Sejumlah pelajar mengantre untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19 di Islamic Center Surabaya, Jawa Timur, Kamis (12/8/2021). Kesuksesan pemimpin kharismatis tergantung bagaimana mereka berkomunikasi dengan pengikutnya di masa krisis. | ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

Opini

Memimpin dalam Krisis

Kesuksesan pemimpin kharismatis tergantung bagaimana mereka berkomunikasi dengan pengikutnya.

BADRI MUNIR SUKOCO, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga

Tidak ada pemimpin organisasi (negara, daerah, atau perusahaan) yang dipersiapkan untuk menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Krisis ini tes kepemimpinan bagi semua pemimpin dan pembelajaran bagi yang akan datang.

Dari krisis, lahir pemimpin kharismatis yang legendaris. Di dunia bisnis, kharisma Steve Jobs terlegitimasi dengan menyelamatkan Apple dari kebangkrutan di 1997 dan menjadikannya paling bernilai di dunia pada 9 Agustus 2011, dua bulan sebelum meninggal.

Abraham Lincoln menjadi salah satu presiden AS paling kharismatis dengan menghapuskan perbudakan yang menyulut perang sipil selama empat tahun. Tentu Bung Karno (bersama Bung Hatta) yang mempersatukan bangsa adalah pemimpin kharismatis.

Akankah pandemi Covid-19 ini melahirkan pemimpin-pemimpin kharismatis, baik di pemerintahan maupun bisnis?

Krisis dan retorika

Krisis merupakan ancaman dan situasi yang tidak dapat dipahami, di mana urgensi dan kejutan yang dihasilkannya dinamis serta mengganggu status quo. Ada krisis ekonomi, kesehatan,  politik, sosial, dan gabungan beragam krisis.

Dalam merespons krisis, pemimpin menggunakan retorika untuk berkomunikasi dengan beragam komponen masyarakat. Selain menyampaikan kondisi terkini dan yang akan dihadapi terkait krisis, juga agenda pemerintah dalam menanggulanginya. Terutama, mengajak dan menginspirasi pengikut (masyarakat) bersama-sama bekerja keluar dari krisis.

 
Dalam merespons krisis, pemimpin menggunakan retorika untuk berkomunikasi dengan beragam komponen masyarakat.
 
 

Kesuksesan pemimpin kharismatis tergantung bagaimana mereka berkomunikasi dengan pengikutnya, baik secara verbal dan nonverbal, yang secara keseluruhan menampilkan persepsi atas kharisma yang dimiliki. 

Menurut berbagai studi, elemen retorika mengacu pada sejarah dan tradisi, identitas kolektif, bernilainya para pengikut, fokus pada kesamaan pemimpin dengan pengikut, justifikasi nilai dan moral, kekonkretan, tindakan yang diambil, dan kesulitan yang dihadapi.

Kharisma pemimpin

Pemimpin kharismatis mampu memengaruhi pengikutnya dengan keunikan dan kemampuannya. Inilah yang menjadikan pengikutnya fanatik dan meninggalkan kepentingan pribadi guna menjalankan tugas publik. Timbal baliknya, kepuasan diri para pengikut.

Studi Davis dan Gardner (Leadership Quarterly, 2012) mengumpulkan pidato Presiden George W Bush (Presiden ke-43 AS) enam bulan sebelum dan enam bulan setelah krisis akibat serangan teroris 11 September 2001 dan badai Katrina (23-31 Agustus 2005).

Dua krisis ini saling melengkapi. Pertama disebabkan manusia yang mengancam legitimasi AS sebagai adidaya dan memudahkan “kita versus musuh bersama”. Kedua, disebabkan alam yang berdampak lokal dan menghadirkan perasaan lemah pada kekuatan alam.

Presiden Bush menggunakan retorika terbanyak berupa kesamaan diri dan kabinetnya dengan rakyat terdampak. Ini patut dimengerti karena pemimpin perlu membangun kepercayaan dengan pengikutnya demi mendapatkan dukungan atas kebijakannya.

 
Pemimpin perlu membangun kepercayaan dengan pengikutnya demi mendapatkan dukungan atas kebijakannya.
 
 

Kedua, justifikasi moral dan nilai yang dimiliki pemimpin bahwa kebijakan yang diambil sesuai nilai yang diyakini bersama sebagai bangsa. Ketiga, tindakan konkret yang ditunjukkan bersama jajarannya menguatkan pentingnya tindakan agar selamat dari krisis.

Elemen selanjutnya, bernilainya pengikut bagi bangsa, terkait waktu (masa lalu dan saat ini), kesulitan yang dihadapi bangsa, tindakan yang diambil, dan menariknya kolektivitas sebagai bangsa memiliki nilai terendah.

Temuan menarik lainnya, enam bulan setelah serangan teroris tingkat persetujuan masyarakat akan efektivitas Presiden Bush melonjak 70 persen. Ini karena retorika yang digunakan secara konsisten untuk mengeluarkan AS dari krisis keamanan nasional.

Empat tahun kemudian, ketika badai Katrina memorakporandakan 200 ribu km2 wilayah tenggara AS, tingkat persetujuan masyarakat akan efektivitas Presiden Bush tak berubah (sama dengan sebelum serangan teroris).

Ini menunjukkan, rakyat ‘mati rasa’ dengan retorika yang digunakan berulang, bahkan ketika kondisi sudah tidak dianggap krisis lagi oleh masyarakat.

Rekomendasi

Krisis akan melahirkan pemimpin kharismatis yang akan diingat pengikut dan keturunannya. Makin banyak pengikut yang tergerak untuk bersama-sama menyelesaikan krisis, terlegitimasilah sebagai pemimpin kharismatis.

Uraian di atas menunjukkan, penggunaan retorika haruslah tepat sesuai jenis krisis yang dihadapi. Pandemi Covid-19 tentu perlu retorika berbeda karena penyebab, siapa yang bertanggung jawab, level ancaman, dan cakupannya berbeda daripada krisis sebelumnya.

Dunia juga pernah mengalami pandemi flu Spanyol (1918-1920). Kita belum bisa memprediksi kapan pandemi ini berakhir atau kapan distatuskan sebagai endemi dengan segala konsekuensinya.

Konsistensi akan retorika yang digunakan dan timing terkait peningkatan atau pengurangan frekuensinya harus dikelola pemimpin. Hal ini untuk menghindari ‘mati rasa’ oleh pengikut dan dukungan senantiasa didapat untuk keluar dari krisis.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat