KH M Tata Taufik. UU Pesantren ini sebetulnya menjadi salah satu bentuk afirmasi negara terhadap pesantren. | dok ist

Hiwar

Refleksi Dua Tahun UU Pesantren

UU Pesantren ini sebetulnya menjadi salah satu bentuk afirmasi negara terhadap pesantren.

 

 

Pada bulan ini, Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren genap berusia dua tahun. Sejumlah pihak menyambut baik beleid tersebut sebagai bukti hadirnya peran negara di tengah kaum Muslimin, khususnya kalangan kiai dan santri. Dari pasal-pasal yang ada, berbagai aturan turunan pun telah dibuat oleh pemerintah pusat.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia (P2I) KH M Tata Taufik, UU 18/2019 telah menuai respons yang beragam. Di satu sisi, bahkan ada prokontra. Bagaimanapun, lanjutnya, adanya payung hukum lebih baik daripada tidak sama sekali.

Maka dari itu, Kiai Tata memandang, penting bagi pemerintah untuk menyusun dan menerapkan seluruh aturan turunan dari UU Pesantren. Seperti baru-baru ini, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Kebijakan itu berkenaan dengan pendanaan dan penyelenggaraan pesantren.

“Perpres ini sudah kita bahas sebelumnya. Artinya, kita sudah melihat drafnya dan berdiskusi dengan banyak pihak. Kami mendengar berbagai penjelasan sehingga kini tidak mempermasalahkan itu,” ujar alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor itu.

Ia mengatakan, Perpres 82/2021 bisa menjadi landasan tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah untuk mendukung keberlangsungan pesantren. Di sisi lain, sosialisasi yang masif perlu dilakukan agar penerapan aturan itu dapat berjalan sesuai koridor hukum.

Bagaimana UU 18/2019 dan segala aturan turunannya mempengaruhi dunia pesantren hingga kini? Benarkah regulasi tentang pendanaan pesantren bisa memasung kemandirian lembaga tersebut? Untuk menjawabnya, berikut ini petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan pengasuh Pondok Modern al-Ikhlash, Ciawigebang, Kuningan, Jawa Barat, itu beberapa waktu lalu.

Hampir dua tahun sejak Undang-Undang Nomor 18/2019 tentang Pesantren disahkan. Bagaimana penerapannya sejauh ini menurut Anda?

Sejak diundangkannya sampai sekarang, UU Pesantren sudah dapat dilaksanakan. Misalnya, dari segi perizinan. Pesantren atau muadalah baru itu sudah disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian, aturan-aturan yang menjadi turunannya UU Pesantren, semisal PMA (Peraturan Menteri Agama) Nomor 30, 31, dan 32 Tahun 2020.

PMA 30/2020 itu tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren. Kalau PMA 31/2020, tentang pendidikan pesantren. Sementara, PMA 32/2020 tentang Ma’had Aly.

Nah, itu semua sudah berjalan. Di luar PMA itu, aturan-aturan turunan yang kabarnya juga digarap terus. Dari pihak kami, baru-baru ini mengadakan rapat tentang prospek peraturan (turunan UU Pesantren) yang bisa memberikan rekognisi dan afirmasi kepada pesantren. Begitu juga, prospek ke depan tentang bagaimana aplikasi UU Pesantren tersebut.

Terkait dengan UU pesantren, sebetulnya ini berangkat daripada kebutuhan pesantren, terutama yang berkaitan dengan afirmasi, pengakuan, keberadaan pesantren, legalitas, dan sebagainya. Saya pikir untuk kondisi saat ini, isi-isinya itu sudah dapat dikatakan mewakili kebutuhan pesantren terhadap adanya regulasi.

Terkini, UU Pesantren telah memiliki aturan turunannya, yakni Perpres Nomor 82/2021 tentang pendanaan penyelenggaraan pesantren. Tanggapan Anda?

Terkait dengan pendanaan pesantren, saya pikir Perpres itu tidak sebagaimana yang diduga oleh beberapa kalangan pesantren. Beberapa pihak bilang, aturan itu akan “memasung” pesantren dan lain sebagainya. Kalau saya melihatnya, itu justru menjadi salah satu upaya untuk memberikan perlindungan kepada pesantren-pesantren agar berhati-hati, misalnya, dalam menerima hibah dari luar negeri.

Agar lebih jelas dan terarah, maka penerimaan (hibah) itu perlu dilaporkan kepada pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag). Bahkan, kalau di kementerian-kementerian lain, yang saya tahu, hibah luar negeri itu harus masuk ke APBD dan sebagainya.

Secara keseluruhan, Perpres No 82/2021 tak jadi soal?

Saya pikir, Perpres ini sudah bagus. Tidak banyak yang harus diperdebatkan dalam konteks penerimaan hibah luar negeri, misalnya. Apalagi, negara juga harus merasa aman dari tuduhan sebagai pendukung terorisme dan lain sebagainya.

Saya pikir, masalah aturan dan pelaporan itu hanya pada soal penggunaan dana. Sehingga, ketika misanya ada tuduhan-tuduhan kalau sebuah pesantren menjadi “sarang teroris”, menerima dana teroris, dan lain sebagainya, itu langsung bisa ditepis. Sebab, adanya pelaporan ke pemerintah tadi.

Lagipula, Perpres ini sudah kita bahas sebelumnya. Artinya, kita sudah melihat drafnya dan berdiskusi dengan banyak pihak. Kami mendengar berbagai penjelasan sehingga kini tidak mempermasalahkan itu (Perpres 82/2021).

Menurut Perpres No 82/2021, pemerintah daerah (pemda) bisa alokasikan anggaran untuk pesantren. Pendapat Anda?

Memang, Perpres ini memberikan sinyal antara lain bahwa pemda harus turut serta dalam pembangunan pendidikan. Untuk sementara, ini memang yang sudah berjalan di sektor pendidikan lain. Namun, untuk pesantren, payung hukum dan aturan khusus diperlukan.

Dengan adanya Pepres ini, pemda diharapkan lebih berani mengalokasikan dananya untuk pesantren. Jadi, tidak saja hanya bernaung di bawah peraturan daerah (perda), tapi harus ada naungan yang lebih kuat di atasnya.

Nah, UU Pesantren ini sebetulnya menjadi salah satu bentuk afirmasi negara terhadap pesantren. Afirmasi itu kemudian dilanjutkan dengan adanya peran-serta atau kehadiran negara dalam hal pendanaan.

Perpres No 82/2021 juga menyebut tentang “dana abadi pesantren” yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan?

Berkaitan dengan Dana Abadi Pesantren, itu memang dimaksudkan agar pesantren mendapatkan akses Dana Abadi Pendidikan (DAP). DAP sejauh ini sudah berjalan pada sektor pendidikan. Sehingga dengan demikian pesantren dapat akses dari dana tersebut.

Aturan yang sama “mengharuskan” pihak pesantren untuk mampu membuat laporan keuangan. Siapkah pesantren untuk itu?

Ya, sementara ini, satu hal yang sering diperbincangkan atau dikritisi dari Perpres No 82/2021 ialah kesan adanya keharusan pesantren-pesantren untuk melaporkan keuangannya. Sebenarnya, bukan begitu. Pesantren hanya harus melaporkan pendanaan dan mencatat keuangannya.

Saya pikir, itu sebuah judul besar dari manajemen pesantren. Artinya, pembiayaan yang ada di dalam pesantren itu harus terbukukan. Akan tetapi, tidak ada kewajiban untuk melaporkan kepada pihak pemerintah. Sebab, itu masalah internal pesantren.

Oleh karena itu, saya pikir apa yang diributkan dalam poin ini barangkali karena kurang tepat dalam memaknai pernyataan yang ada dalam undang-undang (UU Pesantren). Jadi, memang perlu sosialisasi yang panjang untuk hal ini.

Dalam sejarah, pesantren sering diidentikkan sebagai lembaga pendidikan yang mandiri. Apakah adanya pendanaan dari luar itu berpotensi membuat pesantren kehilangan sifat ini?

Saya sepakat bahwa kemandirian pesantren harus dijunjung tinggi. Namun, adanya pendanaan dari luar itu sah-sah saja selama tidak mengikat. Jadi, pesantren sudah punya norma tersendiri tentang bagaimana alur dana bantuan dari luar.

Biasanya, bantuan itu berbentuk sumbangan yang tidak mengikat. Tidak mengikat itulah sebetulnya ciri kemandirian pesantren. Maknanya, pesantren tidak pernah meminta-minta bantuan.

Sementara ini, pesantren hanya mengandalkan potensi yang ada dari dalam, dan kemudian swadaya masyarakat tempatnya berada. Misalnya, apa yang dicontohkan pengasuh Pondok Pesantren Modern Tazakka, KH Anang Rikza Masyhadi. Ia sampai mengembangkan zakat produktif dan memunculkan inisiatif tentang wakaf saham perusahaan dan lain sebagainya.

Jadi, semua itu sebetulnya dalam konteks kemandirian pesantren. Adanya hibah atau bantuan dari pemerintah maupun luar tidak akan menghapus identitas atau kinerja pesantren mengenai kemandirian.

Menurut Anda, apakah UU Pesantren saat ini sudah bagus atau ada pasal-pasal yang sebaiknya ditinjau?

Dalam Pasal 6 memang disebutkan bahwa pendirian sebuah pesantren mesti terdaftar pada kementerian. Jadi, pesantren saat ini membutuhkan rekognisi dari pemerintah. Maka, untuk mendapatkan rekognisi atau afirmasi tersebut, harus bermula dari pendaftaran. Untuk lebih mendapatkan rekognisi yang lebih tinggi, maka lebih tinggi lagi butir-butir persyaratannya. Sehingga, ini bisa menjaga kualitas pesantren.

Bagaimanapun, perkembangan masuknya pesantren terhadap regulasi negara ini adalah sebuah keniscyaan. Kalau pun tidak muncul UU Pesantren pada 2019 lalu, pesantren akan tetap bersuara.

Terakhir, bagaimana pengaruh UU Pesantren terhadap lembaga yang Anda pimpin?

Pengaruh UU Pesantren terhadap pesantren kami, saya pikir, ada semacam kekuatan dan kepercayaan diri. Ini imbas dari adanya sebuah regulasi. Jadi, pesantren tidak ragu-ragu lagi tentang masa depan santri-santrinya. Pendidikan dan para ustaz di pesantren juga menyambut gembira lahirnya UU Pesantren ini.

UU Pesantren sangat berdampak kepada pesantren secara kesuluruhan. Misalnya, untuk pendaftaran pesantren muadalah atau pendidikan diniyah formal, itu sekarang sudah antre walaupun saat ini pesantren belum dibuka karena adanya pandemi.

Dengan adanya UU Pesantren, pesantren-pesantren di Indonesia juga semakin banyak. Kalau kita melihat data dari Kemenag, waktu (UU Pesantren) diundangkan pada 2019 itu ada sekitar 27 ribu pesantren. Namun, sekarang jumlahnya sudah sampai 30 ribuan unit. Ini menurut data dari pihak Kemenag. Fenomena itu bisa dibilang luar biasa.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by