ILUSTRASI Sufi Syekh Ibrahim bin Adham pernah memberikan nasihat tentang hal-hal mustahil sebagai syarat bermaksiat kepada Allah. | DOK FLICKR

Kisah

Lima Syarat untuk Bermaksiat

Jika mampu melakukan lima syarat, engkau boleh saja kembali melakukan maksiat.

OLEH HASANUL RIZQA

Syekh Ibrahim bin Adham merupakan seorang sufi yang hidup pada abad kedua Hijriyah. Meskipun berasal dari keluarga kaya di Balkh, Afghanistan, dirinya lebih tertarik pada pengembaraan spiritual. Hingga akhir hayatnya, ulama yang pernah menetap di Nishapur dan Makkah itu istikamah dalam jalan tasawuf.

Ada banyak kisah yang berkaitan dengan sang ahli zuhud. Salah satunya dinukil Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab At-Tawwabin. Dalam cerita ini, tokoh yang lahir pada tahun 100 Hijriyah itu sedang mengisi kajian pada sebuah majelis ilmu.

Seperti biasa, orang-orang antusias mendengarkan ceramah alim yang akrab disapa Abu Ishaq tersebut. Sesudah itu, diadakanlah sesi tanya-jawab. Dari arah belakang jamaah, tampak seseorang mengangkat tangannya.

Dengan wajah gugup, lelaki ini memperkenalkan diri. Namanya ialah Jahdar bin Rabiah. Untuk sesaat, pemuda ini terdiam. Seakan-akan sedang mengumpulkan nyali sebelum bersuara.

“Wahai, Abu Ishaq!” katanya kemudian, “aku selama ini gemar bermaksiat. Sudah berulang kali aku bertobat, tetapi akhirnya kembali jatuh dalam dosa-dosa yang sama. Tolonglah berikan padaku nasihat!”

Syekh Ibrahim bin Adham mengangguk perlahan. “Akan kusebutkan lima syarat. Jika mampu melakukan semuanya, engkau boleh saja kembali melakukan maksiat.”

Mendengar itu, Jahdar sedikit terkejut. “Apa saja syarat-syarat itu, wahai Syekh?” tanyanya.

“Pertama-tama, engkau jangan memakan rezeki dari Allah jika masih mau bermaksiat.”

“Lantas, aku mau makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi adalah pemberian dari Allah?” katanya sembari mengernyitkan kening.

“Betul,” jawab Syekh Ibrahim tegas, “kalau sudah memahaminya, masih pantaskah engkau memakan rezeki dari-Nya, sementara engkau selalu berkeinginan melanggar perintah-Nya?”

Lelaki tersebut beserta seluruh hadirin hanya diam mendengarkan.

“Syarat yang kedua,” lanjut sang guru, “kalau mau bermaksiat, engkau jangan tinggal di bumi-Nya!”

Syarat ini membuat lelaki itu semakin kaget. Ibrahim pun kembali berkata kepadanya, “Wahai abdullah (hamba Allah), pikirkanlah baik-baik. Apakah layak memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara engkau melanggar segala perintah-Nya?”

“Ya, Syekh, Anda benar,” timpal pria tersebut, “lalu, apakah syarat yang ketiga?”

Ibrahim menjawab, “Kalau engkau masih mau bermaksiat, carilah tempat sembunyi yang tidak dapat terlihat oleh-Nya!”

Lelaki itu kembali terperanjat dan berkata, “Wahai Syekh, mana mungkin ada tempat seperti itu? Allah Mahamelihat segala sesuatu.”

“Nah, kalau memang yakin demikian, apakah engkau masih berkeinginan melakukan maksiat?” ujar ahli tasawuf ini.

Lelaki itu mengangguk dan meminta syarat yang keempat. Ibrahim melanjutkan, “Kalau malaikat maut datang hendak mencabut rohmu, katakanlah kepadanya, ‘Mundurkan kematianku walau untuk sesaat. Sebab, aku masih ingin bertobat dan melakukan amal-amal saleh.’”

Kembali lelaki itu menggelengkan kepala dan segera tersadar, “Wahai Syekh, mana mungkin malaikat maut akan menuruti kemauanku? Tidak mungkin maut bisa dimundur atau dimajukan waktunya.”

“Wahai abdullah, kalau engkau sudah meyakini bahwa datangnya kematian tidak bisa ditunda atau diundur, bagaimana mungkin engkau bisa lari dari murka Allah?” tutur mubaligh ini.

“Lalu, apa syarat yang kelima?”

Syekh pun menjawab, ''Wahai abdullah kalau malaikat Zabaniyah datang hendak menggiringmu ke api neraka di hari kiamat nanti, jangan engkau mau ikut bersamanya.”

Perkataan tersebut membuat lelaki itu tersadar. Dia berkata, "Wahai Abu Ishaq, sudah pasti malaikat tidak akan membiarkanku bebas."

Sadarlah Jahdar bin Rabiah tentang hakikat tobat. Air matanya pun bercucuran. "Cukup-cukup. Mulai saat ini aku akan benar-benar bertobat kepada Allah,” katanya sambil terisak.

Sejak saat itu, lelaki tersebut fokus meningkatkan ketakwaannya kepada Allah hingga ajal menjemputnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat