Pelanggan membayar pesanannya melalui kode Quick Response Indonesia Standard (QRIS) di salah satu kedai kopi, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (14/8/2021). | ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Opini

Menuju Digital Banking Syariah

Mendorong lahirnya bank digital syariah bisa mendorong profitabilitas perbankan syariah.

SAFRI HALIDING, Pengurus DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Merespons perkembangan ekosistem industri digital pada sektor perbankan yang semakin maju serta tingginya kebutuhan masyarakat pada layanan perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan POJK No 12/POJK.03/2021 mengenai Bank Umum.

POJK ini mengatur penguatan kelembagaan perbankan terkait persyaratan pendirian bank baru dan aspek operasional meliputi penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank, jaringan kantor, pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital ataupun pendirian bank digital, sampai dengan pengakhiran usaha.

Pembahasan dalam POJK No 12/POJK.13/2021 memperjelas definisi bank digital, yaitu bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha, terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas.

 
Dalam operasionalnya, bank digital bisa dari bank baru atau bank yang bertransformasi dari bank umum (existing) menjadi bank digital dengan modal disetor minimal Rp 10 triliun.
 
 

POJK ini membolehkan bank digital beroperasi hanya satu kantor fisik sebagai kantor pusat. Berikutnya, bank digital boleh beroperasi tanpa kantor fisik atau menggunakan kantor fisik yang terbatas.

Dalam operasionalnya, bank digital bisa dari bank baru atau bank yang bertransformasi dari bank umum (existing) menjadi bank digital dengan modal disetor minimal Rp 10 triliun.

Agar tak ada persepsi berbeda antara bank umum dan bank digital, OJK menetapkan enam persyaratan bagi bank agar disebut bank digital. Pertama, memiliki model bisnis menggunakan teknologi inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah.

Kedua, memiliki kemampuan mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan. Ketiga, memiliki manajemen risiko memadai.

Keempat, memenuhi aspek tata kelola, termasuk pemenuhan direksi yang berkompeten di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain, sesuai ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.

Kelima, menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Dan terakhir, memberikan kontribusi pada pengembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.

Bank digital syariah

Berdasarkan data OJK, inklusi keuangan syariah sampai 2020 baru 9,1 persen, tertinggal dari inklusi nasional yang menyentuh 76,10 persen. Artinya, dalam 100 juta penduduk hanya 9,1 juta, yang mendapatkan akses dan menggunakan keuangan syariah.

 
Berdasarkan data OJK, inklusi keuangan syariah sampai 2020 baru 9,1 persen, tertinggal dari inklusi nasional yang menyentuh 76,10 persen.
 
 

Pangsa keuangan syariah masih rendah dengan proporsi total aset 9,9 persen. Data OJK mencatat, aset perbankan syariah tumbuh lebih kurang 14,2 persen, dengan total aset pada 2019 menunjukkan Rp 500 triliun tumbuh menjadi Rp 571 triliun 2020.

Ini masih tertinggal jauh dari aset perbankan konvensional, yang mencapai Rp 9.117,91 triliun per 2020.

Per Januari 2021, terdapat 34 pelaku usaha perbankan syariah di Indonesia. Terdiri atas 14 bank umum syariah (BUS) dan 20 unit usaha syariah (UUS) serta 163 BPRS. Dari 20 UUS itu, tujuh di antaranya dari bank umum swasta nasional, 13 dari bank daerah.

Mendorong lahirnya bank digital syariah bisa mendorong profitabilitas perbankan syariah melalui efisiensi dan mempercepat inklusi keuangan atau akses perbankan syariah di Indonesia di berbagai wilayah.

Langkah persiapan

Mendorong percepatan industri perbankan syariah melalui bank digital syariah memang tidak mudah dan jalannya panjang. Namun, persiapan sudah harus  dilakukan. Pertama, mempersiapkan transformasi SDM. Misalnya, programmer dan analis data.

 
Pengguna internet di Indonesia saat ini ada 202,6 juta atau 73 persen dari total penduduk. Jika mereka didorong menggunakan layanan bank digital syariah, terjadi akselerasi nasabah dan inklusi keuangan syariah yang sangat signifikan.
 
 

Kedua, meningkatkan sinergi membangun ekosistem digital perbankan syariah. Kemampuan analisis bank digital sangat efisien dalam memutuskan kebijakan pembiayaan kepada nasabah karena menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan machine learning.

Maka itu, bank digital tak butuh banyak kredit analis. Misalnya, nasabah pesan barang secara daring di level Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Bank digital mengetahui berapa pendapatan nasabah, akhirnya diketahui preferensi kemampuan nasabah secara akumulatif.

Ketiga, meningkatkan tata kelola dan kontrol internal. Tata kelola memadai penting sehingga praktik penyelagunaan dapat dihindari, seperti fraud dan pencurian data pribadi. Pengendalian internal yang kuat dapat mengurangi potensi fraud dan moral hazard.

Terakhir, meningkatkan dukungan infrastruktur jaringan internet dari pemerintah. Saat ini masih ada 12.500 di desa/kelurahan yang belum ada layanan internet mobile.

Pengguna internet di Indonesia saat ini ada 202,6 juta atau 73 persen dari total penduduk. Jika mereka didorong menggunakan layanan bank digital syariah, terjadi akselerasi nasabah dan inklusi keuangan syariah yang sangat signifikan.

Tren industri perbankan yang kian menuju digitalisasi harus direspons baik, agar perbankan syariah tidak ketinggalan perkembangan dan mampu bertahan dalam persaingan yang semakin kompetitif dan kompleks. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat