Sejumlah warga menggunakan perahu saat melintasi banjir di kawasan perdagangan di Lintas Melawi, Sintang, Kalimantan Barat, Ahad (14/11/2021). BPBD Kabupaten Sintang menyatakan sebanyak 12 kecamatan di kabupaten setempat terdampak banjir yang disebabkan m | ANTARA FOTO/Jane Elisabeth Wuysang/jhw/YU

Kabar Utama

Penghijauan Mendesak

Wilayah Kalimantan masih menjadi langganan banjir besar.

JAKARTA -- Dalam setahun ini, Pulau Kalimantan dilanda dua banjir besar yang menenggelamkan puluhan ribu rumah. Presiden Joko Widodo mengakui, kerusakan lingkungan punya peran dalam memperparah banjir belakangan.

“Ya itu memang karena kerusakan catchment area, daerah tangkapan hujan yang sudah berpuluh-puluh tahun,” ujar Jokowi usai meresmikan jalan tol Serang-Panimbang di Kabupaten Lebak, Banten, Selasa (16/11).

Secara khusus, komentar tersebut diarahkan pada banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat yang belum surut sejak terjadi pada 21 Oktober lalu. Jokowi menekankan, rusaknya daerah tangkapan hujan harus segera dihentikan dan diperbaiki. Kondisi tersebut menyebabkan Sungai Kapuas meluap.

Menurutnya, perbaikan di daerah tangkapan hujan akan mulai dilakukan pada tahun depan. Pemerintah akan membangun persemaian dan juga melakukan penghijauan kembali di daerah hulu dan daerah tangkapan hujan. “Itu memang harus perbaiki karena memang kerusakannya ada di situ,” kata dia.

Selain disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan hujan, banjir di Kabupaten Sintang yang masih terjadi hingga saat ini juga disebabkan oleh hujan yang ekstrem. “Kedua, memang ada hujan yang lebih ekstrem dari biasanya,” ucap Jokowi.

Bencana banjir di Kabupaten Sintang terjadi setelah hujan ekstrem mengguyur wilayah tersebut sehingga debit air Sungai Kapuas dan Melawi meluap. Selain itu, pada bagian hilir, pasang laut terjadi sehingga aliran sungai terhambat dan banjir bertahan hingga kini.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sintang menginformasikan, pada Selasa (16/11) tinggi muka air berangsur surut hingga 50 cm di beberapa lokasi. Sedangkan jumlah warga terdampak mencapai 35.807 KK atau 124.497 jiwa dan yang mengungsi sebanyak 7.545 KK atau 25.884 jiwa. Dua korban jiwa tercatat dari kejadian tersebut.

Selain Sintang, tujuh kabupaten/kota di Kalimantan Barat juga terdampak. Di Kabupaten Sanggau, misalnya, sudah tiga pekan banjir juga belum surut dan merendam 10.520 unit rumah.

photo
Sejumlah pengendara motor menggunakan jasa ojek penyeberangan di Peniti, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Senin (15/11/2021). Dampak dari banjir yang merendam ruas jalan nasional menuju wilayah timur Kalbar itu membuat warga setempat berinisiatif membuat rakit untuk menyeberangkan para pengendara motor yang ingin melintasi banjir tersebut dengan bayaran seikhlasnya. - (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/foc.)

Saat ini, wilayah Kalimantan Tengah, utamanya di Palangka Raya juga sebagian terendam banjir. Banjir yang terjadi akibat luapan Sungai Kahayan itu berdampak pada 10.739 warga di Kota Palangka Raya

Sementara awal tahun ini, banjir besar akibat luapan Sungai Barito juga sempat melanda sembilan kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Sedikitnya 27.111 rumah terendam saat itu dan menimbulkan 112 ribu pengungsi serta 15 warga meninggal.

Kalimantan merupakan salah satu pulau yang paling terdampak deforestasi di Indonesia. Pemindaian LAPAN pada 2020 menemukan, terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13 ribu hektare sejak 2010. Kemudian terjadi penurunan 116 ribu hektare hutan sekunder, 146 ribu hektare sawah, dan 47 ribu  hektare semak belukar. Sementara pada rentang waktu yang sama, area perkebunan meluas sebesar 219 ribu hektare.

Sedangkan pemerintah daerah dan pusat mencatat sekira 70 persen daerah aliran sungai (DAS) Sungai Kapuas yang melintasi Kalbar telah mengalami kerusakan sebesar 70 persen, sementara DAS Sungai Barito yang melintasi Kalsel mengalami kerusakan sekitar 60 persen.

Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menekankan, berdasarkan peta analisis sifat hujan dasarian I BMKG pada November 2021, sebagian besar wilayah Kalimantan masih berada pada ambang batas normal. Pada angka 85-115 persen, curah hujan belakangan belum melampaui angka 115 persen yang merupakan batas normal.

Namun demikian, BNPB mengimbau untuk tetap waspada dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi fenomena La Nina. Artinya, banjir di Sintang berada di bantaran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi juga dipengaruhi kerusakan lingkungan .

"Salah satu penyebabnya karena berkurangnya tempat penyerapan air saat debit hujan tinggi karena sebagian lahan sudah berubah menjadi tambang dan perkebunan sawit," kata Muhari kepada Republika.

Ia menyatakan, perlunya pengendalian pemanfaatan ruang terbuka dapat dijalankan agar mampu menekan laju deforestasi serta fungsi lahan maupun hutan dapat dikembalikan sebagai daerah penyerapan air yang optimal.

Peneliti Pantau Gambut Agiel Prakoso menuturkan, lahan gambut yang terdegradasi dan kehilangan fungsinya untuk menyerap dan menyimpan air memiliki korelasi dengan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir. Menyikapi hal itu, penting dilakukan restorasi gambut secara masif telah digaungkan dalam beberapa waktu terakhir. 

Revisi Kebijakan

Menurut Greenpeace Indonesia, pernyataan kemarin menunjukkan adanya kemajuan cara pandang Jokowi dalam merespons persoalan banjir. "Dulu kan Presiden Jokowi selalu bilang banjir terjadi karena curah hujan semata. Sekarang dia mulai mengakui adanya deforestasi dan kerusakan hutan," kata Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, kepada Republika, Selasa (16/11). 

Menurut Arie, penyebab deforestasi paling utama di Kalimantan Barat (Kalbar) adalah pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Pemberian izin untuk aktivitas bisnis itu sudah berlangsung puluhan tahun, sejak rezim Orde Baru hingga rezim Jokowi. 

Sebagai gambaran, kata Arie, pada periode 2001 sampai 2019, deforestasi di Kalbar sekitar 1,187 juta hektare (ha). Tapi, Arie tak memiliki data terkait deforestasi khusus di Kabupaten Sintang. 

Adapun pada 2019-2020, lanjut Arie, penggundulan hutan di Kalbar mencapai 16,38 ribu ha. Ini adalah angka tertinggi dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, deforestasi di Kalbar tetap terjadi di bawah rezim pemerintahan Jokowi. "Jadi jangan selalu gunakan kerusakan hutan pada rezim masa lalu sebagai tameng," kata Arie. 

Arie berujar, dengan sadarnya Jokowi bahwa deforestasi adalah pemicu banjir di Sintang, kini publik menanti tindakan konkretnya untuk mengatasi persoalan tersebut. Menurut Arie, terdapat tiga hal yang harus dilakukan Jokowi untuk memperbaiki daerah tangkapan air yang sudah kadung rusak. 

Pertama, hentikan pemberian izin baru pembukaan lahan dan evaluasi izin yang sudah terlanjur diberikan. Menghentikan pemberian izin, kata Arie, harus dilakukan karena pada masa pemerintahan Jokowi masih ada izin baru yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pemerintah daerah. 

Sedangkan evaluasi izin, lanjut dia, harus dilakukan karena di beberapa areal konsesi masih terdapat tutupan hutan. "Kalau memang masih ada tutupan hutannya, maka kembalikan menjadi kawasan hutan atau diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat," kanata Arie. 

Kedua, lakukan penegakan hukum. Sebab, ada banyak izin konsesi lahan berada di kawasan hutan. Baik itu izin perkebunan, pertambangan, maupun penebangan kayu. 

Ketiga, barulah lakukan rehabilitasi hutan. Bagi Arie, rehabilitasi menjadi langkah terakhir karena laju rehabilitasi selalu tertinggal dengan laju deforestasi. "Kalau dia menanam di satu tempat, tapi pembukaan lahan tetap besar, maka bencana baru akan terus terjadi," ujarnya. 

Sedangkan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Nicodemus Ale menuturkan, banjir kali ini termasuk yang terbesar. "Di Sintang itu adalah banjir terbesar dalam 30-40 tahun terakhir. Karena durasinya lama dan areal terdampak cukup besar,” kata dia kepada Republika, kemarin.

Ia juga menyatakan sepakat dengan tanggapan Presiden atas penyebab banjir di Kalimantan, kemarin. Ia memaparkan, sedianya dari 14,7 juta hektare lahan di Kalbar, hanya 6,4 juta ditetapkan sebagai kawasan produksi.

photo
Warga menggunakan perahu bermesin melintas di kawasan bendungan Tapin yang debit airnya menyusut di Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Kamis (4/11/2021). Bendungan Tapin mulai melaksanakan siaga bencana dengan mengosongkan flood stroge atau penyimpanan banjir sebagai persiapan menghadapi badai La Nina. - ( ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nz)

Namun, belakangan faktanya berbeda. “Sekitar 6,4 (juta hektare) yang aktivitas produksi investasi itu sekarang sudah overload dengan total investasi itu sekitar 12 koma sekian juta hektare itu sudah diplotkan menjadi industri,” kata dia.

Hal ini disimpulkan dari pemberian izin untuk alih fungsi lahan menjadi aktivitas industri yang mendekati angka 13 juta hektare. Artinya, kata dia, peristiwa bencana ekologi yang terjadi hari ini menunjukkan salah satu indikator kualitas lingkungan Kalbar tidak lagi mampu menjamin keberlangsungan hidup manusia di Kalbar.

“Benar yang Bapak Presiden bilang kondisi wilayah Kalbar sudah rusak. Maksud kita, jangan cuman ber-statement, tapi konkretkan dengan upaya,” ujarnya.

Menurut kaca mata Walhi, yang harus dilakukan mulai sekarang adalah melakukan revisi tata ruang. Yang kedua, harus segera melakukan revisi perizinan terkait investasi skala besar di Kalbar. “Misalnya perusahaan yang mendapatkan izin konsesi ada yang sampai masuk dalam status kawasan hutan. Itu yang harus dilakukan revisi,” ujarnya.

Selain itu, izin perusahaan yang membuka lahan perkebunan sampai ke bibir sungai juga harus direvisi. Pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan kota yang terutama perlu melakukan revisi tersebut.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat