KH Abdul Manan, pendiri Pesantren Minhajut Thullab, tokoh karismatik di Banyuwangi. | DOK BLOGSPOT

Mujadid

KH Abdul Manan, Sang Ahli Riadat

Mbah Manan merupakan pendiri Pesantren Minhajut Thullab, tokoh karismatik di Banyuwangi.

OLEH MUHYIDDIN

 

 

 

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya, nabi-nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR Abu Daud).

Alim ulama merupakan rujukan bagi kaum Muslimin, terutama dalam menjelaskan perkara-perkara keagamaan. Para pewaris nabi tersebut juga menghadirkan keteladanan di tengah umat. Karena itu, keberadaannya bagaikan oasis penyejuk di tengah kegersangan zaman yang kian tergerus materialisme.

Dalam sejarah Indonesia, ada begitu banyak ulama yang menjadi panutan umat. Mereka tidak hanya berfokus pada transmisi ilmu-ilmu agama, tetapi juga turut berjuang bersama masyarakat dalam melawan kebodohan, keterbelakangan, dan penjajahan. Pada era kolonialisme, kaum mubaligh termasuk yang paling depan dalam memimpin perjuangan.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, salah satu ulama legendaris setempat ialah KH Abdul Manan. Mbah Manan, demikian dirinya akrab disapa, aktif membimbing dan memandu kaum Muslimin hingga akhir hayatnya.

Pada masa mudanya, dai yang lahir dari lingkungan pesantren ini dijuluki sebagai jago silat. Kemampuannya dalam membela diri membuat kocar-kacir para berandalan dan perampok yang kerap meresahkan masyarakat. Berlanjut pada masa tuanya, karisma sang alim cenderung menonjol dari keahliannya dalam beragam disiplin ilmu agama.

 
Kemampuannya dalam membela diri membuat kocar-kacir para berandalan dan perampok yang kerap meresahkan masyarakat.
 
 

Baik pada masa muda maupun tuanya, Mbah Manan selalu menjaga riadat (riyadhah). Kebiasaannya dalam melakukan amalan tersebut tidak lain karena dia ingin terus mendekatkan hati dan pikiran kepada Allah SWT. Bagi para santri dan pengikutnya, sang kiai dikenal sebagai seorang yang makbul doa-doanya. Karena itu, tidak sedikit warga yang meminta didoakan kebaikan olehnya.

Meskipun terkenal di Banyuwangi, Mbah Manan adalah seorang putra daerah Kediri, Jawa Timur. Ia lahir pada 1870 sebagai putra kedua dari KH Moh Ilyas. Ayahnya itu merupakan seorang ulama dari Banten. Adapun ibundanya, Umi Kultsum, berasal dari Jatirejo, Kediri.

Saat berusia satu tahun, Manan kecil dibawa ayahnya ke daerah yang berjulukan Kota Tahu itu. Kiai Ilyas membangun sebuah pondok pesantren di sana, tepatnya di Desa Ngadirejo, Kecamatan Kandangan. Alhasil, Manan memperoleh pendidikan agama pertamanya di lembaga tersebut, langsung di bawah arahan ayahnya.

Setelah dibekali dasar-dasar ilmu agama, ia kemudian menjadi santri kelana. Dari satu pesantren ke pesantren lainnya, Manan muda menuntut ilmu. Awalnya, langkah kakinya masih berkelana sebatas di Jawa Timur.

 
Bagi para santri dan pengikutnya, sang kiai dikenal sebagai seorang yang makbul doa-doanya.
 
 

Saat berusia 12 tahun, dia mengaji kepada Mbah Nawawi di Pondok Pesantren Ringin Agung. Dengan sang guru, anak muda ini cukup dekat dan disukai lantaran kecerdasan dan perangainya yang sopan santun.

Setelah itu, Manan melanjutkan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Gerompol. Lembaga ini tidaklah asing baginya karena neneknya pernah belajar di sana. Selama di Gerompol, Manan muda mempelajari banyak hal, termasuk ilmu hikmah dan seni bela diri.

Dengan penuh disiplin, ia pun menjadi seorang santri yang dikenal alim sekaligus jago tarung. Bahkan, beberapa kali dirinya menghadapi sejumlah berandalan dan perampok yang kerap meresahkan warga.

Dari Gerompol, perjalanannya untuk terus menuntut ilmu belumlah selesai. Manan pun meneruskan langkahnya ke sebuah pondok pesantren yang diasuh KH Abbas di daerah Wlingi Blitar. Selanjutnya, berturut-turut dia menjadi santri di Pesantren Siwalayan Panji Sidoarjo, Pesantren Gayam Jombang, dan Pesantren Tegalsari Ponorogo. Semua itu dilakoninya dengan penuh kesungguhan.

Selain itu, remaja yang gemar mengkhatamkan Alquran ini juga pernah belajar di pondok pesantren yang dikelola Syaikhona Kholil al-Bangkalani di Pulau Madura, Jawa Timur. Pesantren ini memang sangat legendaris. Kiai Kholil pun dikenal luas sebagai gurunya para ulama nusantara. Maka dari itu, Manan selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya tatkala belajar di sana.

 
Tidak hanya para syekh Makkah dan Madinah, guru-guru dari Nusantara pun menjadi tempatnya menuntut ilmu selama di dua kota suci.
 
 

Madura ternyata menjadi persinggahan baginya sebelum bertolak ke luar negeri. Santri Syaikhona ini berkesempatan menunaikan ibadah haji. Perjalanan ke Tanah Suci itu dilakukannya tidak hanya untuk berhaji, tetapi meneruskan rihlah keilmuan. Tidak hanya para syekh Makkah dan Madinah, guru-guru dari Nusantara pun menjadi tempatnya menuntut ilmu selama di dua kota suci. Di pusat keilmuan Islam ini, ia belajar kurang lebih selama sembilan tahun.

Setelah puas belajar di Tanah Suci, ia pun pulang ke kampung halamannya di Desa Jatirejo, Kandangan, Kediri. Dengan ilmu agama yang didapatkannya, ia pun membantu mengajar para santri yang diasuh oleh ayahnya, Kiai Ilyas.

Tak berapa lama kemudian, KH Manan masih menyempatkan untuk belajar lagi ke Pondok Pesantren Al Ashriyah di Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng. Pesantren ini disebut-sebut sebagai pesantren tertua di seluruh Banyuwangi.

Lembaga tersebut didirikan oleh KH Abdul Basyar, seorang ulama yang juga pendekar asal Banten. Dengan semangat belajar dan akhlaknya, Manan pun dipercaya oleh Kiai Abdul Basyar untuk menjadi lurah Pesantren Al Ashriyah.

Saat nyantri di pesantren ini, usianya sudah tidak muda lagi. Tambahan pula, ilmu-ilmu agamanya pun diakui oleh kiainya sendiri. Karena itu, tak berselang lama, Kiai Abdul Basyar menikahkan santri kesayangannya dengan salah satu putrinya yang bernama Siti Amisyatun.

Dari penikahan ini, Kiai Manan dikarunia 12 putra dan putri, yaitu Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun, Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, istri Kiai Manan wafat. Setelah beberapa waktu menduda, ia menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hajjah Umtiyatun. Dari istri keduanya ini, dia dikaruniai sembilan anak. Mereka adalah Nyai Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Nyai St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Nyai Mariyati dan KH Toha Muntaha.

photo
Kecamatan Muncar di Banyuwangi, Jawa Timur. Di wilayah tersebut, dahulu hiduplah seorang ulama karismatik, KH Abdul Manan. - (DOK WIKIPEDIA)

Minhajut Thullab

Sekitar tahun 1930-an, Mbah Manan mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thullab di Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebelumnya, ia sempat dipercaya ikut mengajar di Pondok Pesantren Jalen, yang lalu diasuh seorang adik iparnya, Nyai Mawardi.

Menjelang pendirian Pesantren Minhajut Thullab, Mbah Manan sempat berjalan dengan beberapa santrinya. Tujuannya untuk mencari tempat yang tepat untuk mendirikan sebuah pesantren. Mereka mengunjungi berbagai daerah di Banyuwangi, mulai dari Kalibiru, Silirangung, Pesanggaran, Tamansari hingga Sumberberas.

Di desa yang termasuk daerah Muncar ini, Mbah Manan dan beberapa santrinya berhenti. Sebab, sang alim merasa yakin, inilah lokasi yang cocok untuk berdirinya pondok pesantren yang diinginkan. Lahan tempat berdirinya pesantren ini mulanya adalah milik Haji Sanusi. Ia pun membelinya.

Akhirnya, berdirilah Pondok Pesantren Minhajut Thullab pada 1932. Mbah Manan pun memboyong seluruh keluarga beserta belasan santrinya ke sana. Kebanyakan para santri itu pernah belajar kepadanya selama di Pesantren Jalen.

 
Hadirnya pesantren Minhajut Thullab ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam di Banyuwangi.
 
 

Adanya Pesantren Minhajut Thullab inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Banyuwangi. Melalui pesantren ini pula, Mbah Manan banyak melakukan pengabdian kepada agama dan bangsa.

Kondisi pesantren ini awalnya sangat memprihatinkan. Mulanya, di sana hanya ada sebuah rumah dan mushala kecil. Untuk tempat tinggal para santri, terdapat bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang. Bagaimanapun keadaannya, hadirnya pesantren ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam di Banyuwangi.

Pada 1945, Mbah Manan kemudian membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji. Gedung ini dinamakan sebagai Jam’iyyah al-Ishlah atau lebih populer dengan Jam’iyyah Gedong. Saat itu, belum ada sistem pendidikan serupa dengan sekolah-sekolah formal. Yang ada, hanya sistem pengajian tradisional, seperti sorogan dan bandongan.

Setelah pondok pesantrennya berkembang pesat, Mbah Manan jarang turun langsung mengajar santrinya. Kegiatan mengaji lebih sering dipercayakan kepada santri-santri senior yang sudah menguasai kitab kuning. Mbah Manan hanya turun langsung saat jadwal mengaji kitab Al-Hikam dan Tafsir Jalalain.

Kini, seiring dengan perkembangannya, Pesantren Minhajut Thullab sudah memiliki kurikulum modern. Di sana, ada pula sekolah-sekolah formal yang terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag), seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Mubtadi’in. Selain itu, pihaknya juga memiliki SMA Al Hikmah dan SMK Minhajut Thullab.

 

Melawan Penjajah dan Pemberontak

 

KH Abdul Manan atau yang akrab disapa Mbah Manan merupakan seorang ulama besar di Banyuwangi, Jawa Timur. Dai yang lahir pada 1870 ini juga dikenang sebagai pendiri Pondok Pesantren Minhajut Thullab. Tidak hanya memimpin pesantren, dia pun turut aktif dalam perjuangan membela dan menjaga keutuhan bangsa.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Mbah Manan selalu mengimbau para santrinya untuk berani melawan penindasan. Ia bahkan terjun langsung di gelanggang jihad. Karenanya, rezim kolonial menjadikannya sebagai salah satu target di Banyuwangi.

Di daerah tersebut, sudah banyak kiai yang ditangkap aparat penjajah. Mereka antara lain ialah KH Manshur Sidoresmo, Kyai Moh Ilyas, dan KH Askandar. Mbah Manan sendiri sudah lama menjadi incaran para petugas polisi kolonial. Akan tetapi, mereka selalu kewalahan karena sang alim tidak kunjung ditemukan. Sang alim diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by minhajut thullab glenmore (minhajutthullab_)

Setelah Indonesia meraih kemerdekan, muncul berbagai pemberontakan. Salah satunya ialah Gerakan 30 September 1965 yang dimotori Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam peristiwa G30S/PKI, banyak kiai dan santri yang menjadi korban keganasan para simpatisan komunisme.

Mengetahui keadaan itu, Mbah Manan ikut bertindak. Ia mengumpulkan para santri dan masyarakat Banyuwangi. Lantas, ulama ini mendoakan kebaikan bagi mereka agar berani melawan kaum komunis yang jelas-jelas mengancam keselamatan umat.

 
Mbah Manan mendoakan kebaikan bagi mereka agar berani melawan kaum komunis yang jelas-jelas mengancam keselamatan umat.
 
 

Dikisahkan, Mbah Manan membacakan doa sembari mengusap sejumlah kayu rotan. Benda-benda tersebut lalu dipakai para santrinya sebagai senjata membela diri saat menghadapi keganasan simpatisan komunis. Ternyata, hanya dengan pukulan kayu rotan itu, para pemberontak itu tak berdaya.

Akhirnya, kian banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh Manan, seperti cincin, serban, peci, dan lain-lain. Kelebihan tersebut tentu bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, melainkan buah dari riadat (riyadhah) yang menjadi kebiasaannya sejak muda.

Mbah Manan berpulang ke ramahatullah pada Jumat 15 Syawal 1399 Hijriah atau bertepatan dengan 1979 Masehi. Jenazahnya dimakamkan di sekitar Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi.

Mbah Manan telah mewariskan pondok pesantrennya untuk bangsa Indonesia. Pesantren Mbah Manan tersebut telah berkembang luar biasa menjadi pesantren modern dan memiliki cabang hingga luar Jawa. Para santrinya sampai saat ini juga rutin menggelar acara tahunan Haul Almaghfurlah KH Abdul Manan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Pesantren Minhajut Thullab (minhajut.thullab_pusat)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat