Petugas medis mengecek alat kesehatan usai peluncuran Rumah Sakit Lapangan Dompet Dhuafa di RSUD Cipayung, Jakarta, Kamis (2/8/2021). | Prayogi/Republika.

Opini

Rumah Sakit pada Era dan Pascapandemi

Pengalaman tangani pasien Covid-19 semasa pandemi juga memberi pelajaran bagi rumah sakit.

TJANDRA YOGA ADITAMA, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI

Pandemi Covid-19, selain memberi dampak nyata pada angka kesakitan dan kematian, juga berdampak pada sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit (RS) secara umum.

Di satu sisi, kontak memang harus dibatasi untuk mengurangi kemungkinan penularan Covid-19, di sisi lain pelayanan kesehatan untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan non-Covid-19 juga harus tetap berjalan baik.

Artinya, harus dilakukan koordinasi dan dicari cara baru agar pelayanan kesehatan dapat tetap diberikan walaupun kunjungan langsung ke fasilitas pelayanan kesehatan dapat dikurangi, masyarakat harus tetap aman.

Masalah kesehatan dapat tertangani dengan baik dan fasilitas pelayanan kesehatan juga tidak kewalahan dengan kasus yang berlebihan.

 
Dalam hal ini, kembali diingatkan, yang perlu ditangani bukan hanya kasus Covid-19, melainkan juga berbagai kasus penyakit lainnya, jangan sampai mereka telantar.
 
 

Pelayanan kesehatan

Tulisan di “Journal of American Medical Association (JAMA)” akhir Juli 2021 menyampaikan sembilan aspek bagaimana pelayanan rumah sakit dapat diberikan dengan baik pada era dan pascapandemi Covid-19 ini.

Pertama, RS harus siap setiap saat menghadapi kemungkinan kenaikan kasus. Kita bersyukur, kasus di negara kita sedang melandai, tetapi kita perlu terus waspada, apalagi negara tetangga yang tadinya kasusnya sudah terkendali, tapi pada hari-hari ini naik lagi.

Misalnya, Singapura yang sudah memvaksinasi lebih dari 80 persen penduduknya. Jadi, RS harus sudah punya rencana matang bagaimana mengatur bangsal dan tempat tidur kalau ada kenaikan kasus.

Dalam hal ini, kembali diingatkan, yang perlu ditangani bukan hanya kasus Covid-19, melainkan juga berbagai kasus penyakit lainnya, jangan sampai mereka telantar.

Kedua, RS membuat sistem kemungkinan penyediaan logistik secara cepat kalau kebutuhannya meningkat. Katakanlah, karena banyak pasien maka mendadak butuh oksigen jauh lebih banyak, demikian juga obat dan alat kesehatan lain. Untuk ini, RS perlu didukung ketersediaan dan kemudahan untuk mendapat alat yang dibutuhkan.

Ketiga, RS perlu membangun sistem yang meminimalkan jumlah kunjungan petugas ke kamar rawat pasien positif Covid-19 (juga kalau pada masa mendatang ada jenis penyakit baru lain yang juga amat menular). Namun, pada saat sama tetap dapat memonitor keadaan pasien secara amat ketat dan segera mengambil tindakan apabila diperlukan.

 
Semua lapisan masyarakat, baik ras maupun etnik apa pun, berhak mendapat pelayanan kesehatan memadai di RS.
 
 

Keempat, sejalan dengan hal ketiga, RS dapat terus mengaktifkan penggunaan teknologi komunikasi dan digital untuk menghubungkan pasien dan keluarganya, apalagi kalau keluarga tidak dapat menunggu di RS karena alasan menghindarkan penularan.

Kelima, baik untuk sekarang maupun sesudah pandemi, menjaga kebersihan dan kesehatan kualitas udara di RS. Kita tahu cukup banyak penyakit paru dan pernapasan, bukan hanya Covid-19 yang ditularkan melalui aerosol dan atau penularan secara “airborne”.

Keenam, sejalan dengan hal kelima, sesudah pandemi teratasi tetap perlu penggunaan masker lebih luas di lingkungan RS, bukan hanya di kamar operasi seperti yang biasa kita lakukan.

Ketujuh, sistem pencatatan dan pelaporan di RS lebih sistematis dan praktis. Kita tahu, sebagian besar RS sudah menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan elektronik, tetapi tetap perlu dilakukan dengan efisien agar tak membebani petugas lapangan secara berlebihan.

Kedelapan, manajemen RS dan masyarakat, memberi dukungan psikologis dan emosional kepada petugas kesehatan. Dalam perspektif ini, kita mengutuk tindakan tidak terpuji pada para tenaga kesehatan di Papua beberapa waktu lalu, dan mengimbau pemerintah melindungi tenaga kesehatan. 

Kesembilan, semua lapisan masyarakat, baik ras maupun etnik apa pun, berhak mendapat pelayanan kesehatan memadai di RS.

Arsitektur dan teknologi

Pengalaman dalam menangani pasien Covid-19 selama ini juga memberi pelajaran berharga tentang arsitektur bangunan RS yang lebih baik. Setidaknya ada lima hal yang kini banyak dibahas untuk perbaikan atau pembangunan rumah sakit pada masa depan.

Pertama, makin luasnya pengaturan tanpa sentuh “touch-free control” untuk kegiatan di RS, misalnya menghidupkan lampu, membuka pintu, mengatur suhu ruangan untuk menghindari kemungkinan penularan melalui permukaan benda yang disentuh itu.

 
Di atas segala kemajuan yang sudah dan akan terus berkembang maka ada hal amat penting yang harus selalu dipegang teguh, yakni kepentingan pasien harus selalu menjadi yang utama.
 
 

Kedua, diupayakan maksimal agar ventilasi dan pertukaran udara bersih terjaga baik. Ketiga, hindari penggunaan alat yang mungkin dapat menjadi tempat mikroorganisme penyebar penyakit, seperti gorden dan lain-lain.

Keempat, seperti dibahas di atas maka harus ada sistem agar pasien dapat tetap berkomunikasi dengan keluarga dan kerabatnya melalui video dan cara lain, misalnya “virtual reality headsets”.

Terakhir, RS masa depan perlu menyediakan ruang kerja dan ruang istirahat bagi petugas yang memerlukannya, yang tidak hanya cukup nyaman, tetapi juga harus aman dari kemungkinan tertular penyakit.

Ada hal lain yang juga perlu diperhatikan. Di antaranya, konstruksi bangunan harus didesain cukup fleksibel sehingga mudah dimodifikasi jika ada ruangan dan bangsal yang harus alih fungsi sementara, katakanlah kalau jumlah pasien mendadak tinggi sekali.

Perlu akselerasi integrasi sistem daring dan luring di kompleks RS, sesuai kebutuhan. Dapat dipertimbangkan pula pemisahan area penunjang, seperti laboratorium dan radiologi, dengan bangunan induk RS.

Selain itu, kemungkinan peningkatan perawatan pasien yang tidak dirawat inap di RS serta prosedur pembedahan yang sehari bisa pulang tanpa perlu rawat inap. Ke depan, makin sering dilangsungkan perawatan pasien di rumah oleh petugas RS.

Penggunaan teknologi digital pun menjadi amat penting pada masa datang. Bukan hanya berbentuk telemedisi untuk konsultasi antara pasien dan dokter/petugas kesehatan ataupun antarpetugas kesehatan, melainkan juga kedokteran robotik.

 
Lalu, secanggih apa pun teknologi maka hubungan luhur antara dokter dan pasien harus terjalin dan terpelihara baik.
 
 

Belum lagi ketergantungan dan pemanfaatan maksimal dari mahadata (big data), kecerdasan buatan, dan realitas berimbuh (augmented reality) di RS.

Sistem pencatatan dan pelaporan di RS juga akan berangsur sepenuhnya ke elektronik, mulai dari sistem perjanjian dan antrean, status pencatatan data pasien, hasil laboratorium dan radiologi, resep dokter, dan prosedur rutin lainnya.

Di atas segala kemajuan yang sudah dan akan terus berkembang maka ada hal amat penting yang harus selalu dipegang teguh, yakni kepentingan pasien harus selalu menjadi yang utama.

Pelayanan di RS pada dasarnya, dibentuk berdasarkan kemanusiaan untuk menolong dan menangani pasien dan mereka yang memerlukan bantuan kesehatan.

Lalu, secanggih apa pun teknologi maka hubungan luhur antara dokter dan pasien harus terjalin dan terpelihara baik. Ini tidak dapat tergantikan mesin. Pelayanan kesehatan primer harus terus diperkuat agar tak semua kasus penyakit harus ke RS.

Sistem pelayanan kesehatan di suatu negara haruslah menyeluruh, dari primer, sekunder, sampai RS tersier sebagai rujukan tertinggi, juga harus mencakup semua aspek mulai promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat