Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Bukan di Negeri Ini

Satu per satu talenta perlahan menghilang di negeri kami.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Satu per satu talenta perlahan menghilang di negeri kami, ujar seorang sahabat yang tinggal di sebuah negeri yang sulit disebutkan namanya.

Awalnya, yang hilang adalah kemampuan para singa podium, pembicara publik, guru, dan tokoh masyarakat. Satu per satu, mereka yang memiliki suara lantang, secara aneh, nyaris mistis, mendadak bisu. Seolah ada makhluk tak terlihat melahap pita suara mereka. 

“Apakah mereka diserang penyakit?” Barangkali wabah baru? Menurut sahabat saya, uniknya tidak satu pun dokter hebat, ataupun pakar epidemi yang bisa menjelaskan fenomena yang terjadi.

“Mengibakan sekali,” tuturnya. “Kadang ketika bertemu, kami melihat mereka berusaha berkomunikasi. Tetapi nihil.” Saya membayangkan, mereka yang kehilangan suara mencoba menggerak-gerakkan bibir, mengeluarkan lidah, agar satu dua bunyi lahir. Kasihan.

 
Satu per satu, mereka yang memiliki suara lantang, secara aneh, nyaris mistis, mendadak bisu. Seolah ada makhluk tak terlihat melahap pita suara mereka. 
 
 

Sungguh sebuah musibah, batin saya. Untunglah bukan terjadi di negeri  ini. Tentu saja pemikiran ini hanya saya pendam sendiri. Awalnya, fenomena tersebut luput dari perhatian. Setelah begitu banyak tokoh publik terpenjara dalam diam, baru rakyat tercengang.

"Mereka tak dapat bicara lagi, selamanya!” Maka podium dan mimbar dilengserkan. Perhelatan di depan umum hanya berkisar  nyanyian, tari dan hiburan. "Kejadian ini seperti sesuatu yang kita nikmati di film-film Barat-- kamu aman selama tak bicara.” Pungkasnya.

Sebagai sesama seniman, sesekali kami masih bertukar sapa. Pertemuan pertama saya dan dia terjadi di salah satu program artist in residence. Jika saya bermain di ranah kepenulisan, teman yang satu ini pandai sekali menggambar.

Tepatnya membuat grafiti dan mural. Keterampilannya mengangkat bukan hanya nama pribadi melainkan wilayah gang sempit, jalan raya, kolong jembatan, dan lain-lain, di mana saja jejak kreativitasnya terpampang.

Saya ingat senyum bangga yang sulit  dia sembunyikan saat kami menemukan jejak foto para turis, yang datang ke negerinya dan berfoto dengan latar mural yang dibuatnya. Luar biasa!

Bertahun-tahun kemudian, kami kembali dipertemukan dalam suatu acara.  Saya terkejut melihat betapa usia menelannya. Wajahnya telah jauh menua, dan selama berjam-jam kami bercakap-cakap, tak sedikit pun ekspresi keriangan mewarnai suara atau parasnya.

 
Maka suara yang dulu bermuara di media utama, kini berpindah arus ke ranah sosial.
 
 

Bahkan, saat dia mengungkapkan rasa senang karena kami akhirnya kembali berjumpa. Keheranan saya terjawab saat dia mendekatkan bibir ke telinga saya dan dengan suara rendah berkata.  “Terjadi lagi…”

Saya tak langsung mengerti. Setengah berbisik, dia cepat-cepat menjelaskan tentang suara-suara yang pindah. Sejak fenomena aneh di negerinya, masyarakat yang khawatir kehilangan suara, kemudian melirik dunia tulis menulis, termasuk media sosial.

Berbondong-bondong anak negeri mulai menyuarakan sendiri apa yang mereka rasakan di media milik bersama, yang tidak dikendalikan siapa-siapa. Maka suara yang dulu bermuara di media utama, kini berpindah arus ke ranah sosial.

Kata-kata yang dulu berwujud suara, kini tersusun dalam narasi. Serupa seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini, pikir saya.

“Sampai kemudian hal itu terjadi lagi!” Bisiknya dengan sepasang mata dipenuhi kecemasan.

Fenomena aneh di negerinya berulang, lebih misterius dari sebelumnya. Satu per satu warga yang aktif menulis, baik teks maupun di media sosial menghilang, seolah tersedot dalam pusaran gaib.

“Sama sekali tak ada jejaknya.” Paparnya dengan suara tercekat.

Menurut dia, berbagai pihak sudah turun dan berusaha mencari, tapi tak satu pun warga yang hilang itu berhasil mereka temukan. “Sekarang,” tuturnya dengan suara pelan, “Tak sata orang pun di negeri kami, berani menulis, apa pun!”

 
Para penulis menghilang. Astaga! Sekali lagi, saya bersyukur dalam hati. Untunglah hal seburuk itu bukan terjadi di negeri ini.
NAMA TOKOH
 

Para penulis menghilang. Astaga! Sekali lagi, saya bersyukur dalam hati. Untunglah hal seburuk itu bukan terjadi di negeri ini. Bertahun-tahun berlalu, entah kesibukan, entah karena hal lain, tapi kami berhenti bertegur sapa.

Beberapa email yang sempat saya layangkan ataupun pesan di ruang percakapan tak menuai respons. Saya berprasangka baik. Pastilah aktivitas menggambarnya menyita waktu.

Barangkali kini, dia telah menjadi seniman negara, sebab gambar-gambar dan grafiti yang dibuatnya kian mendunia. Kreativitasnya selama ini memang dengan mudah ditemukan di berbagai merchandise.

Perlu beberapa waktu sampai saya menyadari, tak menemukan lagi gambar baru di media sosialnya. Sementara karya-karya lamanya pun menguap sempurna, bahkan sekadar jejak digitalnya.

Sampai hari ini saya masih mengingat senyum pahit di bibir, juga sepasang mata yang menyiratkan ketakutan, saat kami berpisah terakhir kali.

Kabar tentangnya, saya dapatkan dari seorang teman setanah air yang baru saja pulang dari negeri yang sulit dilafalkan namanya itu. “Sesuatu yang aneh terjadi,” kalimat pembukanya membuat saya bergidik.

“Para seniman mural dan perupa di sana menghilang, begitu tiba-tiba. Termasuk teman kita itu!”

Benarkah? Saya sulit memercayai. Terkenang percakapan kami sebelumnya. Perasaan berduka dan kehilangan mendera berkali-kali. Namun, di antara rasa syukur yang aneh dan terasa tak pantas, sesuatu berdengung di hati saya. Syukurlah bukan di negeri ini! 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat