Pelajar mengikuti lomba seni lukis wayang klasik dalam rangkaian Pesta Kesenian Bali ke-43 di Denpasar, Bali, Senin (21/6/2021).Wabah Covid-19 melahirkan perubahan fenomenal. | ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Opini

Covid-19 dan Minoritas Kreatif

Wabah Covid-19 melahirkan perubahan fenomenal.

DONNY SYOFYAN, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Wabah Covid-19 melahirkan perubahan fenomenal. Di Australia, sebagai tempat saya tengah berdomisili, paket stimulus keuangan untuk 10 tahun digelontorkan setidaknya untuk tiga dan enam bulan ke depan.

Di Wuhan, terutama sejak diberlakukannya lockdown mulai akhir Januari, menurut NASA kadar nitrogen dioksida lebih rendah 10-30 persen dari normal, sesuatu yang juga berlaku di seluruh Cina bagian timur dan tengah.

Hal sama terjadi di Tanah Air, stimulus dicanangkan pemerintah dan jalanan sepi. Meski disayangkan, sejumlah jalan utama di Jakarta masih tampak macet. Dalam skala lebih mikro, perubahan yang sangat dirasakan adalah optimalisasi peran keluarga.

Penularan Covid-19 yang meluas dengan bertambahnya pasien positif ataupun meninggal, mengharuskan masyarakat jaga jarak, isolasi, karantina, dan lockdown. Benteng terkuat menjalani langkah ini adalah keluarga.

 
Dari pelbagai platform media sosial, kita mulai mencermati warna-warni para keluarga menjalani hari-hari penuh geli, lucu, kreatif, bahkan panik.
 
 

Kepatuhan tetap berada di rumah mencerminkan kepatuhan warga dalam lingkup luas, yang pada gilirannya menjadi faktor utama keberhasilan memutus rantai penyebaran Covid-19 sebelum ditemukannya vaksin Covid-19 itu sendiri.

Dari pelbagai platform media sosial, kita mulai mencermati warna-warni para keluarga menjalani hari-hari penuh geli, lucu, kreatif, bahkan panik.

Karena ketakutan pada Covid-19, banyak orang menganggap isolasi, karantina, dan lockdown sebagai hari-hari dirumahkan, masa-masa pengangguran. Yang agaknya dilupakan, sejatinya itu  momentum produktivitas dari penguatan peran anggota keluarga.

Arnold Toynbee, kesohor dengan gagasan bahwa yang mengubah peradaban adalah minoritas yang kreatif. Peradaban ditentukan elite yang kreatif. Kunci kreativitas ini, kemampuannya merespons tantangan zaman. Tanpa ini, elite menjelma minoritas yang kejam.

Dalam konteks hari ini, wabah Covid-19 merupakan tantangan utama yang menghajatkan respons kreatif untuk bertahan. Di samping petugas medis sebagai ujung tombak, keluarga mewujud sebagai minoritas yang diharapkan kreatif merespons tantangan Covid-19 ini.

 
Dalam konteks hari ini, wabah Covid-19 merupakan tantangan utama yang menghajatkan respons kreatif untuk bertahan. 
 
 

Lalu, bagaimana membentuk keluarga sebagai kekuatan kreatif? Pendekatan ini tidak bisa dilakukan formal, tapi berbasiskan minat. Layaknya membaca, tentu beda antara membaca karena tugas sekolah dan membaca karena minat atau hobi.

Dalam konteks keluarga, wabah Covid-19 menjadi momentum bagi anggota keluarga kembali fokus mengembangkan minat dan hobi secara serius. Ini krusial karena wabah melahirkan kebersamaan yang dibentuk keadaan yang disengaja bukan karena kebetulan.

Anak-anak bisa memanfaatkan momen ini untuk belajar daring, bukan dalam rangka mengerjakan tugas sekolah yang formal, melainkan menggeluti hobi yang selama ini boleh jadi hanya dilakoni pada waktu senggang.

Anak-anak bisa menggambar, melukis, bercerita, membuat cerpen, dan sebagainya secara rileks dengan panduan daring yang melimpah di YouTube atau platform lainnya. Orang tua bisa menjadi mentor, guru, bahkan teman buat anak-anak mereka.  

Lagi-lagi ini harus dilakukan secara santai, tanpa tekanan layaknya proses belajar mengajar di sekolah, tapi konsisten.

 
Perlu dipahami, orang dewasa dan anak-anak menjalani peran berbeda saat isolasi meski keduanya untuk memperkuat peran keluarga.
 
 

Perlu dipahami, orang dewasa dan anak-anak menjalani peran berbeda saat isolasi meski keduanya untuk memperkuat peran keluarga. Bila orang dewasa berujung pada produktivitas, anak-anak seyogianya semata-mata untuk kesenangan.

Perbedaan ini perlu dijaga mengingat karakter usia dan kejiwaan tak bisa disamaratakan. Bagi orang dewasa, tidak dapat tidak, momen kebersamaan ini sebagai peluang menembakkan amunisi produktivitas.

Sejarah mencatat, banyak karya intelektual besar lahir saat penulisnya diisolasi. Buya Hamka merampungkan Tafsir Al-Azhar di hotel prodeo pada masa Bung Karno. Quraish Shihab perlu diasingkan ke Mesir sebagai duta besar oleh Presiden Habibie sehingga memiliki banyak waktu menulis Tafsir Al Mishbah.

Niccolò Machiavelli menulis The Prince ketika ia diasingkan keluarga Medici yang memerintah di Florence.

Risalah ini menjadi panduan strategi politik monumental yang digunakan para pialang kekuasaan, misal Henry VII dari Inggris, Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson di AS, Napoleon Bonaparte dari Prancis hingga John Gotti, pemimpin mafia di New York.

 
Bahkan, masa karantina adalah saatnya belajar keterampilan baru.
 
 

Bagi yang hobi menulis, catatan sejarah di atas tentu bisa ditransfer sesuai minat dan kemampuan ayah-bunda atau suami-istri di rumah.

Namun, tidak semua orang punya minat intelektual. Banyak hal sederhana yang selama ini dianggap sampingan, tapi bila dilakukan dengan ilmu yang benar, bisa mengantarkan seseorang menjadi pro. Bahkan, masa karantina adalah saatnya belajar keterampilan baru.

Bagi yang terkena lay off, seraya menunggu menjelajah karier baru sehingga kembali ke pekerjaan dengan lebih kuat dan efisien, kini masanya meningkatkan kemampuan komunikatif. Dirumahkan karena Covid-19, juga momen pembaharuan dan kebaruan.

Namun, tidak semua produktivitas demi uang. Hobi tidak selalu harus dijiwai dengan tujuan di luar kesenangan kita sendiri. Hidup tidak semata terkait keuntungan, tapi juga untuk pleasure (kesenangan). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat