Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Saya Ingin Selalu Menjadi Temanmu

Kamu tahu, sejak dulu, bagi saya pertemanan itu seumur hidup.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Kamu tahu, sejak dulu, bagi saya pertemanan itu seumur hidup. Berteman sekali untuk selamanya. Sejak saya kecil sampai menjelang setengah abad ini, saya pegang betul ajaran orang tua untuk tidak memilih-milih teman. 

Tidak peduli perbedaan suku, agama, latar belakang pendidikan, status sosial, kamu tetap teman saya. Dan saya akan berusaha hadir, tak hanya pada momen bahagiamu, terutama ketika kamu bersedih, terluka, sakit. Selamanya, saya ingin tetap menjadi temanmu.

Kita telah melalui bilangan tahun tak sedikit dalam suka dan duka. Menyaksikan berbagai peristiwa yang dialami kawan-kawan. Ingatkah, kita sama-sama menyemangati teman yang menjalani proses kemo yang menyakitkan untuk kanker stadium lanjutnya?

Ingat bagaimana kita berbagi air mata saat harus melepas beberapa nama yang dipanggil lebih dulu dengan skenario takdir berbeda; sakit, kecelakaan, ditusuk preman, dan berbagai kejadian lain.

 

 
Kita telah melalui bilangan tahun tak sedikit dalam suka dan duka. Menyaksikan berbagai peristiwa yang dialami kawan-kawan.
 
 

Bersama kita juga menjadi saksi pasang surut negeri ini. Kita akan selalu berjalan bersisian. Itu yang saya yakini. Perbedaan pilihan partai politik atau presiden yang kala itu sanggup memecah keharmonisan pasangan suami istri atau satu keluarga, tidak terjadi di antara kita.

Saya ingin tetap menjadi temanmu, jika boleh selamanya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran suatu ketika  kita akan berada pada sisi berseberangan, tak lagi bergandeng tangan, justru pada situasi di mana kita teramat perlu bahu membahu dan menguatkan. 

Pertama virus SARS-CoV-2 menyapa Indonesia, kusadari komentar-komentarmu yang tidak biasa. “Jangan terlalu takut berlebihan!”

“Batuk pilek kalau sekarang di-swab juga jatuhnya pasti Covid!”

“Tes-tesan seharusnya ditiadakan, jika ingin Covid menghilang!”

Di antara teman, sungguh di luar dugaan dirimu yang dikenal cerdas dan berprestasi saat di sekolah justru menjadi yang paling keras menentang masker.

“Korona itu cuma akal-akalan orang pintar, aslinya nggak ada!”

“Berhenti membaca berbagai informasi Covid, itu buruk untukmu!”

Saya tercengang. Apalagi, di saat kebanyakan masyarakat, termasuk teman-teman kita yang lain, menahan langkah dan tetap di rumah, aktivitasmu justru berjalan biasa.

Melalui media sosial terlihat jejak hari-harimu yang santai saja berkumpul dengan banyak orang, jalan ke mal, makan di resto, berfoto bersama dalam jarak dekat, dan tanpa masker. 

 

 
Melalui media sosial terlihat jejak hari-harimu yang santai saja berkumpul dengan banyak orang, jalan ke mal, makan di resto, berfoto bersama dalam jarak dekat, dan tanpa masker. 
 
 

Ketika masker kemudian diwajibkan di berbagai tempat, saya bersyukur, berpikir hal ini akan mengubahmu, ternyata tidak. Puluhan fotomu, masker hanya pelengkap, lebih sering ditaruh di dagu. Katakan, bagaimana saya tidak khawatir akan kesehatanmu?

“Kita harus menjaga prokes, bagian dari syukur atas kesehatan yang Allah beri, juga upaya menjaga pasangan dan anak-anak… apalagi orang-orang tua kita.”

Tapi, kalimat panjang lebar saya mendapatkan balasan yang membuat saya terpana. “Tauhidmu harus ditambah, Asma. Yang namanya ajal, jika waktunya ya mati juga.”

Bagaimana saya bisa terus menjadi temanmu dalam situasi seperti ini? 

Maafkan jika kamu tersinggung saat keinginan bertandang ke rumah saya tolak halus.

Selama pandemi, kami memang tidak menerima tamu, kecuali sedikit keluarga dekat. Masih ada syarat lain, mereka yang datang kami tahu menjaga diri dan keluarga sebaik yang mereka bisa. Ketika datang pun masker menjadi keharusan, prokes diterapkan. 

 

 
Maafkan jika kamu tersinggung saat keinginan bertandang ke rumah saya tolak halus.
 
 

Bukan hanya terhadap keluarga yang datang ke rumah, sikap saya dan suami serta anak-anak pun sama saat berkunjung ke rumah orang tua. Mencuci tangan dan wajah, lalu mengambil jarak, dan pastinya masker tidak kami lepas.

Jika agak lama, ditambah menyalin pakaian. Khususnya, bila datang tidak dengan kendaraan pribadi. Ibu dan ayah kami sudah berumur dan memiliki banyak penyakit bawaan. Saya dan saudara membuat SOP bersama yang harus dipatuhi.

Termasuk, tidak bercakap di dalam kamar. Meletakkan sepatu dan lain-lain di luar, mengelap ponsel jika sepanjang jalan digunakan, dengan cairan pembersih.

Kamu menyebutnya berlebihan. “Tidak ada yang terjadi jika Allah tidak berkehendak, Asma! Orang tua pun harus kita edukasi agar belajar tawakal dan pasrah.”

Dengan prinsip itu, kamu menjalani hidup seperti sebelum pandemi, tetap menghadiri pernikahan, acara akikah, takziyah, meski massa berkumpul ramai. 

Meski selama wabah setiap kita umumnya mengerti hingga tak sakit hati jika sebagian besar tidak hadir langsung dan memilih cara lain untuk menunjukkan empati, kasih, dan kepedulian. Bahkan, tak jarang dari pihak yang berduka, meminta tidak ada yang datang, dan mendoakan saja, sebab itu lebih baik dan aman bagi semua, termasuk keluarga yang terkait. 

 
Dengan prinsip itu, kamu menjalani hidup seperti sebelum pandemi, tetap menghadiri pernikahan, acara akikah, takziyah, meski massa berkumpul ramai. 
 
 

Tahun depan, kita sama-sama akan  memasuki usia 50 tahun. Saya ingin kita tetap sehat melalui pandemi ini. Tugas manusia tentu ikhtiar sebaik mungkin, terlapas bagaimana warna takdir. Maka, menemukan cara membuatmu paham situasi darurat sekarang adalah pekerjaan rumah tersendiri. 

Namun, keinginan itu ternyata tak perlu lagi saya teruskan untukmu. Tidak setelah pukul enam pagi tadi, Allah memanggilmu setelah mengisolasi diri selama empat hari. Tangis saya pecah, di antara doa-doa yang terucapkan. 

Semoga, Dia mengampuni kesalahan dan menerima kebaikanmu. Semoga, Dia yang Maha Penyembuh, juga mengembalikan kesehatan enam anggota keluargamu yang saat ini sebagian kritis karena terpapar korona.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat