Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah sebuah masjid yang terletak di dalam kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon Jawa Barat.Tempat tujuan wisata yang mempunya nilai sejarah di kota ini (26/2/1993). Sumbadi/Republika | DOKREP

Arsitektur

Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Pesona Sejarah di Kota Wali

Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kota Cirebon, Jawa Barat, ini dibangun pada era Wali Songo.

OLEH HASANUL RIZQA 

Siapa pun yang ingin mengenal lebih dekat sejarah Islam di Nusantara sebaiknya juga mengunjungi Cirebon. Kota di sebelah timur-laut Gunung Ciremai, Provinsi Jawa Barat, itu pernah menjadi lokasi Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memusatkan dakwahnya.

Alhasil, daerah yang berada di pesisir utara Pulau Jawa itu pun dijuluki sebagai Kota Wali. Salah satu jejak peninggalan Wali Songo di kota seluas 37,36 km persegi ini ialah Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Kompleks tempat ibadah ini didirikan pada abad ke-15 M oleh para mubaligh Tanah Jawa tersebut. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsitek. Di samping itu, Raden Sepat juga ditugaskannya untuk membantu sosok pemilik nama asli Bendara Raden Mas Said tersebut dalam menunaikan amanah. Sebelumnya, ahli bangunan Majapahit itu menjadi tawanan dalam perang Demak-Majapahit. Untuk menyelesaikan proyek ini, sekitar lima ratus orang pekerja dari Cirebon, Demak, dan Majapahit turut terlibat.

Menurut buku Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia, Masjid Agung Sang Cipta Rasa berdiri sejak 1498 M. Tarikh yang agak berbeda disebutkan dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein. Menurutnya, situs bernilai historis ini telah ada mulai tahun 1480 M. Ada pula yang berpendapat berdirinya masjid itu terjadi pada 1478 M dan 1489 M.

Terlepas dari soal keterangan tahun berdirinya, masjid tersebut merekam memori sejarah dakwah Islam yang dilakukan para wali. Tidak mengherankan bila masyarakat setempat terus merawat tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Misalnya, budaya azan pitu.

Seperti tampak dari namanya, tradisi itu harfiahnya berarti ‘mengumandangkan azan.’ Namun, yang dimaksud ialah bukan azan seperti biasa. Pasalnya, ada tujuh orang muazin sekaligus yang mengumandangkan panggilan shalat itu. Ada kisah yang melatari lahirnya kebiasaan kultural tersebut.

Konon, dahulu kala ada seorang pendekar sakti yang bernama Aji Menjangan Wulung. Pengamal ilmu hitam ini kerap kali mengganggu kaum Muslimin. Sebab, dirinya membenci agama Islam. Dari hari ke hari, kebenciannya itu kian akut.

Akhirnya, Aji Menjangan menjadikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai sasaran. Ia memanjat dinding dan bertengger di atas tempat ibadah ini. Setiap muazin yang hendak menyuarakan azan diserangnya.

photo
Salah satu gerbang utama di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat. Pintu menuju ruang utama berukuran kecil dan pendek, simbol bahwa jamaah harus merendah diri saat hendak beribadah kepada-Nya. - (DOK WIKIPEDIA)

Kaum Muslimin pun resah. Begitu mengetahui kejadian tersebut, Sunan Gunung Jati langsung mengundang para ulama setempat untuk bermusyawarah. Setelah memohon petunjuk Allah SWT, mereka pun menyepakati solusi.

Sunan Gunung Jati menunjuk tujuh orang untuk menjadi muazin serentak. Mereka ditugaskannya untuk mengumandangkan azan secara bersama-sama. Suara azan yang dilantunkan serempak itu menyebabkan Aji Menjangan kebingungan. Pembuat onar ini hilang akal karena tidak tahu arah sumber suara. Akhirnya, sosok pembenci Islam tersebut lari terbirit-birit. Sejak itu, masjid tersebut tidak pernah diganggu lagi.

photo
Atap Masjid Agung Sang Cipta Rasa menginspirasi seorang arsitek Belanda, Thomas Karsten. - (DOK REP Wihdan Hidayat)

Itu adalah sepenggal kisah dari salah satu tradisi unik di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dahulu azan dengan cara demikian dilantunkan setiap hendak shalat lima waktu. Akan tetapi, tradisi tersebut pada saat ini hanya dilakukan pada momen shalat Jumat, yaitu azan pertama.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga berkaitan dengan narasi wafatnya Syekh Siti Jenar. Sufi yang hidup pada abad ke-16 itu dituding telah menyebarkan ajaran sesat. Karena itu, otoritas setempat yang didukung Wali Songo lalu menjatuhkan hukuman mati atasnya.

Pelaksanaan eksekusi digelar di area kompleks Keraton Kasepuhan, dekat masjid tersebut. Konon, senjata yang digunakan untuk menghabisi nyawa sang salik ialah keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.

Pesona arsitektur

photo
Interior dan arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa (Masjid Kasepuhan) Cirebon, Jumat (7/6). Masjid yang didirikan sejak abad ke-15 ini memiliki tradisi unik Adzan Pitu. Adzan hari pada hari Jumat yang dikumandangkan oleh 7 orang muadzin sekaligus. - (Republika)

Nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki makna tersendiri. Itu diambil dari kata sang yang berarti ‘keagungan’, cipta, yakni ‘dibangun’, serta rasa atau ‘digunakan.’ Ringkasnya, nama tersebut bermakna ‘bangunan agung yang dibangun untuk digunakan umat Islam.’

Pemilihan namanya mencerminkan tingginya rasa toleransi yang ditunjukkan Wali Songo. Mereka tidak memilih nama yang kearab-araban, tetapi justru mengutamakan unsur lokal. Dengan begitu, pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa ajaran Islam dapat mengakar dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat setempat.

photo
Merah bata menjadi warna dominan pada permukaan bangunan utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. - (DOK REP Wihdan Hidayat)

Berbeda dengan umumnya masjid-masjid klasik di Pulau Jawa, Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki atap yang nonkemuncak. Bentuk limasan susun tiga itu disebut pula sebagai lambang-teplok. Keindahannya menginspirasi banyak orang, termasuk Thomas Karsten. Arsitek Hindia Belanda ini mendesain Museum Sonobudoyo dengan mencontoh corak pada bangunan di Cirebon tersebut.

Ada 12 saka guru atau pilar utama yang menyangga atap masjid tersebut. Antara satu dan yang lainnya terhubung dengan balok-balok melintang. Masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Uniknya, salah satu tiangnya terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang disusun dan diikat.

Tiang tersebut disebut pula sebagai sokotatal. Ada makna filosofis di balik tiang sokotatal, yakni bahwa persatuan yang kokoh bisa menopang beban seberat apa pun. Mengenai pembuatnya, terdapat beberapa sumber. Ada yang mengatakan, Sunan Kalijaga-lah kreatornya. Namun, ada pula yang menyebut Sunan Gunung Jati.

photo
Sisi interior Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat. Tampak tiang-tiang masjid saling terhubung dengan pasak-pasak tradisional. - (DOK REP Wihdan Hidayat)

Ruang shalat utama memiliki luas 17,8x 13,3 m persegi. Untuk memasukinya, jamaah dapat melalui satu dari sembilan pintu—semuanya melambangkan jumlah Wali Songo. Di dalamnya, terdapat mihrab dengan ukiran-ukiran bermotif bunga teratai, hasil kreasi Sunan Kalijaga.

Munculnya motif teratai juga menunjukkan adaptasi seni arsitektur Hindu. Masih di bagian mihrab, ada tiga buah ubin dengan tanda khusus pada masing-masingnya yang mengisyaratkan pokok-pokok agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Jamaah yang hendak mencapai ruang utama, harus melalui pintu kecil dan pendek. Alhasil, mereka mesti membungkukkan badan. Ini mengandung makna simbolis bahwa seorang Muslim harus merendahkan diri ketika beribadah. Jangan sampai hati diliputi sifat sombong atau riya.

photo
Tradisi azan pitu yang hingga kini masih dilakukan tiap Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat. - (DOK ANTARA Dedhez Anggara)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat