Suasana belajar mengajar kelas 1 di SD Athahiriyah Yapis Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (27/7). Sekolah-sekolah di pedalaman Papua kerap memiliki sedikit murid karena kondisi alam yang menantang. Aturan soal dana BOS dinilai diskrimina | Raisan Al Farisi/Republika

Kabar Utama

Aturan Dana BOS Dinilai Diskriminatif

Aturan soal dana BOS dinilai diskriminatif dan dapat merugikan sekolah-sekolah swasta.

JAKARTA — Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali mencuatkan polemik. Kali ini soal aturan dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Beberapa organisasi pendidikan menolak keras aturan Kemendikbudristek yang mensyaratkan sekolah penerima dana BOS reguler harus memiliki minimal 60 murid dalam tiga tahun terakhir. Aturan tersebut dinilai diskriminatif dan dapat merugikan sekolah-sekolah swasta. 

Persyaratan itu tertuang dalam Pasal 3 Ayat 2 huruf d Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler yang diundangkan pada 16 Februari 2021. 

Ketentuan tersebut lalu disebarkan melalui Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler. Penolakan salah satunya disuarakan Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang terdiri atas Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP Ma'arif PBNU, PB PGRI, Taman Siswa, Majelis Pendidikan Kristen, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik. 

Perwakilan dari organisasi tersebut turut hadir dalam pembacaan pernyataan sikap. Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno mengatakan, kebijakan Kemendikbudristek bertolak belakang dengan amanah Pembukaan UUD 1945.

"Ini mendiskriminasi hak pendidikan anak-anak Indonesia dan melanggar hak konstitusi," kata Kasiyarno, Jumat (3/9).

photo
Suasana belajar mengajar kelas 1 di SD Athahiriyah Yapis Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (27/7).  Sekolah-sekolah di pedalaman Papua kerap memiliki sedikit murid karena kondisi alam yang menantang. - (Raisan Al Farisi/Republika )

Karena itu, kata dia, aliansi mendesak Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk menghapus ketentuan tersebut, khususnya Pasal 3 Ayat 2 huruf d. Aliansi turut meminta pemerintah mempertegas kebijakan nasional yang berlandaskan filosofi kebudayaan Indonesia dan menjauhkan praktik diskriminasi.

Kasiyarno mengatakan, sampai saat ini masih ada begitu banyak sekolah swasta yang peserta didiknya kurang dari 60 orang. Jika Permendikbud 6/2021 dilanjutkan, bantuan dana untuk sekolah-sekolah yang ada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) akan terhenti. Jika demikian, kata dia, tidak mencerminkan keadilan kepada mereka yang juga memiliki hak. 

"Apalagi, selama pandemi ini kita sudah sangat 'sakit', pasti kita akan semakin 'sakit' lagi. Kami mengimbau pemerintah menghapus aturan tersebut untuk dikembalikan ke ketentuan yang sudah ada selama ini," ujar Kasiyarno.

Pemerhati pendidikan yang juga mantan anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Doni Koesoema A, mengatakan, syarat penerima dana BOS reguler dengan ketentuan minimal memiliki 60 murid dapat merugikan sekolah swasta. Jangankan di daerah 3T, kata dia, sekolah swasta di tengah kota saja tak sedikit yang tidak bisa mendapatkan dana BOS reguler dengan syarat tersebut. 

photo
Sejumlah siswa kelas III mengikuti proses belajar mengajar satu ruang menggunakan pembatas papan dengan siswa kelas V (kiri) karena ruang kelas mereka masih dalam proses pembangunan di SDN 02 Tejoasri, Kecamatan Laren, Lamongan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. SDN setempat saat ini kekurangan murid dan hanya memilki sebanyak 42 siswa. - (ANTARAFOTO)

"Di kota-kota besar pun siswa yang jumlahnya di bawah 60 itu ada banyak," kata Doni.

Kondisi tersebut sering kali terjadi bukan karena kesalahan sekolah swasta maupun kesalahan manajemen, melainkan karena pemerintah lebih banyak membangun sekolah negeri yang ada di daerah, terutama untuk tingkat pendidikan dasar.

"Seharusnya pemerintah memperhatikan peranan sekolah-sekolah swasta yang sudah sejak lama berkarya di tempat-tempat itu jauh sebelum Indonesia ini merdeka," ujar pria yang mendampingi beberapa yayasan dari sekolah Katolik itu.

Dia mengambil contoh kasus di Sleman, Yogyakarta. Di sana ada sekolah yang tidak bisa mendapatkan dana BOS. Padahal, sekolah itu menerima siswa yang tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena keterbatasan kuota. Sekolah swasta itu memberikan akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tak mampu yang tak dapat masuk ke sekolah negeri.

Doni juga menyebut peraturan itu sangat diskriminatif. Sebab, ada perlakuan berbeda untuk sekolah negeri. Sekolah negeri yang memiliki peserta didik di bawah 60 orang dalam tiga tahun terakhir masih bisa mendapat dana BOS, asalkan mendapat rekomendasi dari kepala dinas pendidikan setempat. 

"Ini seperti mengatakan bahwa sekolah-sekolah swasta itu tidak didukung oleh negara," ujar dia.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, kekhawatiran mengenai anak yang kehilangan kesempatan belajar atau learning loss dapat benar-benar terjadi. Kekhawatiran itu bisa terjadi apabila ada sekolah yang membutuhkan dukungan dana BOS tak lagi mendapatkannya karena terhalang persyaratan. "Kalau sampai mereka tidak memperoleh akses dukungan dana, yang diceritakan mengenai learning loss, loss generation, itu benar-benar terjadi," kata Hanifah. 

photo
Seorang guru mengajar dua siswa kelas satu di Sekolah Dasar Negeri 1 Kepoh, Sambi, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (18/7/2019). Sekolah dasar tersebut kini hanya memiliki total 21 siswa kelas satu hingga kelas enam dan kegiatan belajar mengajar di sekolahan tetap berjalan. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho. - (ANTARA FOTO)

Dia menjelaskan, anggota PGRI berada di seluruh kota di Indonesia. Ada yang menjadi bagian dari sekolah swasta yang menampung anak-anak yang tak dapat masuk ke sekolah negeri. Mereka mendampingi siswa dari kelompok yang kurang mampu agar mendapatkan akses pendidikan.

"Mereka makin termarginalisasi karena peran negara tidak hadir untuk memberikan dukungan kepada mereka memperoleh hak pendidikan," kata dia.

Bukan aturan baru 

Kemendikbudristek menyatakan aturan tentang ketentuan minimal jumlah peserta didik bukan hal baru. Sejak 2019, Kemendikbudristek mengatur sekolah yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki jumlah murid kurang dari 60 orang untuk tidak lagi menerima dana BOS reguler.

Salah satunya terdapat pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler pada Lampiran Bab III, huruf A, angka 2, huruf k. Peraturan tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit.

"Karena jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orang tua menganggap kualitas layanan dari sekolah tersebut tidak sesuai harapan," ujar Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto melalui pesan singkat kepada Republika, kemarin. 

Menurut Anang, kondisi itu dapat membuat inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, termasuk dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan. Dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan secara mutu akan dapat lebih ditingkatkan.

"Jika BOS terus diberikan kepada sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas," kata dia.

Anang mengatakan, bagi sekolah yang dapat membuktikan rendahnya jumlah peserta didik bukan karena mutu tapi karena hal lain, seperti kondisi daerah, pemerintah daerah setempat dapat segera mengajukan pengecualian kepada Kemendikbudristek.

Dia menegaskan, peraturan tersebut belum berlaku pada tahun ini. Semua sekolah, termasuk sekolah dengan jumlah peserta didik di bawah 60 orang, masih menerima BOS. Sebab, aturan ini mulai ada sejak 2019 dan semua daerah diberikan kesempatan tiga tahun untuk melakukan penataan. 

"Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan di atas untuk 2022 dan senantiasa selalu menerima masukan dari berbagai pihak," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat