Perwakilan Paguyuban Kawasan Malioboro memasang bendera putih tanda berkabung terkait penerapan PPKM di tepi Jalan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (30/7/2021). | Wihdan Hidayat / Republika

Tajuk

Fenomena Bendera Putih

Ajak ganti bendera putihnya dengan bendera Merah Putih. Kibarkan dengan tinggi simbol asa.

Bendera putih. Ya. Mendadak muncul bendera putih. Yang mengibarkan warga, pedagang, pengusaha, sampai kawasan wisata. Dikibarkannya ramai sepekan terakhir.

Mengapa bendera putih? Selain warna putih sebagai simbol suci, mengibarkan bendera putih secara umum kita pahami sebagai tanda menyerah. Sebuah tanda kekalahan. Benarkah demikian?

Apakah kita sudah kalah? Kalah oleh apa? Kalah oleh siapa? Apakah kalah oleh Covid-19? Apakah kalah oleh rontoknya dunia usaha, misalnya yang bergantung pada wisata atau makanan dan minuman? Atau yang mengibarkan itu kalah oleh yang lainnya?

Yang mengibarkan bendera putih, misalnya, para pedagang di Malioboro, pedagang kaki lima di Cirebon, para pengusaha bus pariwisata yang berencana konvoi mengibarkan bendera putih di Ibu Kota, dan kawasan pantai wisata di Cirebon. Di beberapa daerah lain sepertinya juga sempat muncul fenomena serupa.

Tidak sekadar bendera putih, tetapi juga spanduk berisi kekesalan. Ada di Garut, Jawa Barat, sebuah warung makan mengibarkan spanduk promosi menunya, dengan kalimat penegasan promo tidak berlaku bagi Presiden Joko Widodo.

Sebuah kedai kopi di Jakarta, yang sempat memasang foto di media sosial, kesal karena kedai kopinya kerap dirazia oleh Satuan Polisi Pamong Praja karena melanggar jam buka operasional.

 
Apakah kita sudah kalah? Kalah oleh apa? Kalah oleh siapa? Apakah kalah oleh Covid-19?
 
 

Namun, fenomena bendera putih ini bukan cuma di Indonesia. Di Malaysia, beberapa pekan lalu sempat ramai, sebuah rumah mengibarkan bendera putih. Si penghuni putus asa karena tak mampu lagi menghidupi dirinya. Barulah tetangganya tahu, kemudian berduyun-duyun membantunya. Bendera putih kemudian diturunkan. Pemilik rumah berterima kasih kepada tetangganya.

Di Indonesia, rasa-rasanya baru ini saja mengibarkan bendera putih dalam 18 bulan pagebluk Covid-19. Secara tersirat kita bisa ikut empati. Ada rasa kekesalan, gemas, mungkin putus harapan, melihat situasi kondisi seperti ini. 

Ketika infeksi Covid-19 justru makin meluas, pemerintah memerintahkan pembatasan aktivitas secara ketat di berbagai daerah, yang bagi sebagian orang berarti mematikan asap di dapurnya. Pada saat yang sama, mereka membaca dan mendengar ada program bantuan sosial bagi warga yang terdampak. Namun, yang mengibarkan bendera ini bertanya-tanya, mengapa kabar bantuan itu hanya mereka baca di koran atau di media sosial, terdengar di televisi, tapi tidak sampai kepada mereka.

Ya. Mengibarkan bendera putih sebetulnya sebuah tamparan bagi pemerintah. Seperti ada komunikasi yang terputus dengan masyarakat, terutama yang mengibarkan bendera itu. Karena kita tahu, pemerintah tidak berdiam diri dalam perang melawan Covid-19 ini.

 Pemerintah dan para tenaga kesehatan tidak pernah mengibarkan bendera putih. Karena mereka tahu, atau paling tidak masih memiliki harapan, bisa mengalahkan dan menuntaskan pagebluk Covid-19 ini. Pemerintah pun gencar mengomunikasikan harapannya bahwa Covid-19 ini bisa dikalahkan. Syaratnya, harus bersama-sama, bergotong royong.

 
Ya. Mengibarkan bendera putih sebetulnya sebuah tamparan bagi pemerintah. Seperti ada komunikasi yang terputus dengan masyarakat, terutama yang mengibarkan bendera itu. 
 
 

Namun, pesan kebersamaan ini menjadi samar-samar. Karena pada saat yang sama warga tahu, atau pengibar bendera tahu, mereka tidak ikut dalam gerbong ‘kebersamaan’ bantuan pemerintah itu.

Mereka merasa ditinggalkan keadilan. Atau mereka melihat terus bermunculan kasus bansos uang tunai, atau bansos bahan pokok dipotong sana sini. Dalam kasus yang lebih besar, mereka melihat mantan menteri sosial Juliari P Batubara yang jelas mengutip miliaran rupiah, hanya dituntut 11 tahun penjara.

Inilah yang harus dibereskan pemerintah. Pertama, jelas sekali pemerintah butuh memberikan pesan tegas. Siapa pun yang menyunat bansos warga harus dihukum semaksimal mungkin. Tanpa ada kecuali. Tanpa ada penyelesaian di bawah meja.

Kedua, pemerintah berbesar hati kepada para pengibar bendera putih. Sampaikan pada mereka, kita belum menyerah. Kalau Anda menyerah, Saya akan di samping Anda bersama-sama, membantu Anda agar jangan menyerah.

Bangsa ini pasti bisa mengatasi problemnya. Asalkan bersama-sama. Ajak ganti bendera putihnya dengan bendera Merah Putih. Kibarkan dengan tinggi simbol asa. Kita bersama-sama memerangi pagebluk ini. Kita menang bersama-sama. Kita belum kalah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat