Sejumlah peserta beraksi sat lomba orasi unjuk rasa Piala Kapolri seturut peringatan Hari Hak Asasi Manusia di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (10/12/2021). | ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah

Opini

Selebrasi HAM Minus Keadilan

Ada fenomena kesenjangan antara konsepsi dengan implementasi.

M NASIR DJAMIL, Anggota Komisi III DPR

Selebrasi global hari HAM setiap 10 Desember di Indonesia menampilkan dua wajah bertolak belakang.

Di satu sisi, negara melalui Presiden secara berkesinambungan  mengajak semua pihak memperkuat komitmen penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Namun, secara empiris perlindungan dan pemenuhan HAM berjalan tertatih-tatih.

Lebih parahnya, demokrasi sebagai ekosistem yang mendukung penghormatan dan pemenuhan HAM, mengalami kemunduran signifikan untuk pertama kalinya sejak pascareformasi 1998. Demokrasi dan HAM ibarat dua sisi mata uang yang bersimbiosis.

Dengan kata lain, seiring menguatnya demokrasi dan diterima secara luas maka akan turut memperkuat penghormatan dan pemenuhan HAM. Kita mungkin patut berbangga karena paling progresif di ASEAN meratifikasi konvensi inti HAM internasional.

 
Indeks Demokrasi dan HAM di Indonesia bergerak dari fase stagnasi ke fase regresi. 
 
 

Indonesia telah meratifikasi tujuh dari delapan instrumen inti HAM internasional dan menyisakan satu konvensi, yaitu Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa yang masih tertunda prosesnya meski pernah dibahas di parlemen pada 2009.

Dalam konteks pemajuan HAM, Indonesia menduduki posisi strategis di PBB dengan kembali terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022 mewakili Asia Pasifik. Namun, ada fenomena kesenjangan antara konsepsi dengan implementasi.

Indeks Demokrasi dan HAM di Indonesia bergerak dari fase stagnasi ke fase regresi. Hasil kajian Global Peace Index 2020 Vision on Humanity  for Economic and Peace, meletakkan indonesia sebagai negara yang mengalami kemerosotan penegakan HAM.

Habibie Centre dalam kajiannya yang dirilis 9 Juni 2021 mengulas kualitas demokrasi Indonesia yang menurun signifikan, tak hanya aspek kebebasan sipil dan pluralisme melainkan juga fungsi pemerintahan.

Ketakutan akan kebebasan berekspresi dan berpendapat, salah satu faktor utama kemunduran demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia.

UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Teknologi Informasi (ITE) kerap menjadi momok bagi masyarakat sipil bersuara, terlebih yang berseberangan dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.

 
Ketakutan akan kebebasan berekspresi dan berpendapat, salah satu faktor utama kemunduran demokrasi dan pemenuhan HAM di Indonesia.
 
 

Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 24-30 September 2020 menyatakan, 69,6 persen responden setuju publik kian takut menyampaikan pendapat.

LP3ES dalam survei medio April 2021, menyatakan, 52,1 persen responden setuju adanya ancaman kebebasan sipil dan ketakutan masyarakat dalam berpendapat.

Keadilan transisional.

Justice delayed is justice denined, pepatah hukum ini memberikan makna mendalam bahwa sebuah keadilan harus dihadirkan secara cepat dan tepat. Pengabaian dan keterlambatan merupakan bentuk lain ketidakadilan yang dilakukan negara.

Lebih dari dua dekade reformasi tetapi proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, dan pemenuhan keadilan atas kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu belum ada tanda-tanda dituntaskan.

Kebekuan pandangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung agak mencair baru-baru ini, seiring inisiatif Kejakasaan Agung membentuk tim penyelesaian kasus HAM berat dan upaya penyidikan umum perkara pelanggaran HAM dalam mencari dan mengumpulkan alat bukti sebagai tindak lanjut penyelidikan Komnas HAM.

Meski, sangat dini diposisikan sebagai game changer untuk menghadirkan keadilan transisional.

 
Kunci pemulihan indeks demokrasi serta mulusnya penyelesaian HAM masa lalu, bergantung kemauan pemerintah. Presiden Jokowi harus menyadari dan segera merevisi kebijakan antidemokrasi.
 
 

Ragam pilihan mekanisme penyelesaian kasus HAM masa lalu juga semakin menyempit pascapembatalan keseluruhan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Mahkamah Konstitusi.

Situasi ini patut menjadi warning karena Indonesia agaknya mengarah menjadi negara impunitas. Pernyataan-pernyataan pengambil kebijakan juga cenderung kontraproduktif terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Komitmen pemerintah

Kunci pemulihan indeks demokrasi serta mulusnya penyelesaian HAM masa lalu, bergantung kemauan pemerintah. Presiden Jokowi harus menyadari dan segera merevisi kebijakan antidemokrasi.

Di antaranya, penerbitan PERPPU No.2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengabaikan proses peradilan dan mengangkangi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin dalam konstitusi Indonesia.

Selain itu, penerapan UU No.19/2016 tentang Informasi Teknologi Informasi. Penafsiran UU ini keluar dari filosofi dan tujuan awal pembentukannya yaitu memberikan perlindungan kepada konsumen dalam tranksaksi elektronik.

UU ITE memantik pejabat bahkan sesama warga saling lapor dan membungkam perbedaan serta kritik. Di sisi lain, penanganan aksi massa oleh aparat kepolisian cenderung represif. Butuh komitmen pula menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Masih tersisa tiga tahun lagi bagi Presiden Jokowi menuntaskan janji kampanyenya sejak 2014, agar kebenaran dapat terungkap dan keadilan dihadirkan sehingga Indonesia dapat melaju menatap masa depan tanpa bayang-bayang dosa masa lalu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat