Petugas Public Safety Center 119 (PSC 119) bersama petugas puskesmas mengevakuasi jenazah pasien Covid-19 yang meninggal saat isolasi mandiri (isoman) di rumahnya di Jalan Cibarengkok, Sukajadi, Kota Bandung, Ahad (18/7). Berdasarkan hasil data yang dihim | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Tajuk

Fenomena Pasien Isoman

Dalam tiga pekan terakhir, pasien isoman bertambah banyak.

Pemerintah kembali memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk kedua kalinya. Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri, Ahad (25/7), menggelar jumpa pers dan mengumumkan PPKM Darurat akan berlaku lagi sampai akhir pekan ini. 

Perpanjangan PPKM Darurat tersebut sudah terbaca sejak PPKM Darurat sebelumnya. Penyebabnya, indikator-indikator penting, yakni angka kasus harian, angka tes, dan angka korban meninggal belum menunjukkan tren penurunan yang signifikan.

Ini pekerjaan rumah yang belum bisa diselesaikan dalam 18 bulan pagebluk melanda Indonesia. Menjaga konsistensi testing harian, serta pelacakan harian. Secara rata-rata nasional, Indonesia masih benar-benar tertinggal dari dua indikator ini.

Tiga hari terakhir, ada angka lain yang menarik dicermati. Sepanjang Sabtu-Ahad-Senin, angka ketersediaan ranjang rumah sakit menurun. Jumlah bervariasi, tapi trennya amat terlihat.

Pada Senin, misalnya, jumlah penghuni di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet menurun hingga atau mendekati 50 persen. Artinya, orang yang dirawat di menara-menara di Kemayoran itu sudah berkurang.

Tetapi, angka bed occupancy rate (BOR) ini tidak bisa dilihat secara sendiri. Bagaimana angka kasus hariannya? Bila angka kasus hariannya turun, amat besar kemungkinan penyebaran Covid-19 di masyarakat melambat.

 
Dalam tiga pekan terakhir, pasien isoman memang bertambah banyak. Pemerintah berjibaku dengan cepat mengatasi lonjakan kasus harian dan pasien yang isoman ini. 
 
 

Namun, bagaimana bila sebaliknya? Angka kasus harian tetap tinggi, tetapi BOR di rumah sakit dan rumah sakit darurat menurun?

Kita bisa membaca ini sebagai sinyal bahwa di luar sana, ada banyak masyarakat yang terinfeksi Covid-19, tapi tidak dirawat. Isolasi mandiri? Amat bisa terjadi. Tidak mau melapor ke rumah sakit? Ini juga besar kemungkinan.

Keduanya menjadi problem karena mayoritas kasus Covid-19 di negara ini adalah orang tanpa gejala (OTG) serta manajemen pencatatan pasien Covid-19 yang rapi. Akibatnya, bisa sangat fatal.

Pemerintah tidak mengetahui medan siapa saja yang sakit dan bagaimana kondisi mereka karena tidak dalam jangkauan fasilitas kesehatan. Tidak bisa dikontrol karena pemerintah pun kekurangan sumber daya.

Rumah sakit penuh. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) penuh. Orang-orang isoman ini amat bergantung pada media sosial (medsos) dan bagaimana kerekatan sosial di permukiman mereka. Peran-peran tetangga, ketua rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, menjadi amat krusial.

Dalam tiga pekan terakhir, pasien isoman memang bertambah banyak. Pemerintah berjibaku dengan cepat mengatasi lonjakan kasus harian dan pasien yang isoman ini. 

Pemerintah sudah membuka layanan kesehatan daring yang bisa diakses oleh para pasien isoman. Pemerintah juga sudah merilis gerakan pemberian obat gratis bagi pasien isoman.

Dua kebijakan tersebut amat membutuhkan sosialisasi masif dari para tetangga terdekat. Sering kali, baik di medsos maupun dari penelusuran koran ini masih ditemukan bahwa pasien isoman ataupun lingkungan warga di sekitarnya, kebingungan mengenai apa yang harus pertama kali mereka lakukan.

 
Apalagi, temuan gerakan masyarakat Laporcovid19, misalnya, menggegerkan, dengan ribuan orang meninggal saat isoman, atau terlambat mendapatkan perawatan di rumah sakit, yang salah satu sebabnya adalah arus informasi yang membingungkan.
 
 

Bila saya terkena Covid 19, tapi tak mendapat perawatan isolasi terpusat, saya harus menghubungi apa dan siapa. Nomor siapa yang harus dihubungi. Setelah itu, apa yang harus saya lakukan? Rutinitas apa yang harus saya lakukan? Makanan apa dan asupan gizi seperti apa yang harus saya konsumsi per hari? Adakah obat-obatan dan vitamin yang harus saya minum?

Kemampuan komunikasi Satgas Covid 19 ataupun Kemenkes benar-benar diuji. Apalagi, temuan gerakan masyarakat Laporcovid19, misalnya, menggegerkan, dengan ribuan orang meninggal saat isoman, atau terlambat mendapatkan perawatan di rumah sakit, yang salah satu sebabnya adalah arus informasi yang membingungkan.

Karena itu, kita mendesak pemerintah mengkaji ulang, menata ulang strategi komunikasinya, terutama terfokus pada orang-orang yang isoman, ataupun yang belum mendapat ruang perawatan. Pesan dan perintah kepada mereka ini harus benar-benar rapi, jelas, dan mudah dimengerti serta dipahami, oleh anak kecil sekalipun.

Kita sudah ‘hidup bersama’ Covid-19 selama 18 bulan, tetapi persoalan-persoalan seperti ini, yang harusnya tuntas sejak tahun lalu, masih saja menjadi masalah besar yang memakan korban jiwa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat