Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Mengenyahkan Bahasa Belanda dari Bumi Cendrawasih

Belanda ingin mentransfer budaya Barat ke orang-orang Papua lewat bahasa Belanda.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Buku aturan sepak bola berbahasa Melayu dan Belanda harus dibeli setelah Voetbalbond Fakfak (Perserikatan Sepak Bola Fakfak) didirikan pada 4 Agustus 1934. Selain itu, ada lima calon wasit yang harus dilatih dan pertandingan dikelola oleh Voetbalbond Fakfak.

Semua itu dilakukan karena pertandingan sepak bola selalu memunculkan pertikaian di lapangan. Hampir tidak ada pertandingan yang tidak berujung pertikaian. Sepak bola dikenalkan di Papua oleh kalangan zending Belanda. Daniel Hanasbei menjadi orang pertama Papua yang bergabung dengan klub sepak bola profesional di Belanda pada 1959.

Rudolf Voorhove menyebut sepak bola yang dulu dijauhkan dari para remaja Belanda, oleh kalangan zending dijadikan alat utama untuk mendekati orang Papua. Guru-guru zending dari Ambon dan Manado disebut Voorhoeve cukup baik mengajarkan permainan sepak bola kepada remaja Papua. Mereka tentu menggunakan bahasa Melayu.

Dua puluh tahun kemudian, bahasa Melayu yang diajarkan oleh guru-guru dari Ambon itu disebut tidak memadai sebagai bahasa resmi di sekolah. Guru-guru itu, menurut Mgr A Cremers OFM, seorang administrator Apostolik Hollandia (Jayapura), berpendidikan rendah, sehingga tak mampu mengajarkan bahasa Melayu Tinggi seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Hindia Belanda. Selain dari Ambon, menurut Cremers, ada juga guru-guru dari Kei. Mereka mengajarkan bahasa Melayu Maluku.

Namun, pada 1950-an itu, Belanda tak lagi berkuasa di Hindia Belanda. Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia. Saat itu Papua menjadi satu-satunya wilayah koloni Belanda yang ada di Nusantara, dengan nama Nederlands Niuew Guinea. Jakarta menyebutnya Irian Barat.

Baik parlemen maupun kalangan zending mengusulkan agar bahasa Belandalah yang diajarkan di sekolah di Irian Barat. Maka, buku pelajaran/bacaan berbahasa Indonesia yang didatangkan dari Jakarta, mereka minta untuk dihentikan.

Pada akhir 1952, jumlah penduduk Irian Barat dicatat sekitar 700 ribu jiwa. Sebanyak 12 ribu di antaranya adalah orang Belanda (sebagian besar Indo-Belanda) dan 11 ribu orang dari Republik Indonesia. Orang Cina tercatat ada beberapa ribu dan orang Arab dalam jumlah yang kecil.

 
Parlemen Belanda yang pernah ke Irian Barat dalam laporannya pada 1954 menyebut ada 70-80 bahasa di Irian Barat.
 
 

Parlemen Belanda yang pernah ke Irian Barat dalam laporannya pada 1954 menyebut ada 70-80 bahasa di Irian Barat. Pada 1957 terdata sudah ada 127 bahasa. Dengan jumlah bahasa yang begitu banyak untuk penduduk yang hanya 700 ribu, tentu susah menetapkan salah satu dari bahasa itu sebagai bahasa resmi Irian Barat.

Sifat “ketertutupan’’ suku-suku di Irian Barat membuat masing-masing suku memiliki bahasa sendiri. Hal ini telah memunculkan kesulitan komunikasi antarsuku.

Namun, memilih bahasa Indonesia juga tak mungkin bagi Belanda –meski buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku berbahasa Indonesia yang didatangkan dari Jakarta. Penyebabnya, desakan penggunaan bahasa Belanda begitu kuat datang dari parlemen Belanda dan kalangan zending.

Sebenarnya ada beberapa pilihan, karena ada bahasa Melayu, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Di beberapa wilayah di Papua memang sudah ada yang menggunakan bahasa Spanyol dan Inggris. Orang-orang parlemen tentu saja memilih bahasa Belanda.

Sebuah koran mempersoalkan dijadikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di Irian Barat ini. Padahal, bahasa itu telah disingkirkan oleh kaum nasionalis Indonesia. Koran itu mempertanyakan, akankah bahasa Belanda bermanfaat bagi Irian Barat di masa depan?

 
Sebuah koran mempersoalkan dijadikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di Irian Barat ini.
 
 

Belanda memiliki dalih. Belanda ingin mentransfer budaya Barat ke orang-orang Papua lewat bahasa Belanda. Dengan bahaya Belandalah, orang Irian Barat bisa kontak dengan budaya Barat. Namun, hal itu diragukan karena transfer budaya bukan sifat Belanda. Belanda dituding hanya akan meneguhkan kolonialisme di Irian Barat setelah kehilangan Hindia Belanda.

Anggota perlemen, E Wetering, lantang mengusulkan penggunaan bahasa Belanda. Wetering menguasai bahasa Indonesia, karena ia pernah bertugas di Hindia Belanda.

Begitu tiba di Sorong sebagai ketua delegasi parlemen, ia menggunakan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan masyarakat Irian Barat. Itulah satu-satunya bahasa yang membuat dirinya bisa berkomunikasi dengan masyarakat Irian Barat, bukan bahasa Belanda.

Kursus-kursus dan penggunaan bahasa Belanda di sekolah pun tak berlangsung lama. Lewat perundingan di PBB pada 1962, Belanda menyerahkan Irian Barat ke Indonesia.

Ketika bertemu pada Desember 2019, Elharis Etana, tetua adat Kampung Kambala, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, mengaku sudah lupa berhitung dalam bahasa Belanda. Di tahun terakhir Belanda di Papua, ia baru masuk sekolah. Seorang tetua di Kampung Pahger Nkendik, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, mengaku hanya bisa berbahasa Belanda untuk berhitung satu sampai sepuluh.

Mereka mengaku hanya sebentar belajar bahasa Belanda di sekolah sebelum Irian Barat bergabung dengan Indonesia. Ketika Irian Barat menjadi bagian wilayah Indonesia, maka yang digunakan di sekolah adalah bahasa Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat