Andre Ho atau Muhammad Fikrul Mustanir sebelum menjadi mualaf sempat bersikap antipati terhadap Islam. | DOK IST

Oase

Andre Ho, Hidayah Luruhkan Kebencian

Andre Ho pernah menjadi ateis dan dahulu sangat membenci Islam.

 

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

Sering kali, kebencian muncul dari kurangnya pengetahuan tentang perkara yang dibenci. Padahal, belum tentu sesuatu itu layak direspons dengan perasaan sangat tidak suka. Boleh jadi, ada kebaikan di dalamnya. Karena itu, penting sekali tidak buru-buru menilai.

Kesan demikian terasa dari perjalanan spiritual seorang mualaf bernama Andre Ho. Lelaki berusia 37 tahun tersebut sebelumnya sangat membenci Islam. Pernah dalam hidupnya, pemilik nama lain Muhammad Fikrul Mustanir itu sengaja menggiring opini publik agar memandang sinis agama tauhid. Akun media sosial miliknya sempat penuh dengan tulisan-tulisan yang menyudutkan Alquran, Nabi Muhammad SAW, dan Muslimin.

Tidak ada asap tanpa api. Dalam pengalaman pribadinya, bara yang memunculkan kebencian terhadap Islam bermula dari Peristiwa 1998. Waktu itu, berbagai daerah di Indonesia dilanda kerusuhan. Lebih parah lagi, amuk massa kerap mengarah pada warga dari suku etnis dan pemeluk agama (minoritas) tertentu.

Waktu itu, Andre adalah seorang remaja. Dalam usia kira-kira 14 tahun, memori tentang Peristiwa 1998 amat membekas dalam benaknya. Ia turut merasakan bagaimana sakit hatinya melihat orang-orang diperlakukan tidak adil. Hanya karena warna kulit atau agama yang dipeluknya, kerumunan massa menyerbu. Dia masih ingat, toko-toko ditandai dengan tulisan “pribumi” atau “Islam” agar terhindar dari serbuan.

“Saya sampai membuat status di media sosial: ‘Seribu persen tidak akan masuk agama Islam.’ Itu saking bencinya saya dulu terhadap Islam. Astaghfirullahal’azhim,” ujar Andre Ho saat menuturkan kisahnya kepada Republika, beberapa waktu lalu.

 
Saya sampai membuat status di media sosial: ‘Seribu persen tidak akan masuk agama Islam.’ Astaghfirullahal’azhim.
 
 

 

Ia sendiri adalah seorang yang taat. Dia tumbuh di tengah keluarga yang mengutamakan nilai-nilai religi. Orang tuanya rutin beribadah. Untuk mendidik putra putrinya, keduanya sampai mendatangkan seorang guru agama ke rumah. Alhasil, saat masih belum mengenal Islam, Andre bersama dengan adik-adiknya ditempa dengan ajaran agama ayah ibunya.

Sebelum Peristiwa 1998, Islam dalam pandangannya adalah sebuah agama yang “jauh". Dalam arti, dia belum begitu tertarik untuk mendekati dan mengenalnya. Yang ia tahu, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Maka banyak hari-hari besar Islam yang dijadikan sebagai hari libur nasional.

Di lingkaran pergaulan pun, Andre kecil tidak terlalu dekat dengan anak-anak Muslim. Kebanyakan temannya saat itu sama sepertinya, yakni non-Muslim. Karena itu, ia menjadi mudah mengikuti stigma-stigma tentang agama Islam.

Tatkala kerusuhan terjadi di Jakarta tahun 1998, Andre muda sangat terkejut. Berita-berita tentang massa yang mengamuk sering mengatasnamakan Islam. Seolah-olah, haruslah menjadi Muslim, baru kemudian seseorang selamat dari amuk masyarakat. Kejadian itu menerbitkan perasaan benci dalam diri Andre.

Untuk menyatakan secara langsung, ia tidak berani. Maka, media sosial menjadi saluran. Pemuda ini sering beradu opini dengan para warganet. Tulisan-tulisannya yang kerap mendiskreditkan Islam tentu menimbulkan keriuhan di dunia maya. Pelampiasan kebenciannya memang sebatas itu.

 
Dia sering beradu opini dengan para warganet. Tulisan-tulisannya yang kerap mendiskreditkan Islam tentu menimbulkan keriuhan di dunia maya.
 
 

 

Salah satu yang membuatnya terpancing untuk menjelek-jelekkan Islam waktu itu ialah keberadaan organisasi tertentu. Organisasi masyarakat demikian sering dikabarkan melakukan aksi sepihak, semisal menertibkan paksa warung atau toko yang menjual minuman keras. Sasarannya pun termasuk tempat-tempat hiburan malam.

“Belakangan setelah memahami Islam, pandangan saya berubah. Ternyata, apa-apa yang ormas itu lakukan berdasarkan manfaat dan mudaratnya, tidak serta merta hanya menghancurkan usaha orang lain,” jelas dia.

photo
Mualaf Andre Ho (kiri) kini aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah. - (DOK IST)

Mengenal Islam

Setelah menjadi mualaf, gambaran tentang stereotip Islam sirna. Stigma-stigma yang menyamakan agama ini sebagai “doyan perang” dan sebagainya tidak lagi diyakininya. Sebab, ajaran Islam berdasar pada Alquran dan Sunnah. Keduanya menyebarkan rahmat kepada semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Kisah Andre Ho dalam menemukan hidayah bermula dari masa remaja. Meski berasal dari keluarga yang taat beribadah, sifatnya tidak otomatis kalem dan saleh. Ia justru dikenal sebagai seorang remaja yang bandel. Berbagai kenakalan pernah dilakukannya dalam usia muda.

Sebelum bersyahadat, Andre sangat akrab dengan kehidupan dunia malam. Dia juga sering bertengkar dengan orang tua karena bersikap egoistis, tidak mau diatur. Ayahnya pun sempat berkata bahwa Andre tidak akan sadar jika hanya diingatkan orang tua. Hanya Tuhan yang bisa menyadarkannya. Benar saja, ucapan orang tua adalah doa.

Di puncak perenungannya, ia justru berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Maka, pemuda ini sempat menjadi seorang ateis. Memang, setelah berbincang-bincang dengan beberapa pendeta dan kawan terdekatnya, ia akhirnya kembali mengakui eksistensi Tuhan. Bagaimanapun, dia menolak untuk memeluk agama apa pun.

 
Siapa sangka, orang yang abai agama itu justru mendapatkan hidayah Ilahi. Petunjuk kebenaran itu sampai kepadanya melalui salah satu orang terdekat.
 
 

 

Manusia berkehendak, tetapi hanya Allah Yang Mahaberkehendak. Siapa sangka, orang yang abai agama itu justru mendapatkan hidayah Ilahi. Petunjuk kebenaran itu sampai kepadanya melalui salah satu orang terdekat.

Sepupu Andre merupakan seorang Muslim. Maka suatu hari, keduanya berdiskusi tentang ketuhanan, agama, dan tujuan hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang dahulu baginya tak menemukan jawaban, melalui kerabatnya kini terjawab sudah.

Bahwa Allah adalah nama Tuhan sekalian alam. Tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada-Nya. “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS az-Zariyat: 56).

Satu diskusi tidak sampai mengetuk hatinya. Barulah setelah empat kali berbincang dalam kesempatan yang berbeda-beda dengan sepupunya itu, sebersit hidayah dirasakannya. Andre mulai tertarik mengetahui dasar-dasar Islam. Kerabatnya itu pun mulai menjelaskan kepadanya tentang konsep tauhid.

"Jika ingin mendalami Islam, saya harus ke majelis taklim, kata sepupu saya itu. Ia mengaku, hanya menjelaskan Islam dari ‘permukaan’ saja. Karena itu, perlu saya ke majelis taklim,” tuturnya.

 
Pada akhirnya, ia memahami bahwa Islam tidak hanya mengajarkan ritual. Segala aspek kehidupan telah ada aturannya dalam agama ini.
 
 

 

Maka Andre mulai sering meluangkan waktu untuk duduk di majelis taklim. Padahal, saat itu dirinya belum resmi menjadi Muslim. Pada akhirnya, ia memahami bahwa Islam tidak hanya mengajarkan ritual. Segala aspek kehidupan telah ada aturannya dalam agama ini.

Bahkan, tidak hanya di dunia yang fana. Alquran dan Sunnah Nabi SAW juga memberi petunjuk perihal negeri akhirat. Setelah empat kali datang ke majelis taklim, tepat pada 24 April 2019, dia memeluk Islam.

Hanya Allah yang memutarbalikkan hati manusia. Dari mulanya membenci Islam, Andre kini menjadi sangat cinta akan Islam. Bahkan, saat ini dirinya aktif dalam dunia dakwah.

“Setelah bersyahadat, saya mendapatkan seperangkat alat shalat dan buku-buku tentang keislaman. Sampai di rumah, saya tempatkan semua itu di atas meja,” kenangnya.

Melihat adanya barang-barang khas agama Islam, orang-orang di rumah pun bertanya kepadanya. Yang ikut mencurigainya adalah sang ibu. Namun, saat itu Andre masih belum berani memberi tahu keislamannya.

 
Saya ingin berterus terang kepada mereka, saya telah menjadi Muslim. Namun, saya takut sehingga meminta seorang ustaz untuk menemani saya.
 
 

 

“Saya ingin berterus terang kepada mereka, saya telah menjadi Muslim. Namun, saya takut sehingga meminta seorang ustaz untuk menemani saya," katanya.

Hanya ayah Andre yang mau menemuinya. Adapun ibunya enggan dan memilih untuk masuk kamar. Keluarga dan lingkungan tempat tinggal mereka pun terkejut dengan keputusannya saat itu. Bersyukur, Andre tidak diusir, hanya saja sikap keluarga menjadi lebih dingin.

Lambat laun, terutama setelah menyimak sebuah kajian, ia menyadari. Persepsi seseorang tentang suatu agama mau tidak mau bersumber dari pemeluk agama itu sendiri. Maka sebagai seorang Muslim, dia pun membawa nama baik Islam.

Karena itu, Andre berupaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. “Saya itu dulu sombong, enggak mau kenal orang. Tetapi kini saya berusaha lebih ramah,” katanya.

Kesombongan itulah yang dahulu membuatnya membenci Islam. Ia bersyukur, Allah SWT mempertemukannya dengan saudara sepupu. Melalui dakwah yang dilakukannya, rasa angkuh dalam diri Andre mulai terkikis. Ia dengan rendah hati memulai perjalanan batin untuk mengenal Islam lebih dekat. Pada akhirnya, hatinya justru mencintai agama ini.

Ia sendiri bahkan tidak menyangka. Pihak yang mengajarkannya tentang Islam, yakni penyelenggara majelis taklim yang diikutinya, adalah sebuah ormas yang dahulu dibencinya. Begitulah, ketika Allah sudah menakdirkan petunjuk bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya, maka tak ada satu pun bisa menghalangi.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat