Suasana Rapat Paripurna DPR RI Ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (15/7/2021). | ANTARA FOTO/JONI ISKANDAR

Kabar Utama

Revisi UU Otsus Papua Disahkan

UU Otonomi Khusus yang baru diharapkan melibatkan warga Papua.

JAKARTA -- DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang (UU). Pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021, Kamis (15/7).

"Apakah RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, meminta persetujuan kepada anggota, diikuti seruan setuju dari sejumlah anggota yang hadir dalam rapat tersebut.

Dalam laporannya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Komarudin Watubun mengatakan, sebanyak 18 pasal mengalami perubahan serta ada penambahan dua pasal baru. Ia berharap revisi kali ini tak mengulangi pelaksanaan UU Otsus Papua terdahulu yang dinilai banyak kekurangan.

"Keledai sekalipun tidak mau masuk ke lubang yang sama. Oleh sebab itu, mari kita berkomitmen, sekali lagi mari kita berkomitmen untuk melaksanakan seluruh revisi undang-undang ini sesuai dengan tugas dan wewenang kita masing-masing," kata politikus PDIP itu dalam rapat paripurna kemarin.

Menurut penelusuran Republika atas draf final yang disahkan kemarin, ada sejumlah revisi krusial terhadap UU terdahulu. Di antaranya Pasal 28 yang sebelumnya membolehkan pendirian partai politik lokal di Papua dihapus. Pasal itu merupakan salah satu kompromi terhadap tuntutan referendum kemerdekaan Papua saat UU Otsus dibentuk pada 2001 lalu.

Selain itu, pada Pasal 34 dana otsus Papua dinaikkan menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum Nasional (DAU) per tahun dan dibayarkan hingga 2041. Menkeu Sri Mulyani sebelumnya mengungkapkan, aturan ini diperkirakan menguras kas negara senilai Rp 234,6 triliun seiring asumsi kenaikan DAU sebesar 3,02 persen tiap tahunnya. Jumlah itu juga lebih dari dua kali lipat kucuran dana otsus Papua dua dekade belakangan sebesar Rp 101,2 triliun.

Untuk megupayakan dana itu digunakan dengan benar, Pasal 36 mewajibkan alokasi anggaran 35 persen untuk pendidikan, 25 persen untuk kesehatan, 30 persen untuk infrastruktur dan 10 persen untuk pemberdayaan masyarakat adat. Selain itu, Pasal 68A juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas otsus Papua yang dipimpin wakil presiden dan bertanggung jawab pada presiden.

Revisi krusial lainnya pada Pasal 76. Pemerintah pusat dan DPR kini dapat memekarkan wilayah Papua tanpa persetujuan Majelis Rayat Papua (MRP) dan DPRP seperti yang diatur sebelumnya. Pemerintah pusat mengklaim revisi ini atas dasar usulan pemekaran dari rakyat Papua. Sebaliknya, pihak MRP menyatakan tak pernah ada pemekaran tersebut.

photo
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan) menyampaikan pandangan pemerintah kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (ketiga kanan) disaksikan Azis Syamsudin (kiri) dan Rahmat Gobel (kedua kanan) saat Rapat Paripurna DPR RI Ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (15/7/2021). Rapat tersebut mengesahkan Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. - (ANTARA FOTO/JONI ISKANDAR)

Sedangkan, Pasal 38 mengatur secara normatif bahwa usaha perekonomian di Papua harus untuk kesejahteraan rakyat Papua. Usaha perekonomian di Papua juga wajib memperhatikan SDM setempat dan mengutamakan orang asli Papua. "Dengan demikian anak-anak asli Papua yang memenuhi syarat pendidikan dapat direkrut sebagai tenaga kerja," kata Komarudin Watubun.

Pembahasan revisi UU Otsus Papua ini tergolong lekas. Wacananya dimulai oleh pemerintah pusat pada akhir 2020, menjelang berakhirnya tenggat Otsus Papua Jilid I pada Desember 2021.

Di Papua, wacana perpanjangan otsus ditanggapi beragam. Sejumlah pihak di Papua yang diwawancarai Republika menginginkan ada evaluasi menyeluruh sebelum kelanjutan otonomi khusus dibicarakan. Mereka juga menilai banyak target UU terdahulu di berbagai bidang belum tercapai. Di antaranya soal kesejahteraan rakyat Papua, aspirasi politik, serta penyelesaian pelanggaran HAM.

Terlepas polemik di Papua, pemerintah pusat berkeras melanjutkan otsus beserta pendanaannya. Pada 10 Februari 2021, Panitia Khusus (Pansus) RUU Otsus Papua dibentuk di DPR dipimpin Komarudin Watubun dari Fraksi PDIP.

Dalam pembahasannya, 18 kementerian dilibatkan dalam pembahasan, dan sejumlah lembaga dilibatkan. Pada 1 Juli 2021, Pansus RUU Otsus menyepakati daftar inventaris masalah rancangan regulasi tersebut.

Tak sampai dua pekan, pada 12 Juli DPR dan pemerintah sepakat membawa RUU Otsus Papua dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan. Pengesahan kemudian dilakukan pada Kamis (15/7) kemarin. Artinya, hanya enam bulan saja regulasi itu dibahas di DPR.

Pada hari pengesahan UU Otsus kemarin, sejumlah unjuk rasa penolakan Otsus Papua Jilid II kembali di gelar. Di Manokwari, ratusan mahasiswa dan warga menggelar aksi unjuk rasa di jalan depan Kampus Universitas Papua.

Aksi tersebut diadang puluhan aparat kepolisian dengan perangkat antihuru-hara. Akibat hadangan tersebut, para pengunjuk rasa melakukan aksi duduk di tengah jalan di Jalan Tugu Amban, kampus Universitas Papua.

Sedangkan di Jakarta, sejumlah mahasiswa Papua melakukan aksi di depan Kompleks Parlemen Senayan.  Aksi itu tak berlangsung lama karena dibubarkan aparat kepolisian. Unjuk rasa menolak pengesahan RUU Otsus juga digelar di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sehari sebelumnya, 23 mahasiswa Universitas Cendrawasih ditangkap kepolisian saat menggelar aksi unjuk rasa di Jayapura. Ketua BEM Uncen, Yops Itlay  juga menyatakan, sejumlah mahasiswa terluka. Ia berdalih, penolakan mereka lakukan karena pembahasan RUU Otsus dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan seluruh elemen-elemen masyarakat di Papua.

photo
Anggota kelompok separatis Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membacakan penolakan atas UU Otsus di Pegunungan Tengah, Papua, Kamis (15/7/2021). - (TPNPB-OPM)

Selain penolakan, warga Papua juga mengharapkan UU Otsus dan dana yang menyertainya tak lagi diselewengkan. "Sasaran otsus ini kan untuk bagaimana kesejahteraan orang asli Papua (OAP), tetapi kalau kita jadi pimpinan yang pintar-pintar belok sana, belok sini (tidak sesuai UU) ya kita tahu dirilah. Kita merugikan kita punya generasi ke depan, khususnya OAP," kata Lukas Kossay, seorang pegawai instansi di Jayawijaya, kemarin.

Menurut dia, jika pada otsus tahap pertama progres pembangunan tidak signifikan, maka pada otsus tahap kedua harus dimanfaatkan dengan baik. "Jadi saya harap dari kita saja. Anak-anak daerah yang sudah jadi pimpinan, pengambil keputusan, mari kita manfaatkan ini dengan baik dan tidak usah dipolitisasi dengan berbagai politik," kata dia.

‘Libatkan Warga Papua’

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, meminta pemerintah untuk segera melakukan sosialisasikan undang-undang tersebut ke masyarakat Papua setelah diundangkan. "Jangan mengulang kesalahan ketika UU Otsus 21/2001 ya, itu kan salah satu kelemahan itu karena sosialisasinya kan tidak merata. Sebagian masyarakat di Papua hanya memahami itu sebagai uang dana otsus, itu salah satu kesalahan fatal menurut saya," kata Adriana kepada Republika, Kamis (15/7).

Menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan alasan mengadopsi 18 pasal dari 3 pasal yang diusulkan pemerintah. Selain itu perlu juga dijelaskan bagaimana merealisasikan otsus tersebut dengan alokasi dana yang telah disepakati. Sebanyak mungkin pemerintah harus melibatkan partisipasi masyarakat.

Selain itu pemerintah juga perlu melakukan pendampingan di beberapa hal. "Waktu transisi dulu itu tidak ada pendampingan, Papua diberikan otoritas, diberikan anggaran suruh mereka mengurus sendiri, itu banyak kesalahan. Sekarang diperhatikan mana hal-hal yang masih perlu pendampingan dari pusat, jadi lebih jelas gitu," ujarnya.

 
Dr Adriana Elisabeth tentang Otonomi Khusus Papua.
(Istimewa)
 

Selain itu masalah representasi otsus Papua juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Idealnya semua tokoh adat yang mewakili suku Papua diajak bicara. Sehingga menurutnya kedepan perlu dibangun sistem agar pemerintah berdialog dengan seluruh elemen masyarakat Papua.

"Siapa yang mewakili siapa, memang ada DPR ada DPD segala macam, tapi apakah itu kemudian dianggap oleh masyarakat yang menolak itu mewakili suara mereka, itu harus kita perhatikan, karena Papua itu kan masyarakatnya heterogen, jadi itu berdampak kepada sistem perwakilan," ungkapnya.

Penolakan sebelumnya disampaikan DPRP dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketua Pansus Otsus Papua DPRP, Thomas Sondegau, mengatakan revisi UU Otsus Papua hanya sesuai keinginan pemerintah pusat tanpa menampung aspirasi dari Papua. 

Sementara Ketua MRP, Timotius Murib, memandang alangkah baiknya perubahan sejumlah pasal di RUU Otsus Papua dilakukan atas usul masyarakat sehingga UU Otsus Papua yang disahkan nantinya sesuai dengan perasaan masyarakat Papua.

"Inilah yang dipertontonkan pemerintah Republik Indonesia kepada dunia. Bagaimana buruknya hukum kita di Indonesia apalagi daerah khusus seperti di Papua itu tidak dilaksanakan kewenangan otonomi khusus dengan baik atau dijalankan dengan baik oleh pemerintah," kata dia.

Sedangkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menegaskan RUU Otsus Papua disusun dengan semangat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. "Dalam pembahasan kita berpijak pada prinsip-prinsip dan semangat untuk melindungi dan menjunjung harkat dan martabat orang asli Papua dan melakukan percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua," kata Tito dalam laporannya di Rapat Paripurna, Kamis (15/7). 

Tito mengatakan awalnya pemerintah mengusulkan perubahan terhadap tiga pasal. Ketiga pasal tersebut yaitu pasal 1, pasal 34, dan pasal 76. Namun dalam perkembangannya rapat panitia khusus (pansus) melakukan perubahan atas 17 pasal. Sehingga total pasal yang diubah sebanyak 20 pasal 

"Perubahan pada pasal-pasal tersebut mencerminkan kebijakan afirmasi yang kuat terhadap orang asli Papua sebagai perwujudan komitmen seluruh elemen bangsa terhadap pembangunan Papua," ujar Tito. 

Tito menjelaskan, ada tiga kebijakan afirmasi dalam undang-undang otsus Papua yang disahkan hari ini. Pertama yaitu politik afirmasi. Undang-undang menambahkan unsur DPRK dari orang asli Papua melalui mekanisme pengangkatan dengan jumlah 1/4 dari jumlah anggota DPRK, dipilih dalam pemilihan umum dan sekurang-kurangnya 30 persen dari unsur perempuan orang asli Papua.

"Ini juga menunjukkan semangat yang tinggi dari kita semua untuk mendorong persamaan gender untuk di Papua," ungkapnya.

Kebijakan afirmasi yang kedua di bidang ekonomi. Tito mengatakan adanya perubahan pasal dalam undang-undang ini menunjukkan keberpihakan kepada orang asli Papua di bidang ekonomi. Kebijakan afirmasi selanjutnya yaitu dalam tata kelola pemerintahan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat