Ilustrasi kosmetik berbahaya yang diduga menggunakan bahan merkuri. | ANTARA FOTO

Jakarta

RI Berkomitmen Menghapus Penggunaan Merkuri

Penghapusan merkuri membutuhkan sinergi dengan pemerintah daerah dan pelaku usaha.

 

 

 

JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan komitmen menghapus penggunaan merkuri di berbagai sektor. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan melindungi masyarakat dari zat kimia berbahaya. 

Merkuri bernama lain raksa atau hydrargyrum (bahasa Latin: Hydrargyrum, air/cairan perak). Ini adalah unsur kimia pada tabel periodik dengan simbol Hg dan nomor atom 80. Unsur golongan logam transisi ini berwarna keperakan dan merupakan satu dari lima unsur (bersama cesium, fransium, galium, dan brom) yang berbentuk cair dalam suhu kamar, serta mudah menguap. Hg akan memadat pada tekanan 7.640 Atm. Kelimpahan Hg di bumi menempati di urutan ke-67 di antara elemen lainnya pada kerak bumi. Di alam, merkuri (Hg) ditemukan dalam bentuk unsur merkuri (Hg0), merkuri monovalen (Hg1+), dan bivalen (Hg2+). Keduanya merupakan logam paling rapuh.

Merkuri banyak digunakan sebagai bahan amalgam gigi, termometer, barometer, dan peralatan ilmiah lain, walaupun penggunaannya untuk bahan pengisi termometer telah digantikan (oleh termometer alkohol, digital, atau termistor) dengan alasan kesehatan dan keamanan karena sifat toksik yang dimilikinya. Unsur ini diperoleh terutama melalui proses reduksi dari cinnabar mineral. Densitasnya yang tinggi menyebabkan benda-benda seperti bola biliar menjadi terapung jika diletakkan di dalam cairan raksa hanya dengan 20 persen volumenya terendam.

Keracunan kronis merkuri dapat terjadi akibat kontak kulit, makanan, minuman, dan pernapasan. Toksisitas kronis berupa gangguan sistem pencernaan dan sistem saraf atau gingivitis. Akumulasi Hg dalam tubuh dapat menyebabkan tremor, parkinson, gangguan lensa mata berwarna abu-abu, serta anemia ringan, dilanjutkan dengan gangguan susunan saraf yang sangat peka terhadap Hg dengan gejala pertama adalah parestesia, ataksia, disartria, ketulian, dan akhirnya kematian.

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyatakan sinergi pemerintah pusat dan daerah diperlukan untuk mengurangi dan menghapus penggunaan merkuri. Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi dan menghapus penggunaan merkuri di berbagai sektor. "Kunci keberhasilan adalah sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah," ujar Vivien.

Untuk itu, dia mengajak Dinas Lingkungan Hidup yang berada di seluruh Indonesia bersama-sama bergandengan tangan untuk mendorong pengurangan penggunaan merkuri. "Kalau tidak tahu, tanya. Kalau tidak tahu, konsultasi pada KLHK. Kami pasti akan membantu," ujarnya.

Hal itu karena kerja sama lintas sektor merupakan kunci keberhasilan dalam upaya tersebut, bersamaan dengan pelibatan pemangku kepentingan lainnya seperti dunia usaha, asosiasi, peneliti dan penggiat lingkungan. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Minamata lewat pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention On Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri).

Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM).Menurut laporan RAN PPM 2020, sejauh ini telah berhasil dikurangi 10,45 ton merkuri untuk penggunaan pertambangan emas skala kecil. Di industri lampu dan baterai mencapai 374,4 kilogram serta pengurangan emisi mengandung merkuri pada bidang prioritas energi sebesar 719 kilogram. Sementara untuk penghapusan alat kesehatan mengandung merkuri, seperti pengukur tensi dan suhu tubuh, telah dikurangi 4,73 ton.

Konvensi Minamata tentang merkuri adalah pakta internasional yang didesain untuk melindung kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak merkuri yang dapat menyebabkan penyakit minamata. Pakta itu diadopsi dan dibuka untuk ditandatangani pada 10 Oktober 2013 dan sejauh ini ditandatangani 128 negara.

Minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang disebabkan keracunan akut merkuri yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan kegilaan. Penyakit itu mendapatkan nama dari kota Minamata di Jepang, tempat di mana wabah terjadipada 1958, akibat pembuangan dalam jumlah besar limbah merkuri oleh pabrik kimia selama puluhan tahun di wilayah itu.

DKI akan bangun pengolahan sampah di Tebet

 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun Fasilitas Pengelolaan Sampah Antara (FPSA) di Tebet, Jakarta Selatan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menjelaskan, pembangunan FPSA tersebut merupakan upaya untuk mengurangi kuantitas sampah yang masuk ke TPST Bantargebang.

Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Syaripudin, mengungkapkan, berdasarkan data per Juli 2019, ketinggian 'gunungan' sampah di TPST Bantargebang sudah mencapai 43 hingga 48 meter dari batas maksimal 50 meter. 

"Tujuannya untuk mendukung optimalisasi TPST Bantargebang yang sedang berjalan saat ini, seperti PLTSa Merah Putih di TPST Bantargebang dengan kapasitas 100 ton/hari, landfill mining untuk pengolahan sampah lama menjadi bahan bakar dengan kapasitas rata-rata tahun 2020 sebesar 23 ton/hari, dan akan terus ditingkatkan kapasitasnya,” kata Syaripudin dalam keterangannya, Senin (9/8).

Dinas LH juga sedang menjalankan upaya pengurangan sampah di sumber sampah. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga.

“Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) Intermediate Treatment Facility (ITF) skala mikro dilakukan dengan pendekatan pengolahan sampah di sumber dan habis di sumber. FPSA merupakan salah satu strategi penanganan sampah dengan penerapan teknologi penanganan sampah yang ramah lingkungan dan tepat guna," jelas dia. 

Syaripudin mengungkapkan, rencana pembangunan FPSA beserta fasilitasnya berupa pengolahan sampah sudah dipikirkan secara matang. Bahkan, kata dia, pembangunan ini disesuaikan dengan komposisi dan karakteristik sampah di Kecamatan Tebet.

Syaripudin menjelaskan, pembangunan FPSA tidak dilakukan di Taman Tebet, tapi terintegrasi dengan taman tersebut. Ia juga memastikan, teknologi insinerator yang direncanakan pada FPSA Tebet telah terdaftar dalam Registrasi Teknologi Ramah Lingkungan Pemusnah Sampah Domestik.

FPSA adalah fasilitas pengolahan sampah untuk mengurangi sampah melalui perubahan bentuk, komposisi, karakteristik, dan jumlah (volume dan berat) sampah dengan menggunakan teknologi pengolahan sampah yang tepat guna, teruji, dan ramah lingkungan. Rencana pembangunan FPSA beserta fasilitasnya berupa pengolahan sampah sudah dipikirkan secara matang. Bahkan disesuaikan dengan komposisi dan karakteristik sampah di Kecamatan Tebet. 

FPSA Tebet nantinya akan menjadi pengolahan sampah terpadu dengan recycling center, biodigester, pirolisis, BSF Maggot, incinerator, dan pengolahan FABA. Sehingga, diupayakan hanya sampah tak terolah yang masuk ke insinerator. Selain itu, FPSA Tebet juga bakal dilengkapi fasilitas enviromental education (pusat edukasi warga), ruang interaksi publik (taman bermain), food center (kantin), sarana olahraga, urban farming, IPAL, dan open theater.

"Pembangunan FPSA Tebet juga terintegrasi dengan kegiatan revitalisasi Taman Tebet yang saat ini juga sedang berlangsung. Konsep hijau dari Taman Tebet juga akan diterapkan di FPSA Tebet yang sedang direncanakan," ungkapnya.

Syaripudin menambahkan, FPSA sudah dimanfaatkan di beberapa negara, seperti Finlandia, Singapura, Jepang, China, dan sejumlah negara lainnya.

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta menolak rencana Pemprov DKI tersebut. "Walhi Jakarta secara tegas menolak rencana ini dengan beberapa alasan. Pertama, proyek pengelolaan sampah dengan cara bakar-bakaran sampah (insinerator) tersebut tidak ada dalam kebijakan dan strategi daerah dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi dalam keterangannya, Senin (9/8).

Alasan kedua, sambung dia, proyek yang berpotensi menambah beban pencemaran udara berada di area publik, yakni taman dan berdekatan langsung dengan permukiman. Selain itu, di tengah situasi beban pencemaran udara Jakarta yang tinggi, bisa dibayangkan area yang biasa dijadikan area publik, seperti untuk rekreasi, berolahraga, dan lain sebagainya akan terpapar dampak buruk insinerator.

Dengan demikian, Tubagus berujar, FPSA dengan teknologi insinerator ini juga bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019, karena tidak memperhatikan aspek sosial dan tidak tepat guna dalam pengelolaan sampah. Teknologi termal seperti insinerator bukan merupakan energi baru, melainkan teknologi lama yang sudah banyak ditinggalkan.

"Kami melihat ini adalah cara berpikir pendek Dinas Lingkungan Hidup, Pemkot Jakarta Selatan, dan PUD Sarana Jaya dalam pengelolaan sampah. Pasalnya, Gubernur DKI pernah meminta tanggapan publik di media sosial pada tahun 2020 tentang rencana revitalisasi Taman Tebet tersebut," tutur dia. 

Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan, bakal membangun empat fasilitas pengelolaan sampah dalam kota atau Intermediate Treatment Facility (ITF). Langkah ini akan mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi.

Setiap harinya, Jakarta menghasilkan 7.800 ton sampah. Sebagaimana diketahui, TPST Bantangebang diprediksi bakal penuh tahun ini.

"Sekarang disiapkan proses lelang untuk ITF di empat titik, yakni di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara," kata Ariza di Jakarta, Ahad (8/8).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat