Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar berbicara dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/6/2021). | ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Tajuk

Lili, Firli, dan Moralitas ‘The Avenger

KPK harus kembali fokus memberantas korupsi kelas kakap yang makin menggurita.

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar divonis bersalah oleh Dewan Pengawas (dewas) KPK, kemarin. Menurut Dewas KPK, Lili terbukti melakukan pelanggaran etik berat.

Ada dua pelanggaran etik berat yang dilakukan Lili dan terbukti, yakni pertama menyalahgunakan pengaruhnya sebagai pegawai KPK untuk kepentingan pribadi, dan kedua, berhubungan dengan seseorang yang sedang diperiksa perkaranya di KPK.

Kedua pelanggaran Lili ini berhubungan dengan nama M Syahrial selaku bupati Tanjungbalai. Dalam jumpa pers kemarin, Dewas KPK menjelaskan: Lili bertemu M Syahrial di atas pesawat dari Kualanamu Sumatra Utara menuju Jakarta medio Februari-Maret 2020.

Kepada Syahrial, Lili mengatakan, saudaranya pernah menjabat sebagai plt direktur PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai. Namun, setelah lepas jabatan itu, Ruri Prihatini Lubis, saudara Lili, belum dibayarkan uang jasa pengabdiannya.

M Syahrial berjanji untuk menyelesaikan urusan ini. Ia mengontak PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai, dan mengontak Lili kembali. Kepada Lili, M Syahrial menyatakan, persoalan uang jasa itu segera dibayarkan. Lili lantas meminta saudaranya menyurati PDAM Tirta Kualo dan membuat tembusannya ke KPK. Atas peristiwa ini, Dewas KPK menegaskan, Lili terbukti menggunakan pengaruhnya di KPK.

Padahal, Syahrial adalah terperiksa dalam kasus korupsi. KPK pernah memeriksanya terkait dugaan korupsi Rp 200 juta. Lili sempat membaca berkas Syahrial itu, lalu meneleponnya untuk mengonfirmasi perkara tersebut. Syahrial, menurut Dewas KPK, sempat meminta Lili untuk membantunya.

 
Lembaga ‘super’ ini butuh secepatnya diselamatkan agar bisa kembali fokus memberantas korupsi- korupsi kelas kakap, yang makin menggurita.
 
 

Dengan diputusnya Lili melakukan pelanggaran etik berat, sudah dua Komisioner KPK terkini yang terbukti melakukan pelanggaran etika. Pertama adalah Ketua KPK Firli Bahuri, dalam kasus menunjukkan kemewahan.

Firli ketahuan menggunakan helikopter meskipun menyewa dengan uang pribadi, saat berziarah ke makam orang tuanya. Kejadiannya pada 20 September 2020.

Dewas KPK memutus Firli melakukan pelanggaran etik ringan, karena tidak mengindahkan kewajiban menyadari sepenuhnya sikap dan tindakan selalu melekat karena sebagai insan komisi menunjukkan keteladanan. Dewas KPK menjatuhkan hukuman teguran tertulis 2.

Sementara kepada Lili, atas pelanggaran beratnya, Dewas KPK menjatuhkan hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan. Besaran yang dipotong adalah Rp 1,8 juta.

Kita prihatin melihat, bagaimana Komisioner KPK dengan mudah melanggar kode etik lembaganya. Ini sekian kalinya dalam periode kepemimpinan komisioner ini kasus menerpa KPK. Sebelumnya, kasus pegawai KPK yang tak lolos uji tes wawasan kebangsaan juga menyeruak.

Lalu, soal revisi UU Pemberantasan Korupsi di DPR. Kasus demi kasus ini menggerogoti kewibawaan dan keangkeran institusi KPK sebagai penegak hukum. Pelanggaran kode etik berat pastilah menjatuhkan citra KPK di muka kawula.

Sebelum Komisioner KPK yang memimpin ini dipilih, panitia seleksi Komisioner KPK pernah mengadakan serangkaian pertemuan dengan elemen masyarakat. Termasuk dengan pers. Pertemuan itu untuk menjaring aspirasi, model Komisioner KPK yang macam apa yang dikehendaki publik. Koran ini sempat hadir di dalam pertemuan yang digelar di gedung Sekretariat Negara, di satu malam pada Ramadhan.

 
Apa yang dilakukan Lili dan Firli jelas bukan ‘avenger pemberantas korupsi di Indonesia’.
 
 

Salah satu anggota Pansel KPK pada waktu itu membuka pertemuan dengan menganalogikan, mereka ingin mencari sosok komisioner terbaik dari yang terbaik. Dengan berseloroh ia mengatakan, yang mereka lakukan adalah mencari ‘avenger-avenger' pemberantasan korupsi di Indonesia’, merujuk pada film Hollywood, yang mengisahkan tengah pahlawan super yang membela bumi.

Pansel lalu menyilakan peserta pertemuan, yaitu perwakilan pers untuk berbicara satu demi satu perihal kriteria Komisioner KPK. Saat koran ini mendapat giliran berbicara, koran ini menyampaikan dua hal.

Pertama, Komisioner KPK haruslah sosok yang sejuk dan bisa menjaga amanah. Bukan soal sekadar kemampuan teknis hukum, melainkan juga moral yang baik agar menjadi contoh bagi rakyat.

Kedua, Komisioner KPK haruslah orang yang bisa menjaga institusinya dari kontroversi, karena pada saat itu setiap era kepemimpinan di KPK pasti memunculkan kontroversi. Ini yang harus diredam, karena kontroversi amat mungkin mengganggu konsentrasi KPK memberantas korupsi.

Masing-masing dari kita bisa mengukur pada titik ini, apakah dua hal tersebut sudah tampak di KPK. Kita bisa menjawab: “Belum!” Apa yang dilakukan Lili dan Firli jelas bukan ‘avenger pemberantas korupsi di Indonesia’.

Lembaga ‘super’ ini butuh secepatnya diselamatkan agar bisa kembali fokus memberantas korupsi- korupsi kelas kakap, yang makin menggurita. Oleh siapa diselamatkan?

Jika tidak bisa atau tidak mau oleh mereka sendiri, dan apalagi pemerintah, publik punya kewajiban moral untuk menjaga KPK. Kita, saya, dan Anda.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat