Sejumlah minuman mengandung etil alkohol (MMEA) hasil penindakan dituangkan ke dalam tong saat pemusnahan, di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) TMP C Pantoloan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (10/6/2021). Angka kerugian minuman beralkohol | ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Nasional

Pelarangan Minol Dinilai Selamatkan Perekonomian

Angka kerugian minuman beralkohol lebih tinggi ketimbang pendapatan negara dari cukai.

JAKARTA—Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengatakan, penghitungan ekonomi studi dampak ekonomi minuman alkohol (minol) menunjukkan beban terhadap produk domestik bruto (PDB) negara berkisar 0,45 persen hingga 5,44 persen. Hal itu berdasarkan studi dari Montarat Thavorncharoensap pada 2009.

Ia pun mengambil contoh, apabila Indonesia membandingkan dengan Amerika Serikat, yakni 1,66 persen. Maka tingkat kerugian ekonomi terhadap alkohol pada 2020 yakni 1,66 persen dikalikan PDB 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun, hasilnya adalah Rp 256 triliun.

"Jika mengambil batasan paling rendah yakni 0,45 persen, maka tingkat kerugian ekonomi Indonesia akibat alkohol sebesar Rp 69,4 triliun," ujar Bhima dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (14/7).

Angka kerugian dari minuman beralkohol, kata Bhima, lebih tinggi ketimbang pendapatan negara dari sisi cukai yang hanya Rp 7,14 triliun. Ia mengambil kesimpulan, pelarangan minuman beralkohol dinilainya dapat menyelamatkan perekonomian. Sebab bisa menekan kerugian perekonomian, ketimbang benefit yang didapatkan negara dari alkohol.

"Dampak alkohol di antaranya, yakni biaya kesehatan akan meningkat dari pembiayaan BPJS Kesehatan, biaya kriminalitas dan kekerasan yang diakibatkan alkohol, serta angka kecelakaan," tegas Bhima.

Di tempat yang sama, perwakilan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Gerald Mario Semen menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) belum memiliki urgensi. Sebab, tingkat konsumsi alkohol di Indonesia masih sangat rendah.

"RUU tentang Larangan Minol tidak memiliki urgensi yang tinggi karena berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2018, penggunaan prevelensi konsumsi penggunaan alkohol masih jauh lebih kecil," ujar Gerald.

Berdasarkan data Riskesdas, prevelansi penggunaan alkohol pada usia lebih dari 10 tahun pada 2007 sebesar 3,0 persen dan pada 2018 sebesar 3,3 persen, yang urgensinya rendah. "Mempertimbangkan urgensi ini yang yang perlu kita atur dalam UU ini ke depan adalah memang alkohol ini memang tak dibatasi total, tapi yang perlu kita batasi," ujar Gerald.

Berbeda dengan IDI, Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) menyayangkan Indonesia belum memiliki payung hukum setingkat UU yang mengatur minol. Ketua Umum Genam, Fahira Idris mengatakan, mayoritas negara di dunia sudah memiliki payung hukum pengaturan minol.

Ia mencontohkan regulasi terkait produksi, distribusi, dan konsumai minol di sejumlah negara. Salah satunya adalah Australia yang melarang masyarakat usia di bawah 18 tahun mengkonsumsi minuman keras.

"Ketahuan mengonsumsi maka akan mendapatkan sejumlah hukuman mulai dari denda hingga proses di pengadilan dengan denda mencapai lebih dari Rp 70 juta," ujar Fahira.

Jerman juga memiliki regulasi khusus terkait pengeradan minuman beralkohol. Salah satunya, di sana melarang jual beli barang tersebut mulai pukul 22.00 sampai 05.00 waktu setempat. Kebijakan serupa juga diterapkan Singapura, yakni melarang penjualannya di tempat umum mulai pukul 22.30 sampai 07.00 waktu setempat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat