Para pimpinan G7 berpose di sela pelaksanaan KTT-G7 di Inggris, Jumat (11/6/2021) | AP Photo

Kabar Utama

G-7 Terpecah Soal Sikap ke Cina 

Sebagian anggota G-7 enggan keras ke Cina dinilai karena terganjal nilai perdagangan yang signifikan.

LONDON -- Beberapa negara kaya yang tergabung dalam Kelompok Tujuh atau G-7 menolak menerapkan pendekatan terlalu keras terhadap Cina. Seruan untuk bersikap keras terhadap Cina yang disampaikan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada KTT G-7 akhir pekan lalu dikhawatirkan dapat menjadi bumerang. 

Jerman, Italia, dan Jepang adalah tiga negara yang enggan mengambil sikap keras terhadap Negeri Tirai Bambu. "Kami mengakui hak Cina sebagai ekonomi penting. Tapi kami juga mempertanyakan bagaimana Cina melakukannya," kata Perdana Menteri Italia Mario Draghi pada Ahad (13/6), dikutip laman the Washington Post. 

Keengganan sebagian negara anggota G-7 bersikap lebih keras ke Cina dinilai karena terganjal nilai perdagangan yang signifikan. Jerman, misalnya, sejak 2010-2019, telah menerima investasi asing langsung dari Beijing senilai 22,7 miliar euro. Pada periode serupa, Prancis dan Italia juga memperoleh aliran investasi dari Cina, masing-masing senilai 14,4 miliar euro dan 15,9 miliar euro. 

Tak hanya tiga negara tersebut. Menurut Mecrator Institute of China Studies, Inggris pun menerima investasi senilai 50,3 miliar euro dari Cina. Negara-negara tersebut memang cukup bergantung pada kemitraan dengan Beijing. Jerman, misalnya, membutuhkan relasi dengan Cina guna mendorong industri otomotifnya dan menyediakan pasar besar bagi ekspor mereka. 

Jerman setiap tahun mengekspor jutaan unit mobil ke Cina. Atas alasan itulah, Jerman termasuk di antara negara G-7 yang khawatir bahwa sikap keras terhadap Cina dapat menjadi bumerang.  

Jepang yang merupakan tetangga dekat dan mitra dagang Cina, juga khawatir hubungan ekonomi dengan Cina terganggu.  Perdana Menteri Yoshihide Suga bahkan telah menyampaikan kekhawatiran itu kepada Biden saat bertemu di Gedung Putih pada April lalu. 

Seusai perhelatan KTT G7 di Cornwall, Inggris, Biden mengatakan, pemerintahan negara-negara demokratis menghadapi tantangan menentukan. Ia menilai negara demokratis lebih baik dan lebih mampu menghadapi tantangan seperti krisis kesehatan global dan perubahan iklim dibanding negara autokrasi seperti Cina serta Rusia. 

"Saya pikir kita sedang dalam kontes, bukan dengan Cina semata, tapi kontes dengan autokrat, pemerintahan autokratis di seluruh dunia, mengenai apakah demokrasi dapat bersaing dengan mereka di abad ke-21 yang berubah dengan cepat," kata Biden.

Tema semacam itu bukan hal baru bagi Biden. Dia telah menggunakan beberapa momen penting dalam kepresidenannya untuk menguraikan pandangan soal perjuangan generasi antara negara-negara demokratis dan autokratis. Terlepas dari adanya "penolakan" perihal pendekatan lebih keras terhadap Cina, negara anggota G7 sepakat menginisiasi rencana infrastruktur Build Back Better World (B3W). Proyek itu lahir guna menghadapi kebangkitan ekonomi Cina dan menyaingi skema Belt and Road Initiative (BRI). 

Skema B3W akan memberikan kemitraan infrastruktur yang transparan senilai 40 triliun dolar AS pada 2035. Gedung Putih mengungkapkan, G7 dan sekutunya akan menggunakan inisiatif B3W untuk memobilisasi modal sektor swasta di berbagai bidang, seperti iklim, kesehatan, teknologi digital, dan lainnya.  Menurut database Refinitiv, pada pertengahan tahun lalu, BRI mencatat lebih dari 2.600 proyek senilai 3,7 triliun dolar AS. 

Seperti diberitakan BBC, para pemimpin G-7 menerbitkan komunike setebal 25 halaman. Tiga poin utama dalam komunike tersebut berkaitan dengan pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi, dan perubahan iklim. 

Dalam hal penanganan pandemi Covid-19, G-7 berjanji memberikan tambahan satu miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin. Mereka juga berkomitmen meningkatkan kapasitas manufaktur global di seluruh dunia, meningkatkan sistem peringatan dini untuk pandemi dan mendukung ilmu pengetahuan agar dapat mempercepat pengembangan vaksin. 

Terkait pemulihan ekonomi, negara-negara G7 menyatakan bakal membantu negara-negara kecil untuk pulih dari krisis dengan pekerjaan dan investasi. Sedangkan mengenai perubahan iklim, G-7 berkomitmen pada revolusi hijau yang akan membatasi kenaikan suhu global. Selain itu, berkomitmen mencapai emisi nol karbon pada 2050, mengurangi separuh emisi pada 2030, dan melestarikan atau melindungi setidaknya 30 persen daratan dan lautan pada 2030.

G-7 dalam komunikenya juga meminta Cina menghormati HAM di Provinsi Xinjiang yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Uighur. Beijing pun diminta menghormati otonomi tingkat tinggi Hong Kong serta menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.

Cina langsung mengecam disorotnya isu Xinjiang, Hong Kong, dan Taiwan dalam komunike G7. Hal itu dinilai sebagai bentuk campur tangan terhadap urusan dalam negerinya. “Urusan internal Cina tidak boleh diintervensi, reputasi Cina tidak boleh difitnah, dan kepentingan Cina tidak boleh dilanggar,” kata Kedubes Cina dalam sebuah pernyataan pada Senin (14/6).

Kedubes Cina mengungkapkan Cina akan dengan tegas membela kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan nasionalnya. Beijing juga bakal melawan semua jenis ketidakadilan dan pelanggaran yang dikenakan padanya. “G7 harus berbuat lebih banyak yang kondusif untuk mempromosikan kerja sama internasional daripada menciptakan konfrontasi dan gesekan secara artifisial,” kata Kedubes Cina. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat