Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Merauke dan Bovel Digoel

Itulah sebenarnya nama Merauke yang sekarang kita kenal.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Seorang detektif ditugaskan ke Papua bagian selatan. Detektif itu, Hans Lynch, lalu menceritakan pengalamannya di buku Bij de Laatste Koppensnellers.

Memasuki abad ke-20, Belanda membangun permukiman di muara Sungai Maro di Papua selatan. Penduduk dari berbagai pulau di Hindia Belanda pun mengisi permukiman ini, dan suku Marind --suku asli terbesar yang mendiami wilayah Papua selatan-- menyingkir dari orang-orang asing ini.

Ketika orang yang pertama kali mendatangi Papua bagian selatan ini lalu bertanya nama permukiman yang sedang dibangun Belanda di muara Sungai Maro itu. Kata Lynch, orang-orang Marind menjawab Maro-ka, karena memang belum ada nama untuk lokasi permukiman yang dibangun itu. “Itulah sebenarnya nama Merauke yang sekarang kita kenal,” tulis Lynch.

Di lidah orang Belanda, Maro-ka terucap menjadi Merauke. Pasal 36 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menyebut, nama geografi di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia, tapi ada pengecualian, boleh menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing jika memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.

Maka, kabupaten di Papua bagian selatan itu bernama Merauke. Kabupaten hasil pemekaran dari Merauke, juga tetap menggunakan nama dalam bahasa Belanda, Boven Digoel.

Di Boven Digoel ini ada Tanah Merah, sebagai ibu kota kapubaten, ada pula Kampung Persatuan di Tanah Merah ini. Boven Digoel dibangun Belanda 20-an tahun kemudian setelah pembangunan Merauke.

 
Boven Digoel dibangun Belanda 20-an tahun kemudian setelah pembangunan Merauke.
 
 

Di Distrik Merauke ada Kelurahan Kelapa Lima, Karang Indah, Rimba Jaya, dan sebagainya. Di Merauke ada pula Gudang Arang di hilir Sungai Digoel --dulu dipakai Belanda sebagai kamp pembuangan selain Tanah Merah dan Tanah Tinggi.

Tanah Tinggi dapat ditempuh selama satu jam perjalanan menggunakan perahu motor dari Tanah Merah ke arah hulu sungai, menghabiskan 40 liter minyak untuk perjalanan pergi-pulang.

Kamp pembuangan ini semula diperuntukkan bagi orang-orang komunis yang melakukan pemberontakan pada 1926, tapi di kemudian hari, tokoh-tokoh nonkomunis pun dibuang di sini. Hatta dan Sjahrir tercatat sebagai tokoh nasionalis yang juga pernah dibuang ke Papua selatan ini.

Pada 23 Februari 1935, kapal yang ditumpangi Hatta sudah tiba di Pelabuhan Boven Digoel. Ini pelabuhan di Sungai Digoel, yang sekarang disebut sebagai oude haven (pelabuhan lama), karena sudah ada pelabuhan baru. Sekarang, dengan jalan darat, Boven Digoel bisa dicapai dari Merauke selama delapan jam perjalanan, jika perjalanan berjalan lancar.

Di buku Spanning A Revolution,  Mohamad Bondan bercerita, kedatangan kapal yang membawa Hatta itu disambut banyak orang. Sebagian besar adalah tahanan politik yang sudah terlebih dulu dibuang di Boven Digoel. Bondan termasuk di dalam kapal itu dan ikut dibuang ke Digoel bersama Hatta.

photo
Mohammad Hatta - (istimewa)

Pada akhir Februari 1934, polisi Belanda menggeledah rumah Hatta selaku pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) –organisasi pecahan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan rumah beberapa pemimpin PNI (Pendidikan) lainnya. Hatta kemudian ditangkap bersama Mohamad Bondan, Abdul Murad, Sayuti, dan lainnya.

Selesai urusan pendataan di kantor wedana yang ada di kompleks kantor pemerintah sipil dan militer, mereka dibawa ke permukiman tahanan politik. Melewati jembatan, mereka menjumpai rumah kosong. Oleh petugas pengantar, mereka diberi tahu jika rumah kosong itu disediakan untuk Hatta.

Tahanan lainnya boleh memilih sendiri rumah sementara yang akan ditinggali --boleh ikut tinggal bersama Hatta atau bersama tahanan politik lainnya yang sudah menghuni terlebih dulu. Bondan memilih bersama Hatta. Artinya, para tahanan politik itu tidak tinggal di penjara --bangunan yang sekarang dijadikan situs cagar budaya.

Di kemudian hari, Bondan memahami alasan ditempatkannya Hatta di rumah kosong dekat jembatan itu. Mempermudah petugas keamanan kampung yang diangkat Belanda mengawasi Hatta. Petugas keamanan kampung ini diambil dari kalangan tahanan politik yang mau bekerja sama dengan Belanda.

 
Petugas keamanan kampung ini diambil dari kalangan tahanan politik yang mau bekerja sama dengan Belanda.
 
 

Mereka yang bersedia bekerja sama dengan Belanda disebut memiliki peluang dipulangkan ke Jawa. Hatta dan kawan-kawan juga mendapatkan penjelasan ini, tetapi Hatta memilih tidak mau bekerja sama dengan Belanda, sehingga –seperti yang dijelaskan oleh penjaga Situs Budaya Penjara Boven Digoel, akhir November lalu-- Hatta disebut pernah tinggal di kamp pembuangan di Tanah Tinggi.

Kamp ini dikhususkan untuk mereka yang tak mau bekerja sama. Namun, Bondan tak menyebut Hatta pernah tinggal di kamp Tanah Tinggi hingga ia dipindah ke Banda Neira Januari 1936. Saat pindah ke Banda Neira, ada 15 koper berisi buku yang harus dibawa Hatta.

Kampung-kampung tahanan politik itu diberi nama abjad. Kampung A, B, C, dan sebagainya. Banyak warga Tanah Merah yang tak tahu posisi kampung-kampung itu sekarang. Ada yang menyebut dekat taman makam pahlawan (sekitar 2,3 km dari pelabuhan lama), ada yang menyebut dekat situs cagar budaya penjara (sekitar 500 meter dari pelabuhan lama), yang dulu merupakan kawasan pemerintahan sipil dan militer.

Kampung yang ditempati Hatta disebut Kampung B, yang disebut Bondan sebagai pusat administrasi kampung. Inventarisasi Belanda pada 1940, rumah yang ada di Kampung B mencapai 102 rumah, satu rumah ibadah, satu balai pertemuan, satu ruang hiburan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat