Terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjalan memasuki ruang persidangan saat sidang lanjutan terkait kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (28/6/2021). | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Edhy Prabowo Dituntut Lima Tahun Penjara

Staf Edhy Prabowo dituntut 4,5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.

JAKARTA—Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar mantan menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.

Tak hanya pidana badan, Edhy juga dituntut untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS dikurangi seluruhnya dengan uang yang sudah dikembalikan.

Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Jaksa meyakini suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir benur lainnya.

"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP," kata jaksa Ronald F Worotikan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (29/6).

photo
Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersiap menjalani sidang lanjutan terhadap terdakwa mantan menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (28/6/2021). - (Republika/Thoudy Badai)

Edhy juga dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun sejak selesai menjalani masa pidana pokok. Adapun, dalam menjatuhkan hukumannya, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal.

Untuk hal yang memberatkan, Edhy Prabowo dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan KKN. Sementara itu untuk hal meringankan, Edhy dinilai bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sebagian aset sudah disita.

"Terdakwa selaku penyelenggara negara yaitu menteri tidak memberikan teladan yang baik," tegas jaksa.

Edhy sendiri mengeklaim tidak bersalah atas kasus yang menjeratnya. "Saya merasa tidak salah dan saya tidak punya wewenang terhadap itu, saya sudah delegasikan. Semua bukti persidangan sudah terungkap tidak ada, saya serahkan semuanya ke majelis hakim," kata Edhy usai menjalani sidang pembacaan tuntutan.

Namun, Edhy menyatakan tetap bertanggung jawab atas kasus dugaan suap ekspor benih lobster yang menjeratnya. Dia menyebut, akan menanggapi tuntutan Jaksa KPK dalam nota pembelaan.

"Yang harus dicatat, saya bertanggung jawab terhadap kejadian di kementerian saya. Saya tidak lari dari tanggung jawab, tapi saya tidak bisa kontrol semua kesalahan yang dilakukan oleh staf-staf saya. Sekali lagi kesalahan mereka adalah kesalahan saya karena saya lalai. Keputusan ini, tuntutan ini akan saya jalani terus sampai besok tanggal 9 kami mengajukan pembelaan setelah itu ada proses putusan," tegas Edhy.

Edhy menyatakan, dalam tuntutan seharusnya tidak ada pertimbangan yang memberatkan. Ia meyakini, kasus dugaan suap ekspor benih lobster dilakukan para anak buahnya.

"Saya tidak merasa (pertimbangan yang memberatkan) karena saya tidak tahu apa yang dilakukan anak buah saya. Saya juga tahu pas di persidangan ini bagaimana saya mengatur permainan menyarankan orang, kalau saya mau korupsi banyak hal yang bisa saya lakukan kalau mau korupsi," tegas Edhy.

Politikus Partai Gerindra ini meminta masyarakat mendoakannya menjalani proses hukum. "Tidak ada niat dari hidup saya untuk korupsi, apalagi mencuri. Saya mohon doa saja proses ini saya jalani, saya sudah tujuh bulan mendekam di KPK, tidak enak, panas, jauh dari keluarga," ujarnya.

Tuntutan staf

JPU KPK juga menuntut agar staf khusus Edhy sekaligus ketua tim uji tuntas perizinan usaha perikanan budi daya lobster, Andreau Misanta Pribadi dan Safri, empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Keduanya diyakini bersama Edhy Prabowo terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur.

 
Saya sudah tujuh bulan mendekam di KPK, tidak enak, panas, jauh dari keluarga.
 
 

Dalam tuntutannya, jaksa meyakini Edhy dkk mendapatkan 77 ribu dolar AS dari Direktur PT DPPP, Suharjito. Diketahui Suharjito sudah lebih dulu divonis dua tahun penjara terkait perkara ini.

"Bahwa ada kesaksian Suharjito yang mengatakan saksi menyerahkan uang melalui saksi Safri senilai 77 ribu dolar AS dengan tujuan mempercepat izin ekspor benur PT DPPP. Saksi Suharjito bersama Agus Kurniyawanto menyerahkan 77 ribu dolar AS melalui Safri dengan menyatakan 'ini uang titipan untuk menteri'," tutur jaksa.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Allan Fatchan Gani menilai, pemberantasan korupsi tidak akan pernah maju jika penuntut umum dan majelis hakim masih memandang biasa ihwal perkara korupsi.

"Tuntutan yang ringan terhadap kejahatan yang sistematis adalah bukti tidak pekanya aparat terhadap penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, " kata Allan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat