Ustaz Ali selaku moderator saat mengikuti kegiatan dakwah virtual bersama Ustaz Syarifuddin Mustofa yang bertajuk Kaidah Kehidupan Dalam Al-Quran di Masjid Al-Ikhlash Jatipadang, Jakarta, Ahad (28/2). Dakwah virtual menjadi salah satu solusi untuk tetap m | Republika/Putra M. Akbar

Khazanah

Kunci Keberhasilan Dakwah

Dakwah dengan tawadhu menginspirasi masyarakat luas.

JAKARTA – Seorang Muslim yang tawadhu' dalam menjalani hidup akan menemui keselamatan karena akan terhindar dari riya dan angkuh. Begitupun dalam berdakwah, ketawadhuan sangat penting dimiliki oleh seorang da'i. Pendakwah yang juga Imam Besar Masjid New York, ustaz Muhammad Shamsi Ali menjelaskan sikap dam karakter tawadhu penting dalam kerja-kerja dakwah. 

Hal itu penting karena secara prinsip dakwah adalah ajakan menuju jalan Allah (ilaa sabiilillah). Dan tawadhu adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup manusia. Maka menurut ustaz Shamsi seseorang yang berdakwah namun tidak bernilai mulia atau tidak berkarakter, tidak tawadhu menjadi kontras pada dirinya. 

"Tawadhu' dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang da’i yang mengakui ketidak sempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan dakwah ini (para da’i) jauh dari kesempurnaan," kata ustaz Shamsi dalam pesan singkatnya pada Rabu (29/9).  

Ustaz Shamsi yang juga Presiden Nusantara Foundation mengatakan kesadaran akan kekurangan dalam berislam  menjadi motivasi untuk bermujahadah lagi dalam menambah kwalitas keislaman. Yang dengannya akan menjadi jalan untuk meningkatnya kualitas dakwah. Karena itu jelas ustaz Shamsi  kualitas dakwah ada pada keteladanan dalam berislam itu sendiri. 

Sebaliknya menurut ustaz Shamsi bahaya dan malapetaka terbesar dalam dakwah ada pada karakter da’i yang angkuh, merasa sempurna, merasa mampu dan hebat. Ia menjelaskan tawadhu dalam dakwah juga ada pada bagaimana melihat obyek dakwah itu sendiri. Bahwa siapapun dan bagaimanapun keadaannya semua orang memiliki sisi kebaikan dalam dirinya. Bahwa pada manusia itu ada jati diri yang paling mendasar yang tidak akan berubah. Itulah fitrah manusia. 

"Maka da’i yang tawadhu akan melihat semua orang dengan pandangan positif. Tidak menghakimi siapapun karena apapun dan bagaimanapun keadaannya. Tentu hal ini juga berarti bahwa da’i yang tawadhu’ akan selalu memandang obyek dakwah dengan mata positif," katanya. 

 

standardisasi dai bukan paksaan

Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar program Standardisasi Dai angkatan keempat. Melalui program ini, MUI membekali pada dai tentang pengetahuan dan wawasan kebangsaan.

Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH Cholil Nafis, menegaskan, standardisasi dai bukanlah paksaan atau prasyarat dalam berdakwah. Namun, menurut dia, program ini memiliki banyak manfaat untuk mensyiarkan agama Islam ke berbagai belahan dunia.

"Dengan memiliki syahadah dai standardisasi MUI, banyak manfaatnya terutama untuk keperluan administratif jika kita akan berceramah ke luar negeri, dan juga sekarang beberapa lembaga penyiaran mengutamakan dainya yang berstandar MUI atau hasil rekomendasi MUI,” ujar Kiai Cholil kepada //Republika//, Senin (27/9).

Standardisasi dai, menurut dia, juga bertujuan mencetak dai-dai yang berpaham Islam wasathiyah dan berwawasan kebangsaan yang baik. Dengan demikian, para dai tersebut bisa meningkatkan pengetahuan umat tentang ajaran Islam, serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

“Jadi, dengan standardisasi ini bukan berarti melarang dai-dai yang belum berstandar untuk ceramah, mereka tetap berhak dan berceramah, namun tidak bergabung dalam ikatan dai MUI dan tidak direkomendasi oleh MUI,” ujarnya.

“MUI turut membina para dai yang berstandar MUI agar dalam dakwahnya menginspirasi umat dan mematuhi kode etik dakwah,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok ini.

Sementara, Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Ahmad Zubaidi, mengatakan, program ini sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Setelah pandemi mereda pada September 2021, program Standardisasi Dai MUI kembali dibuka dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Ia mengungkapkan, ada sekitar 1.000 orang lebih yang mendaftar untuk mengikuti program ini. Namun, hanya 300 orang yang akan mengikuti program sampai akhir tahun.

"Kita seleksi per angkatan hanya 50 orang, jadi dari 1.000 orang itu diambil hanya 300 orang untuk enam kelompok," kata Kiai Zubaidi kepada //Republika//, Selasa (28/9).

Ia menerangkan, setiap kelompok ada 50 orang yang mengikuti program standarisasi dai MUI. Mereka mengikuti program tersebut di kantor pusat MUI, Jakarta.

"Program dilaksanakan dengan protokol kesehatan sangat ketat, semua peserta program melakukan// swab// antigen di tempat sebelum masuk," ujarnya.

Kiai Zubaidi menerangkan, para dai yang mengikuti program ini berasal dari berbagai ormas Islam. Namun, mereka mengikuti standardisasi dai MUI secara individu.

Ia mengatakan, tahun ini program standardisasi dai MUI untuk kelompok pertama digelar pada Senin (27/9) di kantor pusat MUI. “Insya Allah akan ada lima kelompok lagi yang akan menjalani program Standardisasi Dai MUI sampai akhir tahun ini,” katanya.

Kiai Zubaidi juga menerangkan, standardisasi itu adalah program peningkatan kompetensi dai berdasarkan standar MUI. Adapun standarnya, yakni harus memiliki kemampuan pengetahuan agama dan kebangsaan yang memadai. Juga, mampu mempraktikkannya dalam konteks peribadatan, sosial keagamaan, kebangsaan, dan memiliki akhlak yang mulia atau akhlakul karimah.

“Target standardisasi dai ini adalah ingin melahirkan dai-dai yang memiliki kompetensi dalam dakwah, baik dari segi penguasaan materi keagamaan, kebangsaan dan metode dalam dakwahnya.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat