Barisan Laskar Hizbullah. Pada zaman pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah dibentuk. Ide awalnya dari usulan KH A Wahid Hasyim. | DOK NU

Tema Utama

Laskar Perjuangan dalam Masa Revolusi

Keputusan yang diambil oleh kesatuan Hizbullah itu untuk membantu TNI memperkuat barisan.

OLEH MUHYIDDIN

Sejak terbentuk pada 4 Desember 1944, Laskar Hizbullah menjadi tempat bagi para santri yang ingin mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya demi membela Tanah Air. Walaupun terbentuk di masa pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah berbuat tidak untuk kemenangan Dai Nippon dalam Perang Dunia II.

Jauh lebih luhur daripada itu, niat kaum pesantren ini semata-mata berjihad fii sabilillah. Seperti yang pernah disampaikan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, “hubbul wathan minal iman” cinta Tanah Air itu sebagian dari iman.

Dalam buku Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Zainul Milal Bizawie menjelaskan, Laskar Hizbullah dan juga Sabilillah menjadi salah satu bukti historis peran kaum santri dalam membela Indonesia. Laskar yang namanya berarti ‘para tentara Allah’ itu memiliki semangat keislaman dan kebangsaan yang tinggi. Sesudah Proklamasi RI, spirit itu kian menggelora. Mereka berjuang keras untuk mempertahankan kemerdekaan dari kuasa-kuasa yang ingin menjajah lagi Bumi Pertiwi.

Menurut ZA Maulani, seperti dikutip dalam buku Simpul Sejarah (2017), mulanya pemerintah Indonesia tidak menghendaki adanya badan kemiliteran dalam RI yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hal itu demi memunculkan kesan internasional bahwa Indonesia adalah negara yang cinta damai serta bukanlah bentukan negara fasis Jepang. Akan tetapi, perkembangan situasi menunjukkan, pertimbangan tersebut sukar untuk terus dipertahankan.

Sebab, Sekutu yang datang ke Tanah Air sesudah Jepang kalah Perang Dunia II justru terang-terangan mengangkut Netherland Indies Civil Administration (NICA). Lembaga itulah yang bersiap menegakkan kembali kolonialisme Belanda atas Indonesia. Di banyak daerah, NICA—yang kadang kala dilindungi tentara Inggris—membuat kerusuhan sehingga pecahlah bentrokan dengan para laskar rakyat Indonesia.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Pada 5 Oktober 1945, pembentukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) disetujui secara resmi.  Maulani mengatakan, adanya BKR saat itu belum bisa disebut menunjukkan niat pemerintah untuk mengadakan pasukan militer. Sebagai bukti, lanjut dia, dalam susunan kabinet yang diumumkan Sukarno pada September 1945 tidak ada portofolio menteri pertahanan.

BKR hanya menjadi badan keamanan atau kepolisian. Tugasnya antara lain untuk membantu Sekutu dalam mengumpulkan tawanan perang Jepang dan orang-orang Eropa bekas tawanan serta memelihara ketertiban umum.

BKR terdiri atas berbagai unsur perlawanan rakyat. Sebagian pimpinannya berasal dari Pembela Tanah Air (Peta), yang dibentuk pada zaman pendudukan Jepang. Ada pula unsur-unsur perwira KNIL, angkatan perang kolonial Hindia Belanda. Sebut saja, sejumlah bekas perwira KNIL, seperti Oerip Soemohardjo, AH Nasution, TB Simatupang, dan lain-lain. Bergabung dengan BKR, mereka tidak membawa anak buah.

photo
Patung gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman dipajang di halaman pintu masuk Benteng Vredeburg, Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Patung Panglima Besar Tidak Pernah Sakit ini karya pematung Yusman. Dipasang di pintu masuk Benteng Vredeburg dalam rangka memperingati serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Pada November 1945, diadakanlah konferensi pertama para komandan Tentara Keamanan Rakyat—nama baru untuk BKR. Dalam momen itu, Kolonel Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Ia berasal dari kalangan santri sekaligus mantan guru Muhammadiyah di Cilacap, Jawa Tengah. Maulani mengatakan, BKR hingga menjadi TNI pada masa revolusi umumnya dipimpin para panglima dan komandan dari Peta. Mereka berlatar belakang ulama dan santri.

Panglima Besar Sudirman, misalnya. Anak-anak buahnya selalu memanggilnya dengan sapaan respek sekaligus kesayangan: “Kajine” (Pak Haji). Ini merupakan satu penghormatan meskipun Pak Dirman sendiri belum pernah naik haji.

Banyak resimen BKR di Jawa yang dikomandoi tokoh-tokoh agama. Untuk Jawa Timur, ada KH Hasyim Asy’ari selaku komandan resimen BKR setempat. Adapun komandan batalionnya ialah KH Yusuf Hasyim. Di Jawa Tengah, ada tokoh Muhammadiyah Kasman Singodimedjo selaku komandan resimen. Di Jawa Barat, terdapat sang “Singa Bekasi”, KH Noer Ali.

Reorganisasi tentara

Laskar-laskar rakyat bertempur dengan mengorbankan jiwa dan raga untuk membela kedaulatan Tanah Air. Pertempuran paling sengit terjadi, antara lain, di Surabaya pada 10 November 1945. Palagan tersebut diikuti puluhan ribu pejuang Muslim. Heroisme mereka didorong pula oleh seruan Resolusi Jihad yang digaungkan KH Hasyim Asy’ari kira-kira sebulan sebelumnya.

Pada 1 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat diubah namanya oleh pemerintah RI menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Nomenklatur Kementerian Keamanan pun diubah menjadi Kementerian Pertahanan. Pada 26 Januari 1946, nama TKR diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang diakui sebagai satu-satunya organisasi militer RI.

Pada bulan berikutnya, Kementerian Pertahanan membentuk Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara (PBPOT). Tugasnya untuk menyusun skema yang berkaitan dengan hal-hal pertahanan, reorganisasi tentara, dan kedudukan laskar-laskar perjuangan. Adanya PBPOT ini direspons beragam, termasuk oleh kalangan Laskar Hizbullah.

photo
KH Abdul Wahid Hasyim. Pada masa pendudukan Jepang, putra pendiri Nahdlatul Ulama ini aktif di Masyumi. Atas usulannya, Jepang kemudian mengizinkan terbentuknya Laskar Hizbullah. - (DOK WIKIPEDIA)

Dalam internal laskar tersebut, sempat muncul penolakan terhadap upaya penggabungan atau reorganisasi tentara itu. Sikap ini antara lain ditunjukkan Laskar Hizbullah kesatuan Sunan Ampel yang dipimpin Mansur Solichy. Ia khawatir bahwa dengan penggabungan itu, Laskar Hizbullah nantinya akan diperlakukan seperti anak tiri.

Dinamika terus terjadi hingga pada 5 Mei 1947, ketika Presiden Sukarno mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan-badan dan laskar-laskar perjuangan. Semuanya itu hendak disatukan menjadi satu organisasi tentara nasional. Pada 3 Juni 1947, Bung Karno meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan yang ada. Hasilnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin Jenderal Sudirman.

Ketetapan itu juga menyatakan bahwa semua angkatan perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala instruksi yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan TNI. Setelah itu, sikap Hizbullah Sunan Ampel pun melunak. Kelompok ini akhirnya lebih memilih mengikuti langkah pemerintah dan pimpinan TNI. Ada berbagai pertimbangan. Di antaranya adalah soal keterbatasan persenjataan yang dimiliki.

Meleburkan diri

Sebagai tindak lanjut, pada 15 Juni 1947 seluruh jajaran pimpinan pusat Hizbullah mengadakan Konferensi Hizbullah se-Jawa dan Madura di Yogyakarta. Hasil konferensi didapatkan keputusan aklamasi bahwa Laskar Hizbullah bergabung ke dalam TNI. Akhirnya, kesatuan-kesatuan Hizbullah dalam TNI melebur ke dalam kesatuan setingkat brigade, resimen, batalion, dan seksi pasukan dalam organisasi tersebut.

Namun, berdasarkan keterangan KH Saifuddin Zuhri, seperti dinukil dari Berangkat dari Pesantren, perundingan tingkat tinggi antara pimpinan kelaskaran dengan pihak pemerintah dicapai satu keputusan. Yakni, tidak semua anggota kelaskaran dilebur dalam TNI. Pemerintah menetapkan bahwa mantan Laskar Hizbullah hanya mendapat satu batalyon dalam satu divisinya.

KH Wahib Wahab akhirnya menyerahkan Batalion Munasir menjadi TNI. Adapun divisi yang dipimpin KH Saifuddin Zuhri menyerahkan Batalyon Suroso menjadi TNI. Begitu pula dengan divisi-divisi Hizbullah di beberapa daerah.

Keputusan yang diambil oleh kesatuan Hizbullah itu untuk membantu TNI memperkuat barisan pertahanan. Mereka bertekad untuk menjaga kemerdekaan Indonesia tanpa harus bersikukuh mempertahankan eksistensi laskar.

Ketika Hizbullah dilebur ke dalam TNI, Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin diangkat sebagai sekretaris pada pucuk pimpinan TNI. Jabatan itu setingkat sekretaris jenderal pertahanan keamanan pada masa sekarang. Kiai Zainul Arifin sempat kecewa dan prihatin dengan banyaknya anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak lulus untuk masuk TNI.

Namun, bagi kiai dan santri, perjuangan untuk meraih kemerdekaan itu semata-mata hanya karena Allah. Memang, saat itu banyak kalangan mantan Laskar Hizbullah yang tidak diterima masuk TNI. Namun, mereka tetap menerimanya dengan ikhlas. Banyak di antaranya yang kembali ke pesantren untuk memberikan pendidikan agama kepada generasi muda.

Di sisi lain, sejarah mencatat, tidak semua anggota Laskar Hizbullah setuju dengan adanya peleburan ke dalam TNI. Adanya penolakan sebagian dari mereka disebabkan perbedaan ideologi dan garis perjuangan. Ada pula yang menolak karena ketidaksiapan untuk harus terikat dalam sistem keprajuritan.

Adanya instruksi pemerintah untuk diadakannya peleburan Laskar Hizbullah memang menuai polemik dalam sepanjang perjalanannya dan menjadikan kekuatan Laskar Hizbullah terpecah menjadi dua bagian, yaitu pro-pemerintah dan kontra-pemerintah.

 

photo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Pada Februari 1948, ia bersama para pengikutnya, antara lain elemen Laskar Hizbullah setempat, membentuk Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat. - (DOK WIKIPEDIA)

Secarik Kisah DI/TII

Dinamika terjadi pada Laskar Hizbullah pada masa revolusi Indonesia. Yang fenomenal ialah, adanya elemen dari kelompok tersebut yang kemudian bersetia kepada Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Tokoh ini menolak tunduk pada pemerintah RI.

Kisah ini bermula dari Perjanjian Renville, Januari 1948. Dalam hasil kesepakatan antara RI dan Belanda—keduanya dimediasi Amerika Serikat—itu, pemerintah Indonesia setuju untuk meninggalkan Jawa Barat. Oleh karena itu, TNI—khususnya Divisi Siliwangi—dan badan-badan perjuangan lainnya harus melakukan hijrah ke Yogyakarta. Sekitar 35 ribu pasukan Divisi Siliwangi pergi meninggalkan Jawa Barat menuju ibu kota RI itu.

Memang, dari pihak laskar-laskar rakyat, banyak suara yang tidak setuju dengan perundingan sebagai cara pemerintah RI untuk menghadapi Belanda. Bagaimanapun, Kesepakatan Renville dipandang cukup ekstrem oleh SM Kartosoewirjo. Menurutnya, sejak saat itu Jawa Barat bukan lagi bagian dari RI.

Pada Februari 1948, Kartosoewirjo dan para pengikutnya—tidak hanya dari Hizbullah dan Sabilillah, tetapi juga Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)—bersepakat membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Di samping itu, mereka menuntut pemerintah Indonesia agar berlepas diri dari Perjanjian Renville. Apabila tidak mau, menurut mereka, lebih baik negara ini dibubarkan saja dan membentuk pemerintahan dengan corak baru, yakni Islam.

Belanda pada Desember 1948 melancarkan Agresi Militer II. Yogyakarta pun jatuh. Usai mengetahui peristiwa itu, Kartosoewirjo beranggapan bahwa kini wilayah Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan.

Keadaan itu menjadi alasannya untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI). TII menjadi benteng utamanya. Dalam perkembangannya DI/TII menyebar ke banyak daerah, termasuk Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan.

Pada 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI walaupun masih “setengah hati” karena menghendaki format negara federal—Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesudah itu dan bahkan pasca-kembalinya bentuk negara kesatuan melalui Mosi Integral Natsir, DI/TII masih saja menjadi persoalan bagi pemerintah Indonesia.

 
Setelah pemerintah RI menginstruksikan peleburan laskar-laskar rakyat ke dalam TNI, banyak anggota Hizbullah yang bergabung dengan militer nasional.
 
 

Barulah pada 1962, Kartosoewirjo ditangkap aparat TNI. Dengan persetujuan Presiden Sukarno, tokoh yang pernah menjadi kawan satu indekos Bung Karno di Surabaya itu dihukum mati.

Babak sejarah DI/TII Kartosoewirjo menunjukkan pula keragaman warna dalam tubuh Laskar Hizbullah. Setelah pemerintah RI menginstruksikan peleburan laskar-laskar rakyat ke dalam TNI, banyak anggota Hizbullah yang bergabung dengan militer nasional.

Tidak sedikit pula yang memilih untuk kembali menjadi sipil, terutama menekuni dunia pendidikan di pesantren-pesantren. Dan, ada yang menyusuri jalan reaktif, yakni memiliki penafsiran sendiri tentang ke mana arah Indonesia di masa depan walaupun itu berarti memberontak terhadap pemerintahan yang sah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat