Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Riset dan Inovasi: Ekosistem

tidak berarti riset, inovasi, dan invensi Indonesia langsung bisa lepas landas.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Meski Presiden Jokowi sudah membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa bulan lalu, tidak berarti riset, inovasi, dan invensi Indonesia langsung bisa lepas landas.

Sentralisasi usaha riset, inovasi, dan invensi ke BRIN belum tentu bisa mengatasi keterbelakangan Indonesia dalam bidang ini dibandingkan negara-lain baik di tingkat regional Asia Tenggara dan dunia global lebih luas.

Seperti terungkap dalam banyak fakta dan data yang ditemukan berbagai kajian, di antara berbagai faktor utama penyebab ketertinggalan itu adalah ketiadaan atau kelemahan koordinasi di antara banyak lembaga riset pemerintah di kementerian dan lembaga non-kementerian di pusat maupun daerah.

Apakah BRIN sebagai lembaga superbody yang menyatukan semua lembaga penelitian itu bisa berhasil? Masih menjadi tanda tanya besar.

 
Apakah BRIN sebagai lembaga superbody yang menyatukan semua lembaga penelitian itu bisa berhasil? Masih menjadi tanda tanya besar.
 
 

Adanya lembaga penelitian yang sehat, memiliki otonomi luas—tidak menjadi lokus politisasi dan ideologisasi—merupakan salah satu prasyarat utama ekosistem keberhasilan riset, invensi, dan inovasi. Kebebasan otonomi akademik-ilmiah, menjadi prasyarat tumbuh dan berkembangnya imajinasi dan kreativitas keilmuan, sains dan inovasi.

Meski para peneliti di institusi penelitian atau lembaga milik pemerintah adalah ASN atau bagian dari instansi negara, semestinya mereka tidak terbelenggu birokrasi dan administrasi. Peneliti bukanlah pekerja pabrik yang mesti mengikuti berbagai ketentuan perburuhan sangat ketat yang membuat mereka tidak lebih sekadar alat produksi.

Jika demikian di mana peran pemerintah dalam upaya pengembangan riset untuk kemajuan iptek, inovasi dan invensi?

Jelas pemerintah adalah salah satu faktor yang sangat menentukan untuk memajukan riset, sains, dan inovasi. Pemerintah nasional mesti memiliki konsep dan strategi komprehensif, bukan kebijakan ad hoc karena pertimbangan politis atau efisiensi anggaran.

Pemerintah sepatutnya tidak menilai pencapaian riset dengan anggaran belanja yang dikeluarkan seperti mengukur pembangunan infrastruktur fisik.

 
Hanya dengan pembangunan infrastruktur dalam bidang ini dapat diharapkan ada kemajuan riset, sains-teknologi dan inovasi.
 
 

Sebaliknya, pemerintah mesti menyediakan anggaran dan fasilitas memadai untuk menggenjot pembangunan infrastruktur keilmuan, pendidikan, sosial-budaya, sosio-relijius, ekonomi dan politik yang kebanyakan intangible; tidak selalu bersifat fisik atau bendawi.

Hanya dengan pembangunan infrastruktur dalam bidang ini dapat diharapkan ada kemajuan riset, sains-teknologi dan inovasi. Pemerintah mesti menyediakan fasilitas riset; dan gaji serta insentif memadai bagi para peneliti.

Bukan rahasia lagi, sarana dan prasarana riset seperti laboratorium pada lembaga riset atau di perguruan tinggi, masih jauh daripada memadai.

Banyak laboratorium dan peralatannya sering sudah ketinggalan (outdated), tidak mampu mengikuti perkembangan di dunia lebih luas; jangankan lagi berbicara tentang sarana dan prasarani riset, atau laboratorium state of the art—paling mutakhir dan canggih.

Pemerintah mesti memperkuat triheliks antara pemerintah (pusat dan daerah), lembaga penelitian (termasuk perguruan tinggi) beserta para peneliti, dan dunia industri (besar maupun menengah).

Bahkan melewati triheliks, pemerintah dapat memfasilitasi kerja sama untuk memajukan riset, invensi dan inovasi yang mesti melibatkan publik lebih luas seperti masyarakat sipil, LSM, dan organisasi filantropi swasta.

Keterbelakangan riset, iptek, inovasi dan invensi Indonesia juga terkait dengan paradigma budaya dan sosial yang tidak kondusif. Budaya sebagian suku bangsa dan budaya nasional tidak mendorong tumbuhnya etos pengembaraan keilmuan dan penemuan.

 
Pengembangan sikap kritis dan imajinasi keilmuan serta etos pencarian (inquiry) peserta didik sangat minimal, jika tidak ada sama sekali.
 
 

Banyak seminar dan konferensi tentang budaya lokal dan nasional; tapi hampir tak ada pembicaraan—apalagi perumusan konsep dan langkah—untuk pengembangan budaya etos riset, inovasi, dan invensi yang kuat dan dinamis.

Gaya hidup yang tumbuh sejak masa kemerdekaan dan selanjutnya di tengah berbagai kemajuan iptek dengan revolusi industri—khususnya komunikasi tidak kondusif. Kebanyakan warga Indonesia lebih senang menjadi konsumen, sebagai receiving end produk keilmuan, iptek, invensi, inovasi dan industri pihak lain.

Warga Indonesia tidak terlalu tertarik menjadi produsen iptek atau inovator dan inventor dalam berbagai bidang yang dibutuhkan dalam kehidupan kini dan mendatang.

Keadaan sosial-budaya tidak kondusif itu niscaya terkait banyak dengan sistem dan proses pembelajaran dan pendidikan. Pendidikan nasional selain dibelenggu birokratisasi-administrasi dan beban berat kurikulum yang menindas peserta didik, juga lebih menekankan hapalan, memorisasi (mnemonic learning).

Pengembangan sikap kritis dan imajinasi keilmuan serta etos pencarian (inquiry) peserta didik sangat minimal, jika tidak ada sama sekali.

Karena itu, jika ingin dapat menjadi faktor penting dalam kemajuan riset, invensi dan inovasi, pendidikan sejak dari tingkat dasar, menengah sampai tinggi harus direformasi sejak dari filsafatnya, kurikulum, pedagogi dan sampai SDM-nya.

Untuk itu, pemegang pendidikan harus bekerja lebih serius dalam hal ini; tidak terus membuat kegaduhan yang tidak perlu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat