Pasukan Taliban berjaga-jaga di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Selasa (31/8/2021). Eksodusnya ratusan ribu kaum cerdik pandai membuat Taliban kehilangan sumber daya mumpuni untuk membangun Afghanistan. | AP/Khwaja Tawfiq Sediqi

Opini

Tantangan Adang Taliban

Eksodusnya ratusan ribu kaum cerdik pandai membuat Taliban kehilangan sumber daya mumpuni untuk membangun Afghanistan.

SMITH ALHADAR, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Kendati telah menduduki ibu kota, Kabul, sejak 15 Agustus, hingga tulisan ini ditulis (30 Agustus), Taliban belum juga membentuk kabinet, bahkan sekadar mengumumkan model negara.

Memang, Taliban menyatakan model negara dan pemerintahannya diumumkan pascakeluarnya AS dari Afghanistan pada 31 Agustus.

Namun, tak dapat dimungkiri, Taliban sedang bernegosiasi dengan seluruh stakeholder Afghanistan terkait model negara dan pemerintahan inklusif yang dijanjikannya. Hasil negosiasi sangat vital bagi kelangsungan hidup rezim yang akan dibentuk nanti.

Tantangan pertama Taliban, mengakomodasi aspirasi pemerintahan Afghanistan sebelumnya, berbagai etnis, dan kelompok perempuan.

Sampai sekarang, Taliban masih pada janjinya memberi amnesti bagi mereka yang bekerja pada pemerintahan sebelumnya dan AS serta NATO, membentuk pemerintahan inklusif, kebebasan pers, dan memenuhi hak perempuan atas akses pendidikan dan pekerjaan.

 

 
Tantangan pertama Taliban, mengakomodasi aspirasi pemerintahan Afghanistan sebelumnya, berbagai etnis, dan kelompok perempuan.
 
 

Namun, semua itu harus sesuai syariah. Taliban penganut Islam ultrakonservatif. Pada rezim Taliban jilid pertama (1996-2001), perempuan dilarang bersekolah dan bekerja di luar rumah. Televisi dan musik dilarang.

Lelaki harus mengenakan serban tradisional dan memelihara jenggot. Taliban mengaku masih tetap berpegang pada ideologi lamanya, tapi kebijakan di atas tak akan diterapkan lagi. Biar begitu, ketidakpercayaan pada Taliban masih tinggi.

Itu terlihat dari eksodus warga Afghanistan, baik melalui darat ke negara tetangga maupun udara. Itu juga terlihat dari alotnya negosiasi Taliban dengan stakeholder Afghanistan. Kalau kesepakatan tak tercapai, Afghanistan mengalami destabilisasi.

Kedua, soal keamanan. Pada 26 Agustus, ISIS menyerang kerumunan orang di luar bandara Kabul. Lalu, 29 Agustus, Tahrike-Taliban Pakistan (TTP), yang bermarkas di perbatasan Afghanistan melakukan serangan lintas batas ke Pakistan dan menewaskan tiga tentara Pakistan.

Bulan lalu, TTP menyerang bus yang mengangkut pekerja Cina di Pakistan lalu menewaskan 30 orang.

TTP berideologi sama dengan Taliban. Karena sering melakukan teror pada target di Pakistan, Islamabad menetapkan mereka organisasi teroris. Taliban berjanji tak menjadikan Afghanistan surga bagi teroris, tapi peristiwa di atas mencoreng citra Taliban.

Harus diakui, Taliban sedang fokus mengatasi masalah politik. Sementara, NATO mendesak Taliban agar membolehkan arus orang Afghan yang hendak ke luar negeri setelah tenggat 31 Agustus.

 

 
Harus diakui, Taliban sedang fokus mengatasi masalah politik. Sementara, NATO mendesak Taliban agar membolehkan arus orang Afghan yang hendak ke luar negeri setelah tenggat 31 Agustus.
 
 

Prancis, demi menekan Taliban, bahkan mengajukan draf resolusi ke DK PBB, menuntut Taliban membentuk zona aman di Kabul guna menampung calon pengungsi yang hendak keluar Afghanistan.

Di luar itu, kelompok yang dulu dikenal sebagai Aliansi Utara, yaitu etnis Tajik dan Uzbek, menuntut Taliban bernegosiasi dengan mereka tentang pemerintahan inklusif. Kalau tidak, mereka akan mengangkat senjata.

Mengingat personel Taliban terbatas, yaitu sekitar 40 ribu-50 ribu personel, menjaga keamanan dan ketertiban di Afghanistan yang luas dan bergelora, tidaklah mudah.

Ketiga, isu ekonomi. Sebelum pandemi Covid-19, sekitar 52 persen warga hidup di bawah garis kemiskinan, setelah pandemi melonjak jadi 77 persen. AS membekukan dana Afghanistan, IMF menutup akses bagi Taliban. Maka itu, sulit bagi Taliban membangun Afghanistan.

Memang Cina dan Rusia memberi isyarat positif pada Taliban demi membujuk kelompok itu mengekang kelompok Islam dari negara tetangga (Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan) dan kelompok Muslim Uighur dari Xinjiang, Cina, yang beroperasi dari Afghanistan.

Selain itu, Cina melirik tambang mineral di Afghanistan, terutama lithium. Mewujudkan proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan di sana juga menjadi pertimbangan Cina.

 
Namun, Cina dan Rusia masih belum mengakui Taliban sampai rezim itu membuktikan komitmennya memberantas kelompok yang dicap teroris itu.
 
 

Namun, Cina dan Rusia masih belum mengakui Taliban sampai rezim itu membuktikan komitmennya memberantas kelompok- kelompok yang dicap teroris itu.

Keempat, eksodusnya ratusan ribu kaum cerdik pandai ke luar negeri membuat Taliban kehilangan sumber daya mumpuni untuk membangun Afghanistan. Upaya Taliban menghentikan langkah mereka sejauh ini tidak berhasil karena tekanan dari AS dan NATO.

Laporan Amnesty International dan Komisi Tinggi HAM PBB terkait pelanggaran HAM, pembatasan mobilitas perempuan, serangan terhadap jurnalis, ikut andil mendorong eksodus warga Afghanistan dan menghambat pengakuan internasional atas rezim Taliban. Alhasil, Taliban menghadapi tantangan tak ringan. 

Namun, komunitas internasional akan memikul getahnya bila Afghanistan kembali dalam kekacauan. Selain ancaman terorisme dan krisis pengungsi di Eropa seperti pada 2015 akibat membanjirnya pengungsi Suriah ke sana, juga mengalirnya heroin ke Eropa dan AS.

Afghanistan produsen heroin (dari tanaman poppy) terbesar di dunia. Jadi, dunia bukan saja tak dapat meninggalkan Afghanistan, melainkan malah harus bekerja sama dan membantu kelompok itu menciptakan perdamaian dan ketertiban regional serta dunia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat