. Pada 1753, Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, membangun menara di sebelah kanan depan berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter. Menara tersebut beratapkan genteng.

Perbaikan dan perluasan selanjutnya dilaksanakan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, 1990-an, dan akhirnya 2000-an. Saat ini, keseluruhan Masjid Agung Palembang memiliki luas 15.400 m persegi dengan kapasitas 15 ribu orang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat