Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Menggugat Istilah Hingga ke Parlemen Belanda

Pada 1912 Sarekat Islam diajukan untuk mendapatkan badan hukum, tetapi ditolak oleh pemerintah kolonial.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Pada 1919 Sarekat Islam sudah memiliki 2,5 juta anggota. Van Niel bahkan menyebut, ada tiga juta anggota. Pada tahun yang sama Insulinde yang berubah nama menjadi National Indische Partij memiliki sekitar 40 ribu anggota. Keduanya memiliki wakil di Volksraad yang didirikan pada 1918.

Sarekat Islam semula bernama Sarekat Dagang Islam dan didirikan pada 16 Oktober 1905. Perubahan nama terjadi 1906. Pada 1912 Sarekat Islam diajukan untuk mendapatkan badan hukum, tetapi ditolak oleh pemerintah kolonial. Keanggotan Sarekat Islam mencakup wilayah Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Sementara, Insulinde didirikan pada 1907. Pada 1913 Insulinde menampung sebagian besar anggota Indische Partij --partai yang didirikan pada 25 Desember 1912. EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangaoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat, selaku pendiri Indische Partij yang ditangkap pemerintah kolonial, lalu dibuang.

Di Volksraad ini ada juga “penasihat rahasia” Sarekat Islam, Hinloopen Labberton dan Vreede. “Menurut sebagian besar pengamat Eropa, agama dalam Sarekat Islam tidak merupakan faktor yang penting,” tulis APE Korver.

Di buku Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil? itu, Korver mengutip catatan Snouck Hurgronje, DA Rinkes, AWF Idenburg bahwa Islam di Sarekat Islam hanyalah pengikat sosial politik yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa non-Indonesia.

 
Islam di Sarekat Islam hanyalah pengikat sosial politik yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa non-Indonesia.
 
 

HOS Tjokroaminoto mengakui hal itu pada 1915. Ia prihatin dengan kecilnya perasaan persatuan kebangsaan saat itu. Orang Madura tidak merasa satu dengan orang Jawa, orang Jawa tidak merasa satu dengan orang Sunda, orang Sunda tidak merasa satu dengan orang Palembang, begitu seterusnya. Islam dijadikan sebagai sarana persatuan kebangsaan.

“Islam menghimpun semua orang karena tidak seorang pun di Indonesia yang mau disebut bukan orang Islam, walaupun sedikit sekali pengetahuannya tentang agama ini,” tulis Korver.

Pada awal 1916, lanjut Korver, muncul tulisan di Oetoesan Hindia yang menyebut Islam sebagai semen pengikat puluhan juta orang Indonesia. Islam juga disebut sebagai alat untuk meningkatkan nasionalisme dan cinta Tanah Air.

Sarekat Islam lantas menjadi organisasi yang memiliki senjata ampuh ketika harus berhadapan dengan Belanda yang non-Islam. Maka, Sarekat Islam menjadi organisasi yang lebih banyak anggotanya dibandingkan Budi Utomo maupun Insulinde, misalnya.

 
Sarekat Islam menjadi organisasi yang lebih banyak anggotanya dibandingkan Budi Utomo maupun Insulinde.
 
 

Sementara, Budi Utomo hingga bubarnya pada 1930-an, anggotanya tak pernah melebihi 10 ribu orang, terbatas di kalangan bangsawan. Dengan 40 ribu anggota, Insulinde/NIP berisi mayoritas orang Indo-Eropa yang mendukung pergerakan nasionalisme orang-orang Indonesia dan bangsawan-bangsawan Jawa.

Itulah yang membuat ISDV mengalihkan kerja samanya dari Insulinde ke Sarekat Islam pada 1914 karena Sarekat Islam memiliki basis rakyat yang luas. Tapi kemudian, hal tersebut menjadi petaka bagi Sarekat Islam karena terjadi dobel keanggotaan dan akhirnya pecah.

photo
Eduard Douwes Dekker pernah mengusulkan nama Insulinde untuk Indonesia ke pemerintahan kolonial Belanda. - (DOK Wikipedia)

Lewat koran Oetoesan Hindia, Sarekat Islam mengambil peran menampung keluhan rakyat. Wartawan Oetoesan Hindia rajin turun ke bawah, sehingga orang merasa pengaduan mereka yang diabaikan oleh pejabat, diatasi oleh Sarekat Islam, seperti sedang menjalankan fungsi parlemen.

Sarekat Islam dianggap telah membangunkan rakyat. Pada Kongres 1919 Tjokroaminoto menegaskan, Sarekat Islam akan terus bersifat parlementer dan berjuang dengan cara memprotes ketidakadilan.

Pada April 1921, seperti ditulis Het Nieuws van den Dag dan De Locomotief, Volksraad mengadakan sidang membahas perubahan konstitusi. Parlemen Belanda juga membahas perubahan konstitusi pada November 1921.

 
Pada Kongres 1919 Tjokroaminoto menegaskan, Sarekat Islam akan terus bersifat parlementer dan berjuang dengan cara memprotes ketidakadilan.
 
 

Labberton, Vreede, dan Cramer mengajukan usulan perubahan konstitusi, mengganti istilah koloni dan nama Hindia Belanda. Dari Sarekat Islam ada Abdul Muis yang juga memprotes penggunaan istilah dan nama yang kurang tepat itu. Karenanya, ia mendukung usulan perubahan konstitusi itu.

Mereka mempersoalkan penamaan Hindia Belanda untuk wilayah yang oleh para ahli disebut Kepulauan Hindia. Mereka mengusulkan agar nama yang resmi ditulis di konstitusi itu diganti menjadi Indonesia.

Istilah koloni juga dipersoalkan, dianggap sebagai sebutan yang tidak menunjukkan kemandirian bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Hindia Belanda. Usulannya agar diganti dengan “bagian negara yang mandiri”.

Penggunaan istilah pribumi (inheemsche/inlandsche/inlander) pun dipersoalkan karena ini menempatkan bangsa Indonesia sebagai warga kelas tiga. Ini membuat orang Indonesia marah.

photo
Raden HOS Tjokroaminoto - (DOK Wikipedia)

Diusulkan agar diganti menjadi orang Indonesia (Indonesier). Namun, bagi orang Belanda, istilah pribumi bukan sebutan yang merendahkan. Sebutan itu hanya untuk membedakan orang Indonesia dengan orang Timur Asing dan orang Eropa. Di konstitusi, penduduk Hindia Belanda disebut ada tiga: Eropa, pribumi, dan Timur Asing (Europeanen, inlanders, en Vreemde Oosterlingen).

Di parlemen Belanda, seperti dilaporkan De Tijd dan De Standaard, yang mengusulkan perubahan istilah adalah mereka yang berdiri di kubu demokrat liberal dan komunis. Tapi, saat harus dilakukan pemungutan suara pada November 1921, usulan itu hanya didukung dua orang. Sementara, yang menolak ada 80 orang.

Willem van Ravesteyn yang komunis mengusulkan nama Indonesia. Ia menyebut nama ini diinginkan oleh orang-orang Indonesia. HP Marchant yang demokrat liberal mengusulkan penggantian kata koloni dengan istilah “bagian negara yang mandiri”. Alasan penolakannya, penyebutan koloni terkait dengan sejarah keberadaan Belanda di Kepuluan Hindia.

Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, baru mengubah nama menjadi Indonesie Vereniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1922. Ini, sepertinya yang memunculkan klaim dari orang-orang Komunis bahwa nama Indonesia berasal dari mereka, pada 1924-1925.

photo
Petugas Balai Konservasi DKI Jakarta membersihkan patung Soekarno-Hatta di Monumen Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (6/8). - (Republika/ Wihdan)

Moh Hatta terdorong untuk mengoreksi klaim mereka lewat tulisannya pada 1928. Ia merunut sejarah pemunculan nama Indonesia sejak 1847 yang bermula dari “Indunesians” untuk menyebut penduduk di Nusantara. Lalu, pada 1850 muncul “Indonesia” untuk menyebut wilayah dan “Indonesian” untuk menyebut penduduknya.

Ini pula, sepertinya, yang membuat banyak orang Belanda marah. Belanda mencantumkan nama Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) di konstitusi pada 1816. Nama ini menggantikan sebutan Oost-Indie (Hindia Timur) atau Nederlandsch-Oostindie (Hindia Timur-Belanda) yang digunakan sejak 1609. Mereka tak rela Hindia Belanda diganti Indonesia, nama yang baru muncul jauh setelah Hindia Belanda dipakai.

Mereka yang keberatan itu menuding pemakaian nama Indonesia juga bertendensi menginginkan kemerdekakaan. Ini yang membuat Belanda semakin marah. Maka, mereka bilang bahwa Indonesia bukan nama ilmiah, sehingga tak layak untuk menggantikan nama Hindia Belanda.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat