Keluarga memanjatkan doa saat prosesi pemakaman jenazah pasien Covid-19 atau Corona di TPU khusus Covid-19 Rorotan, Jakarta Utara, Selasa (13/7). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Senin 12 Juli 2021 hingga Selasa 13 Juli 2021 | Republika/Thoudy Badai

Opini

Kapitalisasi Rasa Takut Menghadapi Perang Corona

Corona harus dihadapi dengan optimisme dan kepasrahan kepada Allah

 

UBAYDILLAH ANWAR | Heart Intelligence Specialist

 

Berani hidup tak takut mati

Takut mati jangan hidup

Takut hidup mati saja

Hidup sekali hiduplah yang berarti

 

Ungkapan jihad di atas sampai sekarang masih digelorakan di Pondok Gontor beserta seluruh cabangnya di Indonesia, afiliasinya di seluruh Nusantara, dan santri-santri Gontor di seluruh dunia.

Ketika Trimurti Pertama (KH. Ahmad Sahal, KH. Ahmad Fanani, dan KH. Imam Zarkasyi) merintis Pondok Gontor, tahun 1928, ancaman muncul dari berbagai arah, dan tidak sedikit yang punya risiko nyawa melayang. Dari pergulatan menghadapi ancaman itulah ungkapan di atas muncul  dari Kiai Sahal. Kalimat terahir di atas adalah tambahan yang baik dari berbagai sumber. 

Dari luar ada PKI, Jepang, dan Belanda. Pemerintah RI sendiri, dariPresiden Soekarno,  Soeharto, dan Habibie tidak mengakui ijazah Gontor. Meski demikian pemerintah RI MEMPERCAYAI Gontor 100%, Dari mulai presiden, menteri, gubernur, bupati, sampai ke bawah berkunjung ke Gontor dan bersaksi bahwa proses pendidikan di Gontor on-the track dengan kepentingan Indonesia. Ancaman dari dalam pun tak kalah horor-nya. 

Santri yang awalnya 300-an bubar dan hanya tersisa 16 orang saat dilakukan perpindahan dari sistem lama ke sistem baru yang oleh masyarakat kala itu disebut modern (Pondok Modern Gontor). Itu terjadi tahun 1936. Berangkat dari 16 itulah Trimurti melangkah dengan icon barunya hingga hasilnya nyata. 

Ketika Idham Khalid tampil di panggung politik nasional dengan peranan seabrek, dari mulai perdana menteri, ketum PBNU, BPK, dan lain-lain, Kiai Zar bangga dan semakin p-e-d-e bahwa sistem pendidikan yang dirintisnya mampu menghantarkan seorang pemimpin yang dinanti umat: ulama yang intelek dan pemimpin berkapasitas global. 

photo
Ubaydillah Anwar - (Dokpri)

Tapi sekitar 30 tahun kemudian, 1967, ancaman besar justru muncul dari dalam yang risikonya juga nyawa.  Sebagian santri senior dan sebagian guru ingin menggeser haluan Gontor dengan melakukan pemberontakan Supersemar.

Meski ancaman dengan risiko nyawa terus mengepung, namun Trimurti tetap bergerak. Berani hidup tak takut mati. Dan sejarah membuktikan, sekali beliau bertiga hidup di dunia, hidupnya penuh arti. Inilah proses yang disebut kapitalisasi rasa takut.   

Kapitalisasi Rasa Takut

Kini, sebagian besar penduduk diancam oleh serangan Covid yang risikonya juga nyawa. Minimnya harus berhenti beraktivitas 14 hari (isoman). Perang Covid terhitung perang paling berbahaya. Pasukannya ada dimana-mana, tidak kelihatan, dan serangannya cepat.

Normalnya, kita harus takut. Tapi rasa takut itu ada dua macam. Ada takut yang meringkihkan dan takut yang menguatkan.Di sinilah perlunya kapitalisasi rasa takut itu agar menjadi modal untuk menghadapi hidup dengan sikap yang lebih baik.

Takut mati yang kita gunakan untuk semakin berani hidup dengan lebih hati-hati dan lebih terbekali oleh prinsip bahwa Allahlah penguasa tunggal jagat ini adalah takut yang menguatkan. “Kendaran menuju dekat dengan Allah ada tiga, yaitu cinta, harapan, dan ketakutan, “ tulis Khalid bin Usman As-Sabt dalam A’malul Qulub jild 1. 

Namun takut yang membuat kita menolak mati di hati, tidak siap mati, dan takut untuk hidup berprinsip, pastilah takut yang meringkihkan. Mati tidak bertanya kita siap atau tidak. “Takut tidak dapat menghalau takdir,” tulis Najib Mahfudz, pemenang Nobel dari Mesir, 1988.

Rasa takut yang kita gunakan untuk mengoptimalkan usaha (dari mulai pencegahan, pengerahan, dan antisipasi) lalu hati tetap menyerahkan hal-hal yang di luar kontrol kepada kekuasaan Allah adalah takut yang menguatkan.Kenapa? Secara akidah, mengoptimalkan usaha adalah kewajiban, namun hati yang mengandalkan hasil pada usaha adalah kemaksiatan (kesalahan hati).

Tapi takut yang membuat kita menjadi jubn (menolak usaha karena hati takut gagal) dan bakhil (menolak berbuat baik karena takut habis) adalah takut yang meringkihkan. Riset mengungkap bahwa sebagian besar orang mengalami takut sukses. Apa itu takut sukses? Mereka menolak bereksperimen karena takut gagal. Padahal kegagalan adalah proses yang tak bisa dihindari menuju ke sukses.

Takut yang mendorong kita berbekal pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan kompetensi adalah takut yang menguatkan. Inilah modal terbaik untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai ketidakpastian dan peluang masa depan. Dan inilah perwujudan nyata dari permohonan kita meminta hidayah kepada Allah.

Tapi takut yang membuat kita menutup diri dari pengetahuan dan pengalaman adalah takut yang melemahkan. Kita akah kehilangan kesempatan untuk diajari Allah dengan berbagai rahasia. Jalaludin Rumi menyatakan, ketika engkau melaut, kemungkinannya dua: sukses dan gagal. Tapi jika engkau menolak melaut karena takut gagal, engkau telah kehilangan rahasia nasib kedua (ilmu Allah tentang kehidupanmu).    

Mengkapitalisasi rasa takut berarti berani hidup dengan lebih hati-hati dan lebih terbekali dengan hati yang tidak menafikan kematian sebagai ketentuan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat