Warga berburu ikan mabuk dengan aneka peralatan tangkap ikan yang dimiliki dalam tradisi pladu atau pengeringan air di Sungai Irigasi Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (4/9/2021). Mereka memanfaatkan momentum pladu atau penggelontoran air sungai u | ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/foc.

Ekonomi

Berharap Program Irigasi Pertanian Semakin Meluas

Program irigasi pertanian terbukti efektif meningkatkan pendapatan pertanian.

JAKARTA — Nurul Hidayati, salah seorang petani jagung di Desa Singogalih, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo mengungkapkan harga jagung di tingkat petani saat ini berada di kisaran Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kilogram. Sedikit lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya dimana rata-rata harga di tingkat petani Rp 3.000. 

Selain harganya yang mengalami peningkatan, Nurul mengaku hasil panen tahun ini juga cukup meningkat. Nurul yang menanam jagung di lahan seluas sekitar 1 hektare, bisa memanen jagung mencapai 11 ton lebih. Meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya mampu menghasilkan sekitar 9 ton.

Peningkatan hasil panen tersebut seiring kemudahannya mendapatkan air lewar program irigasi yang digagas Kementerian Pertanian. "Ini cukup membantu petani. Pengairan di lahan jadi mudah dan berdampak pada hasil panen," kata Nurul di Surabaya, Kamis (30/9).

Di desanya memang sebagian besar petani memilih menanam jagung. Adapun luas area penanaman jagung di desanya sekitar 100 hektare. Selain karena mudah, bertani jagung banyak dipilih lantaran bisa dilakukan tumpang sari dengan tanaman lainnya seperti cabai dan tomat. 

Nurul berharap pemerintah dalam hal ini Kementan bisa terus menjalankan program irigasi bagi para petani jagung di daerahnya. Ia juga mengharapkan bantuan lainnya dari perintah sepeeti program pupuk bersubsidi maupun bantuan Alsintan.

"Harapan kita bantuan dari pusat bisa terus menyentuh petani di daerah secara merata, ini penting agar hasil panen bisa lebih produktif lagi," ujarnya.

Gayuh Satria, petani jagung dari Desa Kunti, Kecamatan Bungkal, Kabupaten Ponorogo juga mengungkapkan adanya peningkatan hasil panen jagung di 2021, meskipun tidak terlalu signifikan. Gayuh bisa memanen sekitar 5 ton jagung dari lahan yang dimilikinya seluas setengah hektar. 

"Dengan adanya irigasi ini sangat membantu petani, untuk mengaliri air ke lahan petani. Karena sebelumnya itu petani bergantung air hujan, bahkan membeli air. Ini tentu menambah biaya produksi hingga biayanya mahal," ujarnya.

Pendapatan petani kunci swasembada

Pendapatan petani tebu menjadi unsur terpenting jika Indonesia ingin kembali mencapai swasembada gula. Peningkatan pendapatan itu perlu dukungan dari para perusahaan pabrik gula berbasis tebu lewat peningkatan sisa hasil usaha (SHU) para mitra petani.

Direktur Produksi dan Pengembangan Holding PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III Mahmudi mengatakan, kondisi industri gula dalam negeri membutuhkan perhatian serius. Upaya swasembada gula dari tahun ke tahun terus dicanangkan, tapi tetap menyisakan berbagai persoalan.

"Salah satu yang bisa mendorong swasembada gula adalah kemitraan kita dengan petani tebu karena kita sadar betul petani yang berada di garda terdepan," kata Mahmudi dalam webinar daring di Jakarta, Selasa (28/9).

60 persen pabrik gula di Indonesia merupakan milik PTPN. Karena itu, penting bagi PTPN untuk meningkatkan kemitraan bersama petani yang disertai dengan kenaikan SHU setiap tahunnya.

Mahmudi menjelaskan, kondisi saat ini total area perkebunan tebu PTPN hanya 150 ribu hektare (ha) dengan produktivitas tebu 67 ha dan rendemen tujuh persen. Dari situ diperoleh produksi gula sekitar 4,67 ton per ha atau total sekitar 702 ribu ton. Dengan kondisi tersebut, rata-rata SHU petani hanya Rp 3,7 juta per ha. "Kita harus wujudkan kesejahteraan petani. Cita-cita kita SHU harus naik menjadi 21,2 juta per ha," kata Mahmudi.

Peningkatan SHU tersebut ditargetkan bisa tercapai pada 2024, di mana PTPN dapat menjalin kerja sama strategis dengan petani. Menurut Mahmudi, hal itu dapat dicapai jika lahan perkebunan tebu bisa mencapai 248 ribu ha dengan produktivitas 84 ton per ha dan rendemen 8,6 persen.

Dari komposisi tersebut, produksi gula bisa ditingkatkan menjadi 7,22 ton per ha atau 1,8 juta ton secara total. "Kita sudah memulai langkah-langkah menuju ke sana, salah satunya dengan membentuk Sugar Company,” kata Mahmudi.

Sugar Company baru dibentuk pada 17 Agustus 2021 lalu dan menjadi entitas tunggal dengan menggabungkan 35 pabrik yang meliputi tujuh anak usaha holding PTPN III.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Syahrul Yasin Limpo (syasinlimpo)

Mahmudi menjelaskan, PTPN juga harus melakukan penataan komposisi penggunaan varietas unggul. Selain itu, PTPN juga harus mengoptimalisasi masa tanam dengan kemudahan fasilitas dan pinjaman pendanaan serta penggunaan aplikasi digital dalam mengatur pemupukan tepat waktu dan dosis.

Upaya lain dapat dilakukan dengan optimalisasi manajemen tebang angkut melalui mekanisasi panen tebu, peningkatan kualitas mutu tebangan, percepatan bongkar ratoon, hingga pembenahan manajemen pengairan.

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta pemerintah lebih fokus pada upaya intensifikasi daripada langkah ekstensifikasi yang mengandalkan perluasan lahan. Pasalnya, gairah petani untuk memperluas area penanaman akan timbul jika produktivtas tebu dengan benih unggul bisa dicapai.

Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikun mengatakan, yang paling dibutuhkan saat ini, yakni peningkatan kualitas dan produksi tebu per ha. Kemudian diikuti dengan peningkatan rendemen di pabrik gula sehingga produksi gula yang diperoleh bisa lebih besar sekaligus lebih berkualitas.

Soemitro menginginkan agar produktivitas tebu bisa dinaikkan menjadi 100 ton per ha. Adapun rendemen bisa meningkat menjadi 10 persen sehingga produksi gula bisa naik menjadi 10 ton per ha.

"Dengan luas tanam saat ini yang seluas 418 ribu ha, kita bisa memperoleh produksi gula 4,18 juta ton. Kalau ini bisa dicapai, biaya pokok produksi gula saya yakin bisa turun jadi Rp 7.600 per kg," kata Soemitro.

Tingginya biaya produksi gula nasional menjadikan harga gula di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia. Diperlukan peningkatan efisiensi produksi gula dan peningkatan produktivitas untuk dapat menekan harga gula tanpa mengurangi pendapatan petani tebu.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin, memaparkan, berdasarkan data International Trade Center tahun 2020, indeks biaya produksi gula di Indonesia mencapai 192 poin. Sementara Brasil, yang juga menjadi negara produsen gula, hanya mencatat indeks dengan 100 poin.

"Kita sudah ditengarai indeks biaya produksi yang paling mahal, kita juga menjadi importir gula terbesar di dunia. Tahun lalu impor kita tercatat ada 4,1 juta ton, melebihi Cina dan AS," kata Bustanul.

Bustanul menilai, salah satu terobosan yang harus segera dilakukan dengan berinvestasi pada penelitian dan pengembangan pabrik gula. Meliputi perbaikan sistem perbenihan dan pembibitan, bongkar ratoon atau melakukan peremajaan tanaman (tanam ulang), serta penyuluhan petani tebu yang lebih tersistematis.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat