Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Ekonomi Syariah dan Permasalahannya (III)

lembaga keuangan perbankan dan nonbank yang menggunakan label syariah atau yang sejenis biar saja berkembang.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Perkataan ummatun muqtashidah adalah bentuk nama pelaku dari al-iqtishad, yaitu dalam konteks uraian ini adalah komunitas yang mengembangkan sistem ekonomi yang adil, seimbang, dan moderat.

Dari ayat di atas dapat disimpulkan, rezeki dari Allah itu melimpah ruah, datang dari atas dan perut bumi dengan syarat manusia mau menggunakan akal serta kemampuan ilmu dan teknologi dengan maksimal dan terarah untuk menemukan sumber rezeki itu.

Namun, mengapa sepanjang sejarah, kemiskinan dan ketimpangan sosial selalu saja hadir dalam masyarakat? Karena pelaku ekonomi tidak mempertimbangkan prinsip keadilan dan kewajaran dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi masyarakat luas.

Maka itu, konsep riba yang diharamkan Alquran harus dibaca dalam sistem ekonomi yang mengisap, zalim, tidak adil, dan tidak seimbang. Mengenai haramnya riba, semua ulama dan pemikir Muslim sepakat karena wahyu memerintahkan demikian.

 

 
Maka itu, konsep riba yang diharamkan Alquran harus dibaca dalam sistem ekonomi yang mengisap, zalim, tidak adil, dan tidak seimbang. 
 
 

 

Namun, para ahli itu berbeda pendapat tentang definisi riba. Apakah bunga bank konvensional, khususnya yang dimiliki negara, sebagai lembaga dan urat nadi ekonomi modern, misalnya, termasuk kategori riba atau bukan?

Di sini, perbedaan pandangan cukup tajam, seperti yang akan kita bicarakan berikut ini. Kita kutip dulu dua ayat Alquran yang berkaitan dengan masalah riba.

Ayat 275 surah al-Baqarah terbaca artinya sebagai berikut: “Orang-orang yang makan riba itu tidak akan berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan dengan tamparannya. Yang demikian itu karena mereka berkata: ‘Perdagangan itu tidak lain melainkan seperti riba.’ Dan Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba…”

Ayat berikutnya dalam suraH Ali Imran: 130: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat kemenangan.”

Dua ayat ini sangat tegas tentang haramnya riba dan halalnya perdagangan. Pertanyaannya, apakah sistem ekonomi syariah itu sama sekali berbeda dengan sistem ekonomi modern melalui sistem perbankannya?

Adalah Sjafruddin Prawiranegara yang dikenal sebagai pakar ekonomi dan perbankan yang tidak setuju dengan pendapat sebagian besar ulama, yang mengharamkan bunga bank konvensional.

 “… bahwa banyak ulama kita, yang memahami kitab suci (Alquran) dan hadis Rasulullah SAW, tetapi kurang mengenal ilmu ekonomi modern dan penerapannya, terikat kepada satu penafsiran tentang riba yang menurut pendapat saya, bukan saja tidak sesuai dengan pengertian dasarnya dalam Alquran dan hadis, tetapi juga sangat merugikan perkembangan ekonomi masyarakat Islam di dunia.” (Lih. Sjafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam. Kumpulan Karangan Terpilih 2. Jakarta: PT Inti Idayu Press, 1988, hlm. 337).

 

 
Dua ayat ini sangat tegas tentang haramnya riba dan halalnya perdagangan. Pertanyaannya, apakah sistem ekonomi syariah itu sama sekali berbeda dengan sistem ekonomi modern melalui sistem perbankannya?
 
 

 

Sjafruddin Prawiranegara adalah salah seorang tokoh puncak Muslim Indonesia yang sangat mencintai agamanya di atas segala-galanya, tetapi ingin mengoreksi pemahaman yang keliru tentang hakikat riba.

Bagi tokoh ini, “Riba adalah segala keuntungan yang diperoleh berdasarkan transaksi atau perjanjian, di mana satu pihak menyalahgunakan kedudukan ekonominya yang kuat untuk mengambil keuntungan yang melewati batas dari pihak lawannya yang lemah. Jadi kalau sesuatu transaksi ditutup, bukan berdasarkan suka sama suka, tetapi karena pihak yang satu terpaksa menyetujui perjanjian itu karena tidak melihat alternatif lain, maka keuntungan yang diperoleh oleh yang ekonomis kuat itu adalah riba.” (Ibid., hlm. 285).

Definisi riba Sjafruddin ini cukup masuk akal dan rasional, dari sisi mana pun orang membacanya: agama dan ekonomi. Integritas moral dan keimanan Sjafruddin tak ada yang meragukan. Karena itu, mohon pendapatnya tentang masalah perbankan dinilai secara jujur dan berdasarkan fakta di lapangan.

Sjafruddin bukan hanya mahir berteori, melainkan ia pelaku yang cukup lama memimpin Bank Indonesia.

Adapun lembaga keuangan perbankan dan nonbank yang menggunakan label syariah atau yang sejenis biar saja berkembang, tetapi jangan diadu dengan yang konvensional. Lahirnya BSI (Bank Syariah Indonesia) pada Desember 2020 patut kita sambut gembira.

 

 
Ini artinya, mengusung sistem ekonomi syariah yang lebih banyak berdasarkan iman itu, ternyata di ranah empiris menghadapi batu sandungan yang berat. 
 
 

 

Ketika Dirut BSI Hery Gunardi meminta saran tentang lembaga baru hasil penggabungan ini, saya mengatakan agar BSI harus mampu bersaing dengan bank mana pun. Nasabah yang menggunakan jasa BSI jangan hanya karena dorongan iman, tetapi juga pertimbangan rasional.

Karena itu, saya tambahkan agar BSI menciptakan produk-produk yang menarik peminat dengan kualitas pelayanan bagus. Sebagai lembaga baru sistem ekonomi syariah harus benar-benar banyak belajar dari pengalaman yang manis ataupun pahit.

Sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah itu berdirinya Bank Muamalat awal 1990-an yang disambut meriah kaum santri. Dalam usianya yang belum mencapai dua dasawarsa, bank ini ternyata tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, bahkan hampir pailit.

Ini artinya, mengusung sistem ekonomi syariah yang lebih banyak berdasarkan iman itu ternyata di ranah empiris menghadapi batu sandungan yang berat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat