Hunain bin Ishaq menjadi penerjemah utama di Bait al-Hikmah, Baghdad. Kala itu, usianya belum genap 25 tahun. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Hunain bin Ishaq, Bapak Penerjemah Arab

Selama dua tahun, Hunain bin Ishaq menimba ilmu alih-bahasa dan kedokteran di Yunani.

OLEH HASANUL RIZQA

Bait al-Hikmah yang dimiliki Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat kerja para penerjemah brilian. Di antara mereka adalah Hunain bin Ishaq al-Ibad (809-873 M).

Kaum Muslimin pada masanya menjuluki tokoh tersebut sebagai “syekh para ahli alih bahasa". Bahkan, para sejarawan kerap menggelarinya “Bapak Penerjemah Arab".

Tentu, sebagai pakar penerjemahan dirinya merupakan seorang poliglot. Sekurang-kurangnya, ada empat bahasa yang sangat dikuasainya, yakni Arab, Suryani (Suriah Kuno/Syiriac), Yunani, dan Persia.

Tidak sekadar menerjemahkan teks-teks ke dalam bahasa sasaran. Lelaki yang lahir di Kota al-Hirah—kini Kufah, Irak—itu juga memperkenalkan metode pengalihbahasaan yang terbilang revolusioner pada zamannya. Teknik penerjemahan yang dirintisnya itu lalu diikuti banyak sarjana dari generasi-generasi sesudahnya.

Rumus “sukses adalah saat persiapan dan kesempatan bertemu” tampaknya berlaku bagi kehidupan Hunain bin Ishaq. Dia tidak hanya memantaskan diri selama berpuluh-puluh tahun, dengan melanglang buana ke pelbagai negeri demi mencari ilmu. Ia pun pada akhirnya menemukan peluang di tengah rezim Abbasiyah yang meruangkan meritokrasi, tanpa memandang identitas suku atau agama. Pada puncak kariernya, ia sukses mengepalai Bait al-Hikmah.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Selain itu, adalah takdir hidupnya: lahir dan berkembang di tengah lingkungan yang suportif. Hunain berasal dari sebuah keluarga intelektual. Tambahan pula, masyarakat kota tempatnya dilahirkan, yakni Bani al-Ibad, pun memiliki tradisi literasi yang baik.

Sebagai penganut Kristen, mereka terbiasa membaca kitab berbahasa di luar Arab, semisal Syiriac atau Yunani. Alhasil, banyak ahli ilmu yang poliglot di sana.

Al-Hirah merupakan kota perdagangan yang masyhur di Mesopotamia. Dahulu, daerah itu menjadi pusat pemerintahan Lakhmid, sebuah kerajaan Arab yang berdiri sejak pertengahan abad ketiga. Kristen merupakan agama resmi negeri kuno tersebut.

Imperium Sassaniyah lantas menguasai Lakhmid selama ratusan tahun. Usai daulah Islam menaklukkan kerajaan Persia itu, tidak sedikit penduduk al-Hirah yang masih menjadikan Kristen sebagai imannya. Berbeda kondisinya ketika dikuasai para kaisar, di bawah pemerintahan Khulafaur Rasyidin mereka dapat beribadah dan beraktivitas dengan tenang.

Bahkan, nasib baik dialami penduduk setempat kala peralihan kekuasaan Muslim terjadi, yakni dari Dinasti Umayyah kepada Abbasiyah. Wangsa yang mengambil nama paman Nabi SAW, Abbas bin Abdul Muthalib, itu menjadikan Irak sebagai pusat pemerintahan.

Sejak medio abad kedelapan, Baghdad terbentuk. Para khalifah lalu membuka lebar-lebar pintu ibu kotanya bagi siapapun yang cakap secara intelektual. Mereka dipersilakan ikut mengembangkan serta memajukan studi ilmu dan sains di kota kosmopolitan tersebut.

Ishaq, ayah Hunain, melihat hal itu sebagai peluang besar. Maka, Hunain kecil dikirim ke Kota Seribu Satu Malam. Sebagai seorang ahli farmasi, Ishaq ingin sekali menyaksikan putranya itu menjadi seorang dokter.

photo
Hunain bin Ishaq menjadi penerjemah utama di Bait al-Hikmah, Baghdad. Kala itu, usianya belum genap 25 tahun. - (DOK WIKIPEDIA)

Hunain pun mendaftar di sebuah sekolah kedokteran di kota setempat. Waktu itu, lembaga tersebut dipimpin seorang dokter kenamaan, Yuhanna Ibnu Masawaih. Dari tahun ke tahun, kecerdasan murid asal al-Hirah itu kian mempesona. Dokter yang juga beragama Kristen itu lantas mengangkatnya sebagai asisten.

Bagaimanapun, antara guru dan murid tersebut kerap terjadi salah paham. Hunain muda dinilai terlalu sering mengajukan pertanyaan yang memusingkan Ibnu Masawaih. Akhirnya, ia dipersilakan pergi dari akademi kedokteran Baghdad.

Sempat depresi, Hunain kemudian menyadari bahwa Baghdad bukanlah satu-satunya tempat baginya tumbuh berkembang. Asalkan rajin dan tekun, belajar di tempat manapun tidak akan masalah. Maka berangkatlah ia ke arah barat, memulai rihlah intelektualnya seorang diri.

Tujuannya adalah Yunani. Pada waktu itu, dunia mengenal kawasan tersebut sebagai tempat lahirnya ilmu medis. Hippocrates, Rufus Ephesus, Dioscorides, dan Galen adalah segelintir nama-nama tokoh besar dalam bidang pengobatan Yunani, yakni dalam era beberapa ratus tahun sebelum dan sesudah Masehi.

 
Di Yunani, Hunain menetap selama dua tahun. Dalam masa itu, ia mempertajam kemampuannya dalam berbahasa Yunani dan Latin.
 
 

Dalam perjalanannya ke Yunani, Hunain juga singgah ke beberapa kota tua Bizantium. Para ilmuwan yang tinggal di daerah-daerah itu masih menghidupkan tradisi intelektual Romawi-Yunani, termasuk dalam bidang kedokteran. Ia sempat pula menyambangi Alexandria untuk menelaah teks-teks ilmu di sana.

Di Yunani, Hunain menetap selama dua tahun. Dalam masa itu, ia mempertajam kemampuannya dalam berbahasa Yunani dan Latin. Ia merasa, ada perbedaan signifikan ketika belajar langsung di negeri tempat lahirnya bahasa itu. Pada waktu itulah, kepekaannya juga terasah dalam menerjemahkan teks-teks.

Usai dengan rihlahnya, ia pun kembali ke timur. Sebelum mencapai Baghdad, dia menetap beberapa waktu lamanya di Basrah untuk mengikuti sekolah linguistik Arab yang digelar al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Fase ini penting dalam menunjang kariernya kelak di Bait al-Hikmah, tempat penerjemahan yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa sasaran.

photo
Aktivitas para intelektual di Bait al-Hikmah, Baghdad. Salah satu proyek terpenting yang ditaja para khalifah Abbasiyah di sana ialah penerjemahan teks-teks ilmu pengetahuan. - (DOK WIKIPEDIA)

Tiba di Baghdad

Perjalanan intelektual yang dilakukan Hunain bin Ishaq ternyata tidak hanya untuk menimba ilmu kedokteran, tetapi juga bahasa-bahasa. Inilah yang kemudian menjadi “modal” baginya tatkala menemui lagi (mantan) gurunya, Ibnu Masawaih, di Baghdad. Pada 826 M, ia kembali menjejakkan kaki di kota penting Abbasiyah tersebut.

Waktu itu, Hunain masih muda. Usianya kira-kira 17 tahun. Saat bersua dengan Ibnu Masawaih, ia menunjukkan sejumlah manuskrip yang selama ini menjadi “teman” setia perjalanannya. Mayoritas isi catatan-catatan itu merupakan terjemahan yang dilakukan Hunain sendiri atas berbagai teks ilmu medis Yunani dan Latin.

Ibnu Masawaih terkejut saat membaca hasil kerja mantan muridnya ini. Dengan lugas, teks terjemahan itu dipujinya karena berkualitas amat baik. Bahkan, beberapa karya terjemahan Hunain sangat berguna bagi riset-riset yang sedang dilakukannya di akademi kedokteran Baghdad.

Sejak saat itu, nama Hunain kian tersohor sebagai penerjemah ulung. Banyak kalangan di lingkungan intelektual Baghdad yang ingin menemuinya. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sangat tertolong oleh kepiawaian anak muda ini dalam menerjemahkan teks-teks asing.

 
Nama Hunain kian tersohor sebagai penerjemah ulung. Banyak kalangan di lingkungan intelektual Baghdad yang ingin menemuinya.
 
 

Popularitas Hunain lalu sampai ke telinga Jabril bin Bukhtishu. Sama seperti Ibnu Masawaih, orang Kristen ini merupakan ahli medis dengan reputasi besar di Baghdad. Sosok yang juga lulusan Akademi Gundeshapur itu bahkan pernah menjadi dokter pribadi Sultan Harun al-Rasyid.

Setelah berdiskusi dengan Hunain, Jabril terkesima dengan kemampuan pemuda itu dalam mengalihbahasakan teks-teks Latin dan Yunani. Dengan takzim, ilmuwan yang dekat dengan kalangan istana Abbasiyah itu sempat memanggilnya, “guru kami". Tentu, panggilan itu tak sekadar pujian, melainkan juga pengakuan bahwa kini remaja dari Bani al-Ibad itu berposisi setara dengan ilmuwan-ilmuwan kerajaan.

Pada suatu kali, sekelompok dokter memprotes sebutan Hunain sebagai “guru kami". Bagi mereka, pujian Jabril terhadap anak muda tersebut sudah keterlaluan. Sebaliknya, Jabril bersikukuh, pemuda tersebut memang brilian dalam menerjemahkan teks asing. Bahkan, kualitas terjemahannya dipandang lebih bagus daripada buatan dokter sekaliber Sergius al-Reshaina.

Sergius, seorang dokter yang juga pendeta di Baghdad, pernah mengumumkan hasil terjemahannya atas kitab karya dokter Yunani Kuno, Aelius Galenus (129-210 M). Namun, kebanyakan pembaca justru bingung dengan pemilihan diksi yang dilakukan Sergius dalam bahasa /Syiriac.

Setelah diberi tahu, Hunain lalu ditantang para dokter ini untuk menerjemahkan teks yang sama dari Galenus. Produk terjemahannya ternyata berkualitas lebih baik. Maka, makin banyaklah dokter dan tokoh penting yang mencari-cari Hunain.

photo
Hunain bin Ishaq sempat berseberangan dengan gurunya, yakni seorang dokter terkemuka di Baghdad pada masa Abbasiyah, Yuhanna Ibnu Masawaih. - (DOK WIKIPEDIA)

Kaji oftalmologi

Bahkan, Khalifah al-Ma’mun lantas tertarik mendatangkan remaja brilian ini. Setelah berbincang langsung dengannya, raja Abbasiyah itu merasa yakin akan kemampuan lingual Hunain.

Putra daerah al-Hirah itu diakui fasih berbahasa Arab, Syiriac, Yunani, dan Persia. Lebih dari itu, ia memiliki kepekaan yang sangat besar sebagai seorang pengolah kata.

Dalam menerjemahkan teks, Hunain akan terlebih dahulu mamahami makna idiom-idiom yang mungkin ditemuinya di dalam naskah. Selain itu, nuansa makna kata-kata, baik dalam bahasa asal maupun bahasa sasaran, juga dimengertinya secara mendalam.

Dengan begitu, proses alih bahasa tidak sekadar literal atau “kata per kata". Yang dilakukannya ialah memahamkan pembaca dalam bahasa sasaran agar mereka mengerti maksud dan informasi dari si penulis teks asli.

Bisa dikatakan, Jabril banyak membantu Hunain dalam memperluas jaringan. Ia memperkenalkannya dengan para ilmuwan penting pada masa itu. Sebut saja, Banu Musa, yakni tiga orang bersaudara. Ketiganya merupakan ahli automata yakni mesin atau alat-alat mekanis. Kakak beradik yang terdiri atas Abu Ja’far Muhammad, Abu al-Qasim Ahmad, dan Hasan itu bekerja sama dengan Hunain di Bait al-Hikmah dengan sokongan Khalifah al-Ma’mun.

 
Setelah menghadiri kelasnya di akademi kedokteran Baghdad, Hunain tertarik untuk membantu Ibnu Masawaih dalam risetnya tentang organ mata.
 
 

Seiring waktu, Jabril juga menolong Hunain untuk memperbaiki hubungannya dengan Ibnu Masawaih. Akhirnya, silaturahim kembali pulih antara bekas murid dan guru itu. Setelah menghadiri kelasnya di akademi kedokteran Baghdad, Hunain tertarik untuk membantu Ibnu Masawaih dalam risetnya tentang organ mata.

Mulai dari situlah, pemuda tersebut menapaki karier keduanya, yakni sebagai ilmuwan oftalmologi. Hasil studinya dalam bidang ini termaktub dalam buku karyanya sendiri yang berjudul Kitab 10 Risalah Mengenai Mata.

Dalam menyusun bukunya itu, Hunain banyak merujuk pada karya Galenus, De placitis Hippocratis at Platonis dan De Usu Partium, khususnya dalam menerangkan anatomi organ penglihatan ini.

photo
Salah satu manuskrip karya Hunain bin Ishaq yang membicarakan tentang bedah mata. Penerjemah ulung di Bait al-Hikmah, Baghdad, itu juga menekuni dunia oftalmologi. - (DOK WIKIPEDIA)

Emas untuk Setiap Lembar Naskah

Nama Hunain bin Ishaq al-Ibad kian berkibar. Saat berusia 21 tahun, ia ditunjuk Raja al-Ma’mun untuk memimpin bagian penerjemahan di Bait al-Hikmah, Baghdad. Sungguh sebuah pencapaian yang besar dalam umur semuda itu.

Di ‘Rumah Kebijaksanaan’, tim penerjemahan memiliki fungsi yang sangat krusial. Tanpanya, geliat studi ilmu pengetahuan dan sains menjadi beku. Bagaimana mungkin para ilmuwan Muslimin—yang mayoritasnya saat itu berbangsa Arab—dapat menyerap ilmu-ilmu dari pelbagai kebudayaan dunia kalau tidak mengerti teks sumber?

Para sarjana Arab mengakui, peradaban Islam saat itu terbilang “muda” bila dibandingkan dengan pelbagai kebudayaan besar yang sudah lama muncul, semisal Romawi, Yunani, India, atau Cina. Dengan semangat surah al-Alaq ayat pertama, “Iqra!”, maka membaca menjadi proses yang sangat penting. Dan, mustahil membaca dengan baik jika tanpa didukung penerjemah.

 
Bagaimana mungkin para ilmuwan Muslimin—yang mayoritasnya saat itu berbangsa Arab—dapat menyerap ilmu-ilmu dari pelbagai kebudayaan dunia kalau tidak mengerti teks sumber?
 
 

Tim yang dipimpin Hunain bertugas menerjemahkan karya-karya ilmiah dari pelbagai manuskrip berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Tugas lainnya ialah merevisi produk-produk terjemahan sebelumnya, yang umumnya dihasilkan dari metode alih bahasa kata per kata. Mereka juga dapat mengusulkan judul naskah dari negeri-negeri manapun yang kiranya penting menjadi koleksi Bait al-Hikmah.

Dalam bekerja, Hunain sering kali membuat sistem yang jelas. Misalnya, ia menerjemahkan teks-teks dari bahasa Yunani ke Syiriac. Lantas, hasil terjemahannya itu diterjemahkan lagi oleh beberapa orang yang ditunjuknya.

Penerjemahan kedua itu berlangsung dari bahasa Syiriac ke bahasa Arab. Lantas, sejumlah pustakawan ditugaskannya untuk memeriksa sekaligus mengoreksi hasil terjemahan akhir.

Khalifah al-Ma’mun sangat menyukai berada di dalam perpustakaan pribadinya. Saat menyambangi Bait al-Hikmah, penguasa Abbasiyah itu selalu memantau aktivitas para ilmuwan setempat.

Buku-buku terjemahan yang mereka hasilkan kerap dibaca secara saksama. Nyaris tidak pernah tim Hunain mengecewakan sang raja. Begitu besar penghargaan terhadap ahli bahasa itu.

Tercatat, Hunain merupakan satu-satunya penerjemah yang dibayar oleh pemerintah Abbasiyah dengan emas sebesar berat naskah yang telah dialih-bahasakannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat