Pembali melakukan transaksi pembayaran digital menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di kedai kopi Terrace Kariraman, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (1/7/2021). Bank Indonesia mencatat volume transaksi QRIS tumbuh pesat yaitu | ANTARA FOTO/Makna Zaezar

Ekonomi

BI Catat Transaksi QRIS Naik 32,5 Persen

Jumlah merchant yang menyediakan layanan QRIS hingga saat ini telah mencapai 7,7 juta.

JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi digital melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) meningkat 32,5 persen menjadi Rp 727,2 miliar selama penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dari sisi jumlah, transaksi menggunakan QRIS juga tercatat naik 7,63 persen selama PPKM Darurat menjadi sebanyak 8,37 juta kali.

"Maka dari itu, masyarakat kini terlihat semakin tertarik menggunakan layanan transaksi digital daripada bank," ujar Kepala Grup Departemen Surveilans BI Budiatmaka dalam taklimat media di Jakarta, Rabu (14/7).

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta menyampaikan, jumlah merchant yang menyediakan layanan QRIS hingga saat ini telah mencapai 7,7 juta. Dia menilai, QRIS merupakan salah satu game changer di era Covid-19 karena bisa membantu masyarakat melakukan transaksi ekonomi tanpa tatap muka.

Ke depan, bank sentral akan memperluas fungsi QRIS agar bisa digunakan untuk tarik tunai, transfer, dan setor tunai sehingga bisa lebih membantu masyarakat di era PPKM. "Artinya, transaksi ekonomi tidak terhenti, tetap bisa berjalan dengan dukungan QRIS," kata Filianingsih.

BI melakukan penguatan ekosistem penyelenggaraan sistem pembayaran melalui penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PBI PIP).

Kedua PBI tersebut mulai berlaku sejak 1 Juli 2021, bersamaan dengan pemberlakuan PBI Sistem Pembayaran (PBI SP) yang menjadi ketentuan induk dari kedua PBI tersebut. Penerbitan PBI PJP dan PBI PIP diarahkan untuk memperkuat ekosistem sistem pembayaran Indonesia secara end-to-end.

Selain itu, aturan tersebut juga mendorong praktik bisnis yang sehat melalui kolaborasi dengan perwakilan industri untuk mengakselerasi ekonomi dan keuangan digital yang inklusif. Hal ini dilakukan antara lain melalui efisiensi penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia.

Sistem pembayaran

Bank Indonesia (BI) resmi mengatur permodalan penyelenggara sistem pembayaran di Tanah Air sebagai bentuk penguatan ekosistem melalui penerbitan dua Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang berlaku sejak 1 Juli 2021.

Kepala Grup Departemen Surveilans BI Budiatmaka menjelaskan, terdapat dua aturan baru permodalan bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP), yakni ketentuan persyaratan setoran modal awal bagi perusahaan yang baru masuk dan reklasifikasi ketentuan modal penyelenggara yang sudah ada di industri.

"Semakin lengkap izin yang dimiliki maka modal yang dibutuhkan akan semakin besar," kata Budiatmaka.

Adapun modal awal yang harus disetorkan calon PJP terbagi ke dalam tiga kategori, yakni kategori I yang memiliki layanan paling lengkap, kategori II memiliki izin yang lengkap tetapi tidak melayani issuing atau pencanangan, dan kategori III terkait izin remitansi. Modal yang disetor untuk kategori izin I mencapai Rp 15 miliar, kategori izin II sebesar Rp 5 miliar, serta kategori izin III yang tidak menyediakan sistem bagi penyelenggara lain senilai Rp 500 juta.

Namun apabila menyediakan sistem bagi penyelenggara lain, modal yang disetorkan sebesar Rp1 miliar.Sementara untuk PIP, aturan kategori modal awal terbagi menjadi dua, yaitu untuk PIP lembaga switching Rp 100 miliar dan untuk PIP dengan jaringan global berlaku ketentuan grandfathering dan jaminan tertulis yang menjamin penyelenggara mampu menyediakan modal dengan baik agar fungsi dan pengaturan risiko berjalan dengan lancar.

"Untuk PIP, karena mengatur infrastruktur sistem pembayaran yang bisa berdampak kritikal, maka membutuhkan modal yang lebih besar," katanya.

Sementara itu, untuk penyelenggara yang sudah ada di dalam industri, Budiatmaka menjelaskan, pihaknya akan melakukan reklasifikasi ke dalam tiga kategori izin dan perusahaan harus memenuhi kewajiban permodalan sistem pembayaran (KSPS) selama dua tahun.

Ia menjelaskan, rumus untuk menentukan KSPS yaitu modal yang sudah ada dibagi transaksi tertimbang menurut risiko (TTMR) sehingga KSPS untuk seluruh penyelenggara sistem pembayaran, baik PJP dan PIP ditetapkan sebesar 10 persen.

Tetapi, jika penyelenggara sistem pembayaran memiliki risiko sistemik, maka KSPS akan bertambah 2,5 persen dari kewajiban PJP dan 5 persen untuk PIP, sementara untuk PJP berdampak kritikal ditambah 1,5 persen dan 2,5 persen untuk PIP.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat